Enam belas tahun mengenyam profesi sebagai jurnalis sejak 2003 silam hingga kini 2019, saya belum juga pandai mengendarai sepeda motor. Padahal sejak menjatuhkan pilihan bekerja menjadi jurnalis, memiliki kendaraan pribadi itu seperti hukum yang tak tertulis ((harus ada)).
Wajar, pekerjaan ini tak hanya menuntut pekerjanya cerdas menangkap isu, juga sigap melesat cepat sampai di lokasi sebuah kejadian yang sedang berlangsung. Sebut saja seperti peristiwa kebakaran misalnya.
Selama ini, entah karena beruntung atau diuntungkan (tanpa bermaksud gender), karena berjenis kelamin perempuan  saya tak pernah ingkar pun mangkir dari tugas yang dibebankan kepada saya selama menjalani profesi ini.
Jika tidak jalan kaki, biasanya saya menggunakan jasa transportasi umum. Sesekali saya beruntung mendapat zona nyaman sebagai 'Boncengers' oleh rekan seperjuangan profesi. Alhamdulillah.
Itu sebab rekan-rekan seprofesi kerap menyebut saya sebagai 'WarJaki' yang artinya wartawan jalan kaki. Istilah ini umumnya diperuntukkan bagi jurnalis yang tidak mengendarai kendaraan pribadi juga yang setia berjalan kaki, lalu kemudian berdiri di pinggir jalan untuk menunggu transportasi angkutan umum yang hilir mudik sesuai tujuan.
Sejak dulu hingga kini saya tak juga berniat mengendarai kendaraan pribadi. Soal belajar mengendarai, sekali dua kali saya pernah juga belajar mengendarai sepeda motor. Namun masalahnya minimalisnya tinggi badan yang saya punyai membuat saya sulit untuk menguasai kendaraan roda dua seperti sepeda motor.
Setiap kali saya ditanya mengapa saya tidak mengendarai sepeda motor. Saya selalu menjawab, bukan karena tidak mau. Namun kaki saya yang tidak sampai. Jawaban ini sulit diterima oleh siapapun yang bertanya kepada saya.
Padahal saya juga menyertai alasan yang mendukung jawaban saya. Bahkan saya ajak para penanya untuk membayangkan ketika saya memaksakan diri mengendarai sepeda motor. Saya pinta mereka untuk membayangkan saat di lampu merah.
Apa yang harus saya lakukan? Mau tidak mau saya harus menurunkan seluruh badan saya bukan? agar bisa berpijak di bumi aspal sembari menahan sepeda motor yang keseimbangannya berasal dari tubuh saya.
Ketika itu saya lakukan, saya juga harus siap dengan belasan atau puluhan mata pengendara lain yang juga sedang berhenti di lampu merah. Mungkin menertawai saya, atau diam-diam cekikikan melihat tingkah saya.
Begitulah setiap kali saya mengungkapkan alasan ini, para penanya selalu berakhir dengan pingkalan-pingkalan tawa yang tiada henti. Tubuh saya termasuk pendek. Jadi mau bagaimana lagi.