April 2009, Berkat Anugrah Hutauruk, pasien dengan HIV/AIDS ini hanya butuh ibunya. Tak ada yang lain. Hanya ibunya. Sejak menempati bangsal kelas III di RSU Pirngadi Medan, Berkat lebih sering meringkuk dan merintih. Siapapun yang memanggil namanya, Berkat acuh dan tak peduli, kecuali suara itu berasal dari abangnya, Afles Hutauruk, barulah Berkat menoleh. Â
Usianya baru saja menginjak 4 tahun 7 bulan, namun diagnosa yang menyakitkan harus dia derita di usianya yang bahkan belum mencapai lima tahun itu. Memang sejak itu bangsal tempat ia menjalani perawatan terus-terusan ramai, tak pernah sepi. Selain keluarganya, ruangan itu selalu dikunjungi pegawai instansi pemerintahan hingga yang mengaku simpatisan. Berbeda, ketika Berkat berada di kampung.
Ibunya baru saja meninggal pada Februari 2009, menyusul sang ayah yang meninggal tahun lalu (2008). Sejak itu kehidupan Berkat dan tiga saudaranya luntang-lantung. Sejak itu pula Si kecil Berkat mengalami rupa-rupa kesakitan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mulai dari pandangan jijik warga kampung terhadapnya, hingga sempat dikurung di kamar selama sepekan tanpa ada yang menemani. Bahkan si kecil Berkat juga diusir warga, dan semua itu karena HIV/AIDS yang ia derita.
Dulu ada ibunya yang selalu melindunginya. Mendekapnya dalam pelukan, dan yang tak pernah meninggalkannya sendirian. Â
Sebelum beragam penyakit oportunis yang menderanya, Berkat adalah anak yang tergolong kuat makan. Bahkan, ketika dirawat di rumah neneknya di Huta Bagasan, Desa Hutauruk, Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara, Berkat selalu ingin makan. "Selera makannya seperti orang dewasa. Tapi badannya yang kecil itu yang membuat warga di sini (Huta Bagasan) jijik melihatnya," kata keluarga dekat Berkat.
Dua pekan dirawat di rumah neneknya, menantu dari keluarga Bapa Tua marga Hutauruk yang bertugas menanak nasi untuk Berkat dan Afles.Â
Berdasarkan cerita yang digali dari keluarga dekat, pertumbuhan badan Berkat tidak baik sejak tahun lalu (2018).Â
Ketika itu, ayahnya (Lintong Hutauruk) dan ibunya (Rosalina boru Simanjuntak) masih hidup. Sang ayah meninggal pada Desember 2008, setelah menjalani operasi usus buntu di RSUD Tarutung. Menurut versi keluarga Hutauruk, setelah operasi, Lintong mengalami infeksi parah dan tidak berobat ke rumah sakit.
Kondisi kesehatan ibu Berkat pun kala itu juga sudah mulai parah. Batuknya terus berkepanjangan, tubuhnya pun semakin kurus. Hingga akhirnya Februari 2019 lalu, Rosalina meninggal di RSU dr Pirngadi, Medan setelah sempat menjalani perawatan beberapa pekan.
Dan Merekapun Menjadi Yatim Piatu
Sejak itu, Afles Hutauruk, Sonya Hutauruk, Ruth Tania Putri Hutauruk, dan Berkat Anugrah Hutauruk pun berstatus yatim piatu.Â
Saudara-saudara ayah Berkat lantas berinisiatif menyelamatkan keempat bocah ini. Karena keadaan, kakak beradik ini pun terpaksa harus berpisah.Â
Sang abang, Afles dan Berkat diasuh oleh keluarga Bapak Tua mereka, serta tinggal di Bahal Bat, Kecamatan Siborong-borong, Tapanuli Utara. Sedangkan Ruth Tania Putri Hutauruk diasuh sang bibi (namborunya), L. br Hutauruk. Sementara Sonya Hutauruk diasuh oleh bibinya yang lain yaitu D. br Hutauruk. Kebetulan kedua bibi mereka tinggal di Medan.
Ruth dan Sonya melanjutkan sekolah di Medan, sedangkan Afles harus putus sekolah dan merawat adik yang tak bisa jalan karena didera berbagai penyakit.Â
"Ketika di Bahal Batu, si Afles selalu menggendong adiknya. Kadang pigi (pergi) ke rumah tetangga," kata keluarga dekat Berkat melanjutkan ceritanya.
Selama tinggal di Bahal Batu, kondisi fisik dan penyakit Berkat bukannya membaik. Keluarga di sana berusaha memberinya makan dan asupan.Â
Afles juga sering menggendong Berkat setiap pergi kemanapun. Katanya dia tidak tega meninggalkan adiknya di rumah. Namun hal itu justru membuat warga kampung jadi semakin jijik.
Warga di kampung itu takut penyakit Berkat menular ke anak-anak lainnya. Keluarga yang di Bahal Batu pun tak kuat mendengar desakan orang-orang, mereka meminta agar Berkat dibawa pergi (berobat), asalkan jangan di kampung itu. Begitulah keinginan warga.
Terhimpit dengan desakan warga, keluarga pun mengantarkan Berkat ke Huta Bagasan, Kecamatan Sipoholon pada awal April 2009. Di sana, ia tinggal bersama neneknya yang tua (85 tahun) di rumah peninggalan kakeknya. Situasi di Huta Bagasan tak jauh berbeda dengan Bahal Batu, setelah dua hari tinggal di sana, saat Afles membawa adiknya ke halaman, warga kampung melihat Berkat.
Merekapun resah. Anak-anak dilarang mendekat ke Berkat.
"Songon sahit ni inangna i do (seperti penyakit mamaknya). Begitu kata orang kampung ini (Huta Bagasan)," ujar keluarga Hutauruk mengingat perkataan warga terhadap Berkat.
"Tega kali warga di kampung kami sana mengusir Berkat. Padahal, penyakitnya tidak menular begitu saja," sahut D. br Hutauruk, salah satu Bibi berkat yang sedang menyimak cerita dari keluarga dekat yang enggan menyebut namanya itu.
Dalam pengakuan D. br Huturuk ia tak kuasa menahan air matanya saat mengetahui anak abangnya ini diusir dari kampung. Perempuan bertubuh tinggi itu bilang, karena tinggal di Medan, mereka tidak mengetahui apapun peristiwa yang terjadi di kampung.
Dikurung di Kamar
"Kalau aku di sana, pasti ku marahi orang kampung itu. Apa salah anak itu? Tengoklah dia masih kecil," katanya memendam emosi.
Dia pun mempertanyakan perihal pengusiran tersebut kepada Afles.
"Betulnya itu Fes? Memang diusir si Berkat?" tanyanya.
"Iya, Bou (bibi)," jawab Afles.
"Adik juga dikurung di kamar Opung (nenek) waktu itu," sambung Afles.
Perempuan berkulit kuning langsat itu pun semakin berang.
"Afles cuma diperbolehkan mengantar nasi adek. Setelah itu adek sendirian saja di kamar itu," tambah Afles.
Saat mengetahui kabar di kampung, diakui D. br Hutauruk, dia langsung mencari informasi mengenai kabar itu. Berdasarkan informasi dari saudaranya di kampung, rupanya, pengusiran tersebut bermula dari tetangga sebelah rumah neneknya.
"Mereka yang paling keberatan dengan kehadiran Berkat di kampung itu. Makanya dia yang mengadu ke kepala kampung dan mempengaruhi warga kampung sini untuk mengusir dan mengurung si Berkat. Jahat kali mereka," bebernya.
Dalam situasi yang pelik itu, kondisi Berkat pun semakin parah, tubuhnya dipenuhi luka. Kalau gatal, kemudian digaruk, pasti berdarah, sehingga meninggalkan bekas koreng di seluruh bagian tubuhnya. Pihak keluarga pun akhirnya memutuskan untuk membawanya berobat ke rumah sakit di Medan.
Sebelumnya, menurut D. br Hutauruk, kepala kampung membawa bocah tersebut ke Puskesmas untuk mendapatkan surat rujukan berobat ke Kota Medan.Â
Pukul 22.00 WIB, Berkat sampai di Kota Medan, tapi tak langsung dibawa ke rumah sakit. Para keluarga berkumpun di rumah bibi mereka yang lain. "Kami bingung dan barulah pada pukul 02.00 WIB, kami membawanya ke RSU dr Pirngadi Medan," jelasnya.
Surat Rujukan Ditolak
Tiba di rumah sakit, ternyata pihak rumah sakit tidak menerima surat rujukan Puskesmas kampung asal pasien. Surat itu ditolak. Pihak rumah sakit mengatakan harus surat rujukan JPKMS. Pasalnya Berkat tidak terdaftar sebagai pemegang polis Jamkesmas (sebelumnya Askeskin).
"Kami katakan, jadi kek mana nasib si Berkat ini. Sudah terima dulu lah. Kemudian mereka menyuruh kami untuk mengurus surat JPKMS dari kampung sana. Sementara anak kami ini distatuskan sebagai pasien umum di ruang belakang sana," katanya menunjuk lorong paling belakang Ruang Rawat Inap Kelas III RSU dr Pirngadi Medan.
Pihak keluarga pun menuruti permintaan rumah sakit. Maka diuruslah surat rujukan tersebut. Eh, rupanya, surat rujukan yang datang tak layak sebagai surat rujukan. "Hanya surat selembar saja. Isinya menyatakan bahwa Berkat adalah warga kampung tersebut. Surat tersebut pun ditolak oleh pihak rumah sakit. Mereka tetap tidak mau menerima Berkat sebagai pasien JPKMS," bilangnya.
Untunglah D. br Hutauruk memiliki seorang kenalan di rumah sakit Pirngadi Medan. "Melalui dia lah akhirnya si Berkat dapat dirawat di ruang kelas III sebagai pasien JPKMS. Itupun karena kenalan kami itu mendatangi ruang direktur dan melihat langsung kondisi si Berkat. Ah, syukurlah. Kalau tidak kami tidak tahu lagi harus bagaimana," ungkapnya.
 "Sakit kali rasanya," sambungnya.
Akhirnya biaya perawatan Berkat selama di rumah sakit ditanggung oleh JPKMS. Semua urusan terkait Berkat juga ditangani langsung oleh Direktur RSU dr Pirngadi masa itu, dr Umar Zein. Ruang inap Berkat juga tidak diisolasi. Atas persetujuan dokter, Berkat juga tak diinfus. Manajemen RSU dr Pirngadi, sudah mengatur menu asupan gizi selama Berkat menjalani perawatan di rumah sakit.
Sepekan dirawat di RSU dr. Pirngadi Medan, kondisi Berkat semakin membaik. Berat badannya menunjukkan kemajuan. Semula berat badan Berkat adalah 6 kilogram, sejak masuk RSU Dr. Pirngadi Medan pada Sabtu (18/4/2009) pukul 02.00 Wib.Â
Namun setelah dirawat selama enam hari, berat badanya naik 1,8 kg. Berat badan Berkat telah menjadi 7,8 kg. Meskipun belum mencapai berat badan normal anak berusia lima tahun, yakni 15-20 kilogram. Namun bertambahnya berat badan Berkat menunjukkan perkembangan yang luar biasa.
Dikunjungi Wagubsu
Hari itu ruang kamar Berkat lebih ramai dari biasanya. Atas peristiwa yang dialami pasien di ruang rawat inap kelas III ini, Berkat mendapat banyak kunjungan dan bantuan dari berbagai kalangan di masyarakat. Wajar saja, siapa yang tak berempati kepada kisah pengalaman yang dialami anak yang malang ini. Sejak pagi hingga sore, ruangannya tak pernah sepi.
Menurut perawat yang ada di ruang kelas III tersebut, sudah ada lebih dari lima orang yang mengunjungi Berkat. Kata perawat itu, macam-macam asal orang-orang tersebut. Mulai dari masyarakat biasa yang berempati, LSM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara dan bahkan kabar yang sudah beredar sejak pagi, menyebutkan Berkat akan dikunjungi oleh Wakil Gubernur Sumatera Utara (Wagubsu) masa itu.
Pukul 16.00 WIB, Wagubsu datang didampingi oleh Umar Zein, Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan, Kepala Dinas Kesehatan, Chandra, Linda, Bagian Komisi Perlindungan Anak Daerah Sumatera Utara (KPAIDSU), Drg. Susyanto selaku Humas RSU Dr. Pirngadi Medan dan beberapa jajaran dokter, diantaranya adalah Dr. Irwan Fahri Rangkuti, Spesialis Bagian Kulit dan Kelamin RSU Dr. Pirngadi Medan.
Dalam kunjungan tersebut Wagubsu menyempatkan berbicara kepada Afles, abang Berkat yang putus sekolah demi menjaga Berkat.
"Afles masih mau sekolah kan?" Tanya Wagubsu kepada bocah 11 tahun ini.
"Ya, Saya mau," jawab Afles.
Dalam kesempatan ini juga, Wagubsu mengatakan, bahwa kasus Berkat ini dapat menjadi pelajaran bagi semua orang. Wagubsu juga menegaskan, agar tidak melakukan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS, khususnya bagi penderita yang masih anak-anak.
"Penularan virus ini tidaklah mudah, jadi tak ada alasan untuk mendiskriminasikan penderitanya," bilang Wagubsu.
"Pasien seperti Berkat tidak akan dibiarkan begitu saja. Apalagi Dia dan tiga saudara lainnya itu adalah anak yatim piatu. Oleh karena itu, semua pihak akan turun bersama-sama," tegas Wagubsu.
"Sepi, Tak Ada Kawan."
Untuk pertama kalinya Afles berbicara dalam sebuah forum resmi mengenai adiknya, Berkat Anugerah Hutauruk, yang didiagnosis secara medis mengidap virus HIV/AIDS. Duduk dihadapan khalayak dalam sebuah diskusi yang diadakan Forwakes bersama RSU dr. Pirngadi Medan. Afles (12) duduk berdampingan dengan Dinkes Sumut dr. Chandra syafei SPOG, Dinkes Medan, dr. Edwin Effendy, Ketua IDI, RUstam Effendi, PDGI, Iskandar Muda Siregar dan Direktur RSU dr. Pirngadi Medan, dr. Umar Zein.
Afles didaulat untuk kembali menceritakan secara singkat perihal peristiwa yang dihadapinya bersama adiknya ini, tatkala tinggal di kampung, Sipolohon, Tarutung hingga sampai ke RSU dr. Pirngadi Medan.
"Sepi. Tak ada kawan," begitu ungkap anak pertama dari empat bersaudara ini, tatkala moderator bertanya soal perasaannya, usai meninggalnya kedua orangtuanya ini.
Perihal kondisi Berkat, dr. Umar Zein selaku Direktur RSU dr. Pirngadi Medan mengungkapkan, kondisinya sudah mulai membaik. Nafsu makan Berkat pun terbilang tinggi. Maka tak usah heran bila berat badannya terus menerus mengalami kenaikan. Kulitnya juga sudah bersih. Minimal, tak didapati lagi luka-luka dikulitnya. Yang ada hanyalah bekas-bekas luka yang mulai mengering.
Bahkan menurut Umar Zein, melihat kondisi Berkat yang semakin membaik ini, Dia bahkan sudah bisa dirawat jalan saja. "Paru-parunya pun bagus, Dia hanya kurang gizi saja. Sebetulnya Berkat sudah bisa dirawat di rumah, atau minimal dirawat di Puskesmas saja," bilangnya.
Terlepas dari itu, dr. Chandra Syafei SPOG selaku Dinkes Sumut mengungkapkan, setidaknya diprediksi hingga saat ini ada sekitar 11 Ribu penderita HIV/AIDS positif di Sumatera Utara (Sumut). "Yang baru terjaring baru sekitar 1600 penderita HIV/AIDS positif. Secara persentase itu baru 14 persen saja. Sementara yang 86 persennya lagi itu ada dimana? itu yang belum terjaring," katanya, Jumat (1/5/2009) di ruang rapat II RSU dr. Pirngadi Medan.
Senada dengan Dinkes Sumut, Dr. Edwin Effendi selaku Dinkes Medan menuturkan, saat ini pihaknya telah melakukan promosi-promosi kesehatan yang dalam praktiknya dilakukan melalui penyuluhan-penyuluhan, sosialisasi, seperti ke Lembaga Permasyarakatan (LP) dewasa dan anak, pun bahkan ke oukup-oukup.
Soal diskriminasi yang dihadapi oleh para penderita HIV/AIDS selama ini, menurut Umar Zein, masyarakat tidak siap untuk menerima penyakit ini. Maka jangan heran, mengapa banyak penderitanya terkesan ditutup-tutupi. Maksudnya adalah agar tidak terjadinya diskriminasi terhadap penderitanya. Faktanya para penderita HIV/AIDS ini selain menanggung beban penyakitnya, kata Umar juga menanggung beban psikologi dalam dirinya.
Stop Diskriminasi
Tapi menurutnya hal itu karena persepsi yang salah dalam benak masyarakat, bahwa penyakit ini kerap diidentikkan muncul akibat perilaku seksual yang tidak aman (suka berganti-ganti pasangan). Padahal, dijelaskan Umar, penularan penyakit HIV/AIDS ini tidak semata-semata karena hubungan seksual yang tidak aman, namun juga bisa menular melalui jarum suntik yang dipakai bergantian (umumnya bagi para pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik sebagai medianya).
Atas klaim masyarakat yang salah terhadap penularan penyakit tersebut. Secara psikologis, itulah yang membuat para penderita HIV/AIDS merasa malu dan tertutup.Â
Mirisnya, diskriminasi soal penyakit ini ternyata bukan hanya datang dari masyarakat awam saja, namun juga dari para petugas medis yang sejatinya dianggap memahami penyakit tersebut. Persis  yang Umar Zein ceritakan, saat itu tahun 1992, dan untuk pertama kalinya dia menangani pasien HIV/AIDS di RSU dr. Pirngadi Medan.Â
Katanya saat itu, tak ada satupun perawat yang berani mendekati pasien tersebut. Semuanya lari. Begitupun saat di RSU Adam Malik, di tahun yang sama, seorang penderita HIV/AIDS bukan hanya mampu membuat para perawat untuk lari kocar-kacir, pun juga seorang dokter spesialis dengan gelar Sarjana Kedokteran ikutan lari.
Hal yang sama pun terjadi pada kasus Berkat, "Saat Berkat tiba pertama kali di RSU dr. Pirngadi Medan, salah saeorang dokter meminta pasien ini (Berkat) untuk dirujuk ke rumah sakit lain. Tapi Saya menolaknya. Untuk apa dirujuk. Kita harus merawatnya disini dan tak perlu diisolasi. Ini adalah contoh bahwa sebetulnya tak semua orang siap dengan penderita HIV/AIDS," bebernya.
Sementara itu, Rustam Effendi, selaku Ketua IDI Medan tak menampik, penyakit HIV/AIDS menjadi penyakit yang menakutkan dari sisi nama baik. Karena doktrin bahwa penyakit ini timbul akibat hubungan seksual. Padahal ada penyebab lain semacam transfusi darah misalnya. Namun terkait persoalan petugas kesehatan (dokter) juga yang memiliki ketakutan seperti orang awam lainnya, IDI tetap berusaha untuk mengatakan kepada angotanya, demi meningkatkan upaya-upaya kesehatan di masyarakat.
Semoga kamu baik-baik saja ya nak. Sehat selalu, dan selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H