“Nduk, piye kabare? Duh, kok tambah ayu to sliramu? Nganti pangling aku (Nak, bagaimana kabarmu? Duh, kok semakin cantik dirimu? Sampai bingung saya, red.),” begitulah wanita tua itu menyapa saya setiap kali kami bertemu. Kalimat yang terucap itu tak jauh berbeda, sejak saya masih kecil hingga menjadi mahasiswi.
Namanya Mbah Ni. Umurnya sekitar 80 tahun. Melihatnya, mengingatkan saya pada sosok mendiang eyang putri, ibu dari Mama yang kini telah tiada. Kulitnya sawo matang. Tubuhnya kurus. Namun beliau tak pernah sekalipun tidak tersenyum setiap kali bertemu dengan orang yang dikenalnya.
Dua hari sekali beliau mampir ke kampung kami untuk menjajakan dagangannya berupa daging sapi mentah. Rumah keluarga kami selalu dikunjunginya setiap kali beliau berjualan. Kalau ada daging sapi segar dan berkualitas tinggi, beliau selalu menawarkannya kepada Mama. Biasanya sangat cocok untuk diolah menjadi soto daging, daging lapis, atau rendang. Setiap kali memandangnya, satu hal yang terbesit di benak saya. Usia senja tak pernah mematahkan semangatnya untuk mengais rezeki karena beliau pun enggan untuk meminta-minta.
Melihat kerja keras dan keramahannya kepada siapapun, membuat keluarga kami merasa trenyuh. Setiap kali beliau mampir, Mama selalu menawarkan untuk singgah. Entah sekadar mengajak ngobrol, membeli daging, atau memberikan air minum. Jika kami memiliki berkat berupa makanan, Mama juga tak segan untuk memberinya. Ternyata, hal serupa juga dilakukan beberapa warga di kampungku, yang menceritakannya sendiri kepada Mama.
Saat masih sekolah beberapa tahun yang lalu, beberapa kali saya melihat beliau menangis ketika sedang mengobrol dengan Mama di teras. Matanya sembab. Tubuhnya yang kurus seakan semakin mengecil, setiap kali air matanya mengalir. Entah apa yang sedang beliau tangisi. Melihat saya mengetahui hal ini dari balik pintu, Mama selalu memberikan kode agar saya kembali masuk ke dalam rumah. Seakan-akan Mama berpesan, ini adalah urusan orang dewasa. Alhasil, saya pun mematuhi perintah Mama dengan masuk ke dalam rumah dan melanjutkan aktivitas kembali. Tak lupa, mendoakan wanita yang sudah renta itu, agar Tuhan selalu mengaruniakan kesehatan dan kebagiaan untuk Mbah Ni dan keluarganya tercinta.
Setiap menjelang hari raya Idul Fitri, keluarga kami selalu memesan sekilo madumongso kepada wanita sederhana ini. Sekalipun kami tidak merayakan Lebaran, kebiasaan tersebut selalu kami lakukan. Selain untuk mengapresiasi Mbah Ni, madumongso buatannya memang enak dan legit. Madumongso adalah jajanan tradisional yang terbuat dari ketan hitam yang telah diolah dulu menjadi tape melalui proses fermentasi, kemudian dimasak lagi dengan racikan tertentu. Ketika sudah matang, bentuknya seperti jenang atau dodol berwarna cokelat kehitaman. Setelah madumongso dibeli, biasanya saya bertugas membungkusnya dengan kertas minyak berwarna-warna, lalu memasukkannya ke dalam toples untuk disuguhkan kepada saudara-saudara yang berkunjung, maupun dimakan sendiri.
Namun ada yang aneh pada hari raya Idul Fitri kali ini. Tidak ada madumongso yang tersaji di atas meja ruang tamu. Agak hampa memang. Keluarga kami sempat menanyakan kepada warga sekitar mengenai keberadaan Mbah Ni. Namun sayangnya, tidak ada yang mengetahui kabar wanita yang selalu membawa dagangannya menggunakan bakul besar di gendongannya itu.
Teriring doa keluarga kami untuk kebahagiaan keluarga Mbah Ni sekeluarga. Kami merindukan senyum dan keramahanmu yang mampu mendamaikan dunia.
Bandung, 16 Juli 2016
Luana Yunaneva
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemanusiaan RTC