Mohon tunggu...
Lubisanileda
Lubisanileda Mohon Tunggu... Editor - I'm on my way

A sky full of stars

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meniru Eka Tjipta, Memaju Daya Cipta

14 September 2022   11:09 Diperbarui: 14 September 2022   11:17 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di pundak anak kecil itu tersangkut banyak beban. Ada utang 150 dollar. Lintah darat siap merapat jika janji tak tuntas. Sementara, dia masih usia sembilan tahun, belum tahu apa-apa soal dana yang harus diganti. Bersama sang ibu, dia pun menyeberang lautan, tujuh hari tujuh malam, ke negeri jauh yang belum pernah dia injak. Sang ayah yang sebelumnya berutang dana itu, menungggu di sana, di Makassar, di sebuah kawasan yang berada di Pulau Sulawesi, jauh dari negeri asalnya.

Adalah dia Oei Ek Tjhong, anak kecil itu. Lahir dari keluarga miskin, tepatnya pada 27 Februari 1921 di Quanzhou ,Fujian, China. Di Makassar, di wilayah yang kini menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia itu, dia menetap dan membantu sang ayah yang memiliki sebuah toko kecil. Ini tak lain karena utang sang ayah 150 dollar tersebut memang harus cepat dibayarkan. Mujur, utang dapat ia lunasi ketika berusia 11 tahun.

Nyatanya, kegigihannya untuk membantu sang ayah guna membayar utang harus dibayar mahal. Dia putus sekolah. Praktis, dia hanya punya ijazah sekolah dasar di Makassar. Hidup dalam selimut kekurangan materi pun belum bisa terlepas. Tapi, dia tak mau berpangku tangan.

Anak kecil itu memilih untuk berjualan secara berkeliling. Dia mulai berjualan di sekitar Kota Makassar dengan mengendari sepeda. Dia menjajakan permen, kue, dan aneka barang dari toko ayahnya. Berkat keuletan yang dimilikinya, usaha yang dijalankannya mulai berhasil.

Di kemudian hari, anak kecil yang bernama Oei Ek Tjhong itu berganti nama. Dan, nama yang dia pilih adalah Eka Tjipta Widjaja. Ya, seperti kata pepatah, "Nama adalah doa."

Eka Tjipta seakan menjelma menjadi daya cipta; menciptakan sebuah daya demi sebuah keberhasilan; mendayakan cipta demi sebuah keberuntungan; dan sebagainya.

Tak Mau Patah Arang

Lihat saja ketika berusia 15 tahun, Eka mengayuh sepedanya melewati hutan yang rimbun dan kondisi jalan yang jelek guna mencari pemasok kembang gula dan biskuit. Begitu ketemu, bukan langgsung dapat bekerja sama. Eka harus berpikir keras karena kebanyakan penyedia barang tidak percaya dan meminta pembayaran di muka sebelum barang dibawa pulang. Eka tak patah arang, dia ikuti kemauan penyedia barang itu. Ujung-ujung, dari kerja kerasnya hanya selang 2 bulan, ia memiliki laba Rp20. Angka ini sangat luar biasa karena harga beras saat itu hanya 3-4 sen per kg. Melihat perkembangan usaha yang dijalankannya Eka pun membeli becak untuk memuat barang dagangannya.

Ketika usahanya itu berkembang, saat itulah Jepang datang. Tak pelak, usaha yang dibangunnya itu hancur lebur. Tapi sekali lagi, Eka tak mau patah arang. Dia mengayuh sepedanya kelilling kota. Bahkan, sampai ke Paotere, daerah pinggiran Makassar. Dan di tempat itulah, dia melihat truk-truk tentara Jepang yang sedang membuang tumpukan tepung, semen, dan gula. Naluri bisnis Eka memanggil, bukankah bahan yang dibuang itu bisa dimanfaatkan?

Dia kembali ke rumah dan membuat persiapan untuk membuka tenda di dekat lokasi tersebut. Dengan kata lain, dia berencana untuk menjual makanan dan minuman kepada tentara Jepang yang berada dalam lokasi itu. Tapi, besoknya, tak ada tentara Jepang yang belanja. Tak masalah bagi Eka, dia malah mendekati pimpinan di sana dan mempersilakan makan dan minum di tenda. Setelah semua laki-laki dan tahanan diizinkan untuk makan dan minum di tenda, Eka lalu minta izin untuk mengangkat semua barang yang sudah dibuang. Dia kumpulkan semua barang tersebut di rumahnya dan memilih barang mana yang masih baik untuk dijual atau dipakai.

Mengetahui Eka memiliki barang tersebut, ada seorang kontraktor yang tertarik untuk membeli. Sang kontraktor mendapat proyek membuat makam untuk orang kaya. Bukannya menyambut rezeki itu, Eka malah menolak. Dia malah memutuskan untuk menjadi kontraktor pembuat kuburan orang kaya. Dengan kata lain, keuntungan lebih berlipat dari sekadar menjual semen bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun