Ada yang ingat dengan permainan boneka kertas? Dulu saya menyebutnya sebagai main anak-anakan. Mainan ini serupa puzzle, terbuat dari kertas karton.
Warung-warung penjual mainan ini umumnya menyediakan beragam jenis dan pilihan. Biasanya satu lembar terdiri atas beberapa bagian potongan gambar, seperti potongan gambar perempuan dan laki-laki, potongan gambar anak perempuan dan anak laki-laki.
Dilengkapi juga dengan potongan gambar lainnya seperti sepasang busana yang terdiri dari atasan dan bawahan. Tak ketinggalan perlengkapan lain seperti tas sampai bunga.Â
Seingat saya, memainkan permainan ini lebih seru dilakukan berkelompok. Paling tidak dua sampai lima anak. Masing-masing anak nantinya membangun pondasi rumah-rumahan yang akan ditempati oleh mainan anak-anakan itu.Â
Setiap anak yang mengikuti permaianan ini akan berkreasi dalam membangun pondasi rumah untuk si anak-anakan tadi. Ada yang menggunakan pensil untuk membentuk segi empat bangunan. Ada juga yang menggunakan dompet kecil ibunya sebagai tempat tidur si anak-anakan. Bahkan ada juga anak yang kreatif membuat kursi dan meja dari kertas yang dikoyak dari lembaran buku catatan sekolah.Â
Saya selalu menggunakan kotak korek api sebagai meja, dan batang-batang korek api sebagai pembatas antara kamar, dengan ruang tamu. Memainkan permainan ini menyenangkan. Â Dialog yang tercipta begitu alami. Menyentuh kehidupan manusia sehari-hari. Momen yang paling ditunggu dalam permainan ini adalah momen memasang dan mengganti busana pada anak-anakan ini.Â
Tapi itu dulu. Kini media permainan anak telah berkembang pesat. Bahkan seiring waktu cukup banyak permainan anak yang memuat fitur teknologi yang canggih. Sayangnya kecanggihan permainan itu tak membuat anak tampak kreatif malah sebaliknya justru menjadikan anak persis 'boneka' yang dikendalikan oleh permainan canggih itu.Â
Lakon Imajinasi yang Gembira
Tadi sore ketika sedang asyik rebahan di atas kasur. Saya memperhatikan dua orang anak kecil yang sedang memainkan permaianan anak-anakan versi era now. Tanpa menggunakan media boneka kertas, kedua anak ini secara langsung memainkan peran persis permainan anak-anakan itu. Anak perempuan yang berusia 7 tahun berperan sebagai ibu. Sedangkan anak laki-laki yang berusia 5 tahun berperan sebagai anak. Keduanya membangun pondasi rumahnya dengan menggunakan bantal dan selimut. Mereka juga menyusun komik-komik sebagai dekorasi rumah mereka. Saya melihatnya lebih mirip tempat tidur, bukan rumah.
Si anak pun patuh, lantas memasuki ruang kamar mandi dalam imajinasi mereka. Suara air juga anak itu keluarkan dari bibirnya. "Byur, byur, byur". Setiap lakon ia sampaikan lewat kata-kata melalui bibir mungil si anak. Misalkan ketika membuka pintu kamar mandi, sang anak mengeluarkan suara persis pintu yang berderit. "Kreeek".Â