Kalau mendengar nama “semur” dari daftar menu masakan Indonesia, kebanyakan dari kita tentu membayangkan olahan daging sapi dan kentang dalam kuah berwarna coklat yang merupakan perpaduan beragam bumbu, seperti bawang merah, bawang putih, bawang bombay, pala, cengkeh, dan yang terpenting adalah kecap manis. Kecapnya pun tidak bisa sembarangan karena harus terbuat dari kedelai hitam supaya cita rasanya semakin kuat meski sudah bersatu dengan bahan-bahan lainnya. Semur itu sendiri bisa disantap dengan tambahan lauk pauk seperti tahu, tempe, ikan, belut, kerupuk dan aneka bahan lain. Tambahan bisa dipilih sesuai selera masing-masing. Ada yang digoreng terpisah, ada juga yang langsung dicampur di bersama kuah semur. Nyam, nyam, nyam.
Namun setiap kali mendengar menu “semur”, saya langsung teringat Mama. Mengapa begitu? Karena Mama pernah membuatkan semur yang sangat istimewa untuk keluarga kami, sewaktu saya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Ceritanya begini, sepulang sekolah, seperti biasa saya langsung menuju meja makan, membuka tudung saji dan melihat apa menu makan siang kali ini. Saya melihat ada panci kecil berisi semacam sayur, kuahnya berwarna coklat, tampak sedikit lemak. Hmmm, kelihatannya lezat! Saya pun bergegas menaruh tas dan sepatu pada tempatnya, juga mengganti pakaian. Sambil menyendokkan nasi ke piring, saya bertanya kepada Mama, “Ma, ini apa?”
“Semur.” Saya menyendok sesuatu dari dalam panci. Bulat. Kecil. Agak pipih.
“Semur apa, Ma? Kok bentuknya aneh? Mama belum pernah masak menu ini ya?” saya mulai menyelidik.
“Iwak kebo (terjemahan bahasa Jawa yang artinya daging kerbau),” jawab Mama santai.
“Hah?!?! Iwak kebo?!?!?!” saya terkejut.
“Sudah, makan saja, enak kok. Adik saja nambah dua piring. Tadi Papa juga nambah sepiring.” Mama melanjutkan aktivitasnya menyuapi adik yang asyik bermain mobil-mobilan di ruang keluarga.
Melihat Mama yang tenang-tenang saja, saya pikir, semuanya baik-baik juga. Iwak kebo pun saya sendokkan ke piring, lengkap dengan kentang dan tahu yang dimasak bersama kuahnya. Lalu piring pun saya bawa ke ruang keluarga. Niatnya supaya bisa makan bersama adik, sambil ngobrol dengan Mama tentang kegiatan seharian di sekolah.
Suapan pertama, aman. Perpaduan nasi, tahu, dan kuah semur sangat segar di tengah hawa yang panas sekali kala itu. Meski baru kali ini Mama membuatnya, rasa semur tersebut enak sekali! Kemudian saya tertarik mencoba si 'iwak kebo'. Awalnya agak aneh juga sih, setengah percaya tidak percaya kalau Mama membuat olahan daging kerbau untuk kami sekeluarga.
Boro-boro kuliner ekstrim, olahan daging sapi saja jarang dibuatnya selain rawon dan soto. Tekstur daging sapi yang cukup keras terkadang membuat saya dan adik enggan memakannya, kecuali kalau daging benar-benar empuk. Tapi itu dulu kok, sekarang mah kami sudah bisa menikmati olahan daging. Jadi kalau ada yang mau traktir, boleh deh, hehehe.
Dalam bayangan saya, daging kerbau pasti lebih tebal dan keras dibandingkan sapi. Namun ketika pendapat ini saya sampaikan kepada Mama, wanita yang melahirkan saya dan adik itu malah semakin merayu. Beliau memastikan kalau beliau berhasil membuat daging kerbau itu menjadi empuk dan enak. Lantas, saya melihat ke arah piring. 'Daging' bulat pipih itu seakan memanggil untuk segera menikmatinya. Agak curiga, karena di pinggiran 'daging' itu semacam ada campuran telur. Daripada lama-lama, saya potong sajalah.
Tiba-tiba, serrrrr!!! Ada yang keluar dari dalam bulatan 'daging pipih' itu. Saya terkejut. Apa itu?
“Ma, ini beneran iwak kebo?” saya berseru.
“Iya, Lu.”
“Kok ini ada bijinya? Iwak kebo ada bijinya gitu?
“Ada. Sudah, makan saja! Enak kok, cobain deh!” Mama tersenyum. Ammmmm!! Sendok makan berisi nasi, kuah semur, dan iwak kebo mendarat di mulut. Hmmm, rasanya enak sih tteapi agak aneh. Mungkin karena lidah saya sensitif ya, saya jadi sangat peka kalau ada tekstur yang agak aneh masuk ke dalam mulut. Lunak sekali! Teksturnya mirip daging yang diblender sangat lembut. Namun sesekali ada semacam bulir-bulir biji dalam tekstur itu yang terasa ketika lidah menjelajah setiap sudut mulut.
Satu, dua, tiga sendok semur kebo sudah saya coba tetapi saya tidak juga mendapatkan feel yang sama dengan adik dan Mama. Saya tidak menemukan kenikmatan tersendiri dalam iwak kebo tadi. Lama-kelamaan, yang ada malah rasa mual karena teksturnya yang sangat lunak dan licin. Saya pun tak kuasa untuk menghabiskannya. Menyerah. Lambaikan tangan ke kamera! Hehehe..
Sore harinya, ketika saya sedang bersantai di teras rumah, ada seorang tetangga yang menyapa. Namanya Bu Titi. Dengan gayanya yang ceplas-ceplos, wanita berambut sepinggang itu tak kehabisan ide saat bertegur sapa dengan siapa pun yang ditemuinya.
“Lu, tumben di rumah? Biasanya jam segini sudah main ke rumah Nina.”
“Iya, Bu, Nina masih les.”
“Mana Mamamu? Ibu mau bicara sebentar,” katanya.
“Ada di dalam, Bu. Sebentar, saya panggilkan,” saya tersenyum.
“Masakan Mamanya Lulu hari ini enak sekali lho!” pernyataannya terdengar jelas di telinga meski saya tengah berjalan, masuk ke dalam rumah. Di saat yang sama, saya merasa ada yang aneh.
“Kok bisa Bu Titi tahu masakan Mama yang enak hari ini?” tanya saya dalam hati. “Ah, mungkin memang beberapa tetangga sudah mengetahui kalau Mama memang jago memasak! Itu biasa.”
Tidak membutuhkan waktu lama, tugas saya pun selesai. Memanggil Mama dan meninggalkannya mengobrol dengan Bu Titi di teras ruang tamu. Sudah saatnya saya duduk manis di depan televisi untuk menonton kartun kesayangan sambil makan biskuit yang sudah Mama sediakan di toples kecil.