Peringatan Hari Pahlawan, hari ini, membuka kembali kenangan saya dua tahun lalu, di Surabaya. Tidak, tidak, ini tidak berhubungan dengan kenangan pahit atau luka di hati (halah), tetapi pengalaman luar biasa yakni mencicipi sensasi perjuangan arek-arek Suroboyo tempo dulu di Hotel Majapahit, Surabaya. Pada zaman kolonial, tempat bersejarah ini bernama Hotel Yamato atau Hotel Oranje.
Awalnya, saya sempat mengira insiden perobekan warna biru pada bendera Belanda oleh arek-arek Suroboyo dilakukan pada 10 November 1945. Namun ternyata, peristiwa tersebut terjadi pada 19 September 1945. Hal ini saya ketahui dari tokoh seni dan budaya Surabaya, Ananto Sidohutomo dr, MARS. Pria berkacamata itu juga mengundang saya untuk mengenang peristiwa tersebut, dengan menghadiri proses monolog insiden bendera Hotel Yamato, Jumat 19 September 2014, pukul 19.00.
Berikut adalah paket siaran radio yang saya buat berdasarkan hasil wawancara dengan beliau. Tayang pada hari yang sama, Jumat 19 September 2014, antara pukul 13.00-13.30 WIB.Â
Saat itu saya hadir bersama rekan-rekan sesama jurnalis. Setelah sempat mengobrol dengan Sales Manager Hotel Majapahit Surabaya saat itu, Lisa Lestari, kami diundang langsung ke lokasi. Kami sempat terkejut karena monolog dilakukan tepat di lokasi arek-arek Suroboyo dulu berjuang membela Sang Saka Merah Putih. DIbutuhkan keberanian untuk ke sana, apalagi perempuan.
Kami saling berpandangan. Di salah satu sudut hotel disiapkan tempat duduk, lengkap dengan LCD agar pengunjung bisa menonton prosesi. Cukup nyaman memang! Pengunjung tinggal duduk manis, menonton pertunjukan dan mungkin sesekali berfoto. Di sisi lain, momen ini sangat langka. Kapan lagi bisa masuk ke area bersejarah ini. Dengan tekad bulat, kami mengambil keputusan untuk naik.
Kami pun diantar ke sebuah jalan yang cukup sempit dan agak gelap. Setiba di salah satu sudut hotel, kami berhenti. Ternyata kami harus menaiki tangga yang terbuat dari besi. Kembali berpandangan, pakaian yang kami gunakan sangat tidak nyaman untuk memanjat tangga. Teman saya mengenakan rok, sedangkan saya menggunakan sepatu wedges. Sempat ciyut nyali, iya. Namun kalau kami mundur, sia-sialah keberadaan di sana.
Berpegang pada prinsip arek-arek Suroboyo yaitu bonek atau bondo nekat (bermodalkan keberanian), untuk pertama kalinya saya menaiki tangga menggunakan sepatu wedges. Buseeettt!
Apa nggak sayang kalau sepatunya rusak? Sayang donk!
Apa nggak takut jatuh dari tangga? Pasti. Dulu waktu masih kecil, saya takut naik tangga.
Tetapi, saya pikir, apapun risikonya, lebih baik saya tetap menggunakan sepatu. Kalau sepatu dilepas, tidak ada yang tahu kan ada apa di tanah yang kami injak? Entah kotoran, hewan atau benda tajam.