Sekitar awal tahun 2000-an, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), industri kreatif kurang dilirik masyarakat. Jangankan dilirik, anak-anak kecil yang memiliki cita-cita yang agak nyeleneh atau lain daripada yang lain saja, buru-buru dilarang oleh kedua orang tuanya.
“Pilih saja cita-cita yang sewajarnya saja, Nak!” mungkin begitulah kurang lebih perkataan ayah atau ibu dari bocah-bocah yang punya impian out of the box. Saat itu, kebanyakan orang tua masih mengharapkan buah hatinya menjadi pegawai negeri sipil (PNS), guru, dokter, polisi dan insinyur. Sementara harapan anak-anak yang lugu itu untuk menjadi seorang desainer, pengusaha garmen, perajin keramik, chef dan sebagainya, seakan segera “dikubur paksa” agar tak muncul lagi ke permukaan.
Kondisi ini kemudian mengalami kebalikan pada kurang lebih satu dekade berikutnya. Dalam situs resminya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bahwa industri kreatif mampu berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi nasional, mulai dari peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, jumlah perusahaan, hingga pasar ekspor.
Menteri Perindustrian saat itu, Saleh Husin memaparkan bahwa sektor tersebut diperkirakan memiliki nilai tambah mencapai Rp1111,1 triliun pada tahun 2014-2015. Mode, kuliner dan kerajinan menjadi tiga subsektor yang menjadi penyumbang nilai tambah tertinggi.
“Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh subsektor kerajinan dengan laju pertumbuhan ekspor sebesar 11,81 persen, diikuti fesyen dengan pertumbuhan 7,12 persen, periklanan sebesar 6,02 persen dan arsitektur 5,59 persen,” papar Saleh, masih mengutip situs yang sama.
Pertumbuhan pesat industri kreatif tersebut tentu saja tidak lepas dari jaringan internet memadai, terutama untuk mendukung pemasaran produk-produk yang dihasilkan. Pasalnya, kecanggihan teknologi yang mampu menghasilkan ponsel berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau, kini membuat smartphone bukan lagi barang yang langka dan sulit didapatkan. Tak dapat dipungkiri, hari gini, siapa sih yang nggak punya media sosial, entah itu Facebook, Twitter, Path dan Instagram? Para pengguna media sosial itulah yang menjadi pasar industri kreatif.
Dalam rangka mendukung pesatnya industri kreatif di Tanah Air, PT. Telkom Indonesia tak ingin ketinggalan dalam memberikan inovasi. Kali ini, cara yang mereka tempuh adalah peluncuran satelit Telkom 3S, yakni satelit komunikasi geostasioner milik Telkom Indonesia pada 15 Februari 2017 pukul 04.39 WIB. Pemilihan sistem komunikasi satelit ini menjadi satu-satunya pemersatu wilayah Indonesia yang memiliki ribuan pulau dan pegunungan yang sulit terjangkau. Menariknya, satelit ini tak hanya mengkau seluruh wilayah Indonesia, tetapi juga Asia Tenggara dan sebagian Asia Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H