Tema “Siaga Bencana melalui Media Sandiwara Radio” yang digagas Kompasiana ini mengingatkan kenangan saat saya masih bekerja sebagai salah satu staf pemberitaan di Radio Suara Surabaya. Tepatnya pada erupsi Gunung Kelud di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Kamis 13 Februari 2014 lalu. Meski jarak antara Kota Surabaya dan Kabupaten Kediri tidak terlalu jauh, kami memberikan update perkembangan seputar Gunung Kelud.
Usaha yang dilakukan tidak hanya memantau stasiun televisi, tetapi juga berkomunikasi secara intensif dengan Kepala Badan Nasional Penanggulagan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho melalui telepon. Sebagai radio dengan format citizen journalism, berbagai tanggapan dari masyarakat, terutama di Kota Kediri dan sekitarnya, kami tampung dengan baik. Dari mereka inilah kami sebagai pelaku media mendapatkan informasi dengan cepat, sekalipun tetap harus melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak berwenang untuk mendapatkan informasi yang akurat, sebelum disampaikan kepada masyarakat. Proses konfirmasi sering dan selalu kami lakukan agar pendengar benar-benar mendapatkan update berita yang cepat dan tepat. Tentu hal ini tidak lepas dari kekuatan radio yang dapat menyampaikan informasi secara langsung, yakni cukup dengan bertutur. Tanpa harus mengetik ulang dan membawa tulisan kepada redaktur untuk dikoreksi sebelum ditayangkan.
Ketika aktivitas Gunung Kelud semakin meningkat, materi pemberitaan mulai diarahkan secara intensif ke salah satu kawasan wisata yang terletak di perbatasan Kabupaten Kediri dan Blitar tersebut, selain radio juga membawakan berita terkini, baik secara nasional maupun internasional. Saat itu belum ada reporter yang diterjunkan secara langsung ke lokasi. Namun berita tentang Gunung Kelud terus di-update dengan menghubungi pihak-pihak berwenang, seperti BNPB, Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), kepolisian, serta kepala desa dan warga setempat.
Berhubung kantor kami bernaung merupakan radio dengan segmen berita, sudah bisa dipastikan bahwa tidak ada program sandiwara. Jadi, jangan harap ada sandiwara radio, terutama asmara, dapat hadir ke ruang dengar Anda, Kawan (sapaan untuk para pendengar Radio Suara Surabaya)! Meski begitu, tim pemberitaan maupun on air menyiapkan sejumlah paket berita berdurasi satu hingga lima menit, yang berisi perkembangan terkini di kawasan Gunung Kelud dari para narasumber yang kompeten. Para narasumber juga tak lupa menyampaikan edukasi perihal penanggulangan bencana gunung meletus, sehubungan apa yang harus dilakukan dalam kondisi tertentu, bagaimana caranya, mengapa harus demikian dan perkiraan waktunya.
Kenangan yang takkan pernah terlupa adalah saat Gunung Kelud itu meletus. Malam itu saya masih berada di kantor hingga pukul 21.00 karena sedang membantu persiapan perayaan ulang tahun She Radio – salah satu anak usaha Suara Surabaya Media – yang akan berlangsung keesokan harinya. Setelah semuanya beres, saya bersiap pulang ke kos-kosan. Namun sebelumnya, saya menyempatkan diri mampir ke ruangan kerja. Ternyata ada peningkatan status Gunung Kelud (lagi).
Sekitar pukul 22.50, beberapa pendengar di Kota dan Kabupaten Kediri melaporkan bahwa atap rumah mereka kejatuhan kerikil dan abu panas dan hawa terasa gerah. Belum lagi warga Desa Segaran dan Sumber Waras yang tak jauh dari Gunung Kelud juga berusaha mengungsi ke kota, demi keamanan. Mendengar informasi tersebut, saya teringat kedua orang tua di sana dan berusaha menghubungi mereka. Setelah mendapatkan kepastian bahwa mereka berdua baik-baik saja, saya pun cukup lega. Namun ada perasaan tidak tenang ketika hendak pulang ke kos-kosan. Rasa penasaran terhadap suasana di lokasi membuat saya ingin bertahan di kantor.
Saya membantu teman-teman gatekeeper untuk mengangkat telepon dan melayani laporan pendengar. Kantor yang biasanya sepi pada malam hari, mendadak panik dengan tiada hentinya telepon-telepon itu berdering. Isi laporannya rata-rata sama, yakni update Gunung Kelud. Saat menerima laporan pendengar yang meresahkan, sesungguhnya batin ini juga ikut gundah karena kedua orang tua saya juga berada di sana. Namun sebagai sebagai seorang broadcaster, tidak selayaknya menyampaikan keluh-kesahnya kepada pendengar. Kami justru harus menanggapi laporan mereka dengan ramah dan menenangkan mereka agar dapat berpikir dengan akal sehat di tengah situasi yang mengkhawatirkan.
Singkat cerita, saat Gunung Kelud 'menunjukkan aksinya', saya dan seorang rekan wanita memutuskan untuk bertahan di kantor lebih dulu. Kemudian kami pulang ke tempat tinggal masing-masing sekitar pukul 02.00. Sementara rekan-rekan pria yang bertugas shift malam tetap bertahan di kantor. Keputusan kedua gadis untuk nekat pulang, selain karena pertimbangan hari sudah gelap dan keesokan harinya kami harus masuk shift pagi, listrik di kantor tengah padam. Praktis, kami tidak dapat melakukan kegiatan apapun, bahkan ketika pendengar membutuhkan informasi terkini seputar Gunung Kelud.
Setiba di kos-kosan pun, komunikasi intensif masih saya lakukan bersama teman-teman dan keluarga untuk memastikan mereka semua dalam keadaan yang baik. Radio pun saya nyalakan, siapa tahu listrik sudah menyala dan saya dapat mendengarkan perkembangan terkini Gunung Kelud. Alhasil, saya pun tidak tidur pada malam itu! Hehehe...
Sejak saat itulah, pemberitaan di kantor fokus pada Gunung Kelud. Sudah dapat dibayangkan, tentu para penyiar akan membahas soal erupsi setiap waktu, sesuai isu terkini. Sempat ada rasa jenuh juga di pikiran saya. Yang dibahas ini lagi, ini lagi. Tetapi apatah dayaku, memang inilah yang menjadi isu terkini.