Beberapa waktu yang lalu, tidak sengaja saya menemukan artikel ini. Jujur saja, istilah "bank tanah" cukup asing di telinga saya, karena sepertinya istilah itu jarang digunakan masyarakat di sekitar saya tinggal. .Atau mungkin, karena dunia yang saya geluti jarang bersinggungan dengan bidang ini. Akhirnya, saya pun mencoba mencari tahu, apa itu bank tanah.
Mengutip website resminya, bank tanah adalah badan khusus (sui generis) yang merupakan Badan Hukum Indonesia yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah negara. Tujuan pendirian Badan Bank Tanah adalah untuk untuk menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataaan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria.Â
Melihat cuplikan penjelasan di atas yang say kutip masih dari website resminya, mungkin pemerintah berniat untuk mengelola dan mendistribusikan tanah yang tidak terpakai, terlantar, atau tanah sengketa untuk tujuan yang lebih produktif. Harapannya, masyarakat pun bisa menikmati hasil keberadaannya. Terutama bagi kelompok miskin dan petani kecil yang selama ini kesulitan mengakses tanah yang produktif.
Akses terhadap tanah yang adil dan merata merupakan salah satu isu utama dalam konteks pembangunan sosial dan ekonomi di Indonesia. Tanah adalah sumber daya vital yang tidak hanya menentukan mata pencaharian, tetapi juga masa depan generasi penerus. Sementara realita yang terjadi di lapangan adalah tanah-tanah di Indonesia masih sangat terkonsentrasi pada segelintir pihak.Â
Rakyat, terutama petani dan masyarakat kecil, justru  tidak memiliki akses yang memadai terhadap tanah. Belum lagi tanah di sejumlah kawasan di Pulau Bali, justru tak lagi bisa dimiliki oleh warga lokalnya sendiri, lantaran kepemilikannya dikuasai pihak asing. Miris sekali ya, lantaran ini bertolak belakang dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," tentunya ini menjadi concern kita bersama.Â
Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN), sekitar 70% tanah di Indonesia dikuasai oleh kurang dari 20% penduduk, sementara mayoritas rakyat Indonesia masih terpinggirkan dalam hal kepemilikan tanah. Keadilan dalam distribusi tanah sangat penting untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembentukan bank tanah diharapkan menjadi salah satu cara yang dapat mengatasi ketimpangan tersebut. caranya, dengan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat untuk memperoleh tanah yang layak dan produktif.
Bicara soal tanah, bagi sebagian orang cenderung menjadi pembicaraan yang tabu. Uang panas, begitu katanya. Apalagi jika tanah tersebut sudah masuk ke dalam konflik agraria atau sengketa. Ini sudah bukan hal baru lagi, baik antara masyarakat dengan pemerintah, perusahaan, maupun antara sesama pihak yang memiliki klaim atas sebidang tanah. Harapannya, keberadaan bank tanah mampu menyelesaikan konflik-konflik yang sering muncul. Juga memegang prinsip transparan dan adil, sehingga mampu menyelesaikan permasalahan dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang terdampak. Bukan hanya memberikan keuntungan bagi stake holder semata.Â
Belum lagi berbicara soal kondisi saat ini di mana lahan persawahan semakin terbatas. Mengutip CNN Indonesia, Buku Statistik Tahun 2021 mencatat luas lahan pertanian mencapai 37,4 juta hektare pada 2015, lalu turun ke 36,7 juta hektare pada 2016. Lahan pertanian sempat naik ke 37,28 juta hektare pada 2017 kemudian turun ke 34,8 juta hektar pada 2018. Pada 2019, luas lahan pertanian mencapai 36,8 juta hektare. Data ini menunjukkan bahwa semakin mengecil juga lahan pekerjaan para petani di tanah air. Sementara, Sensus Badan Pusat Statistik tahun 2023 mencatat ada  27 jutaan rumah tangga petani.
Dengan lahan yang semakin mengecil dan jumlah petani yang hidup dari sana sebanyak itu, kita dapat membayangkan betapa ketatnya persaingan di antara mereka. Bagi mereka yang memiliki tanah sendiri, tak jadi soal, karena mereka dapat membantu mempekerjakan rekan-rekannya sesama petani di lahannya. Namun bagaimana dengan petani kecil? Ya menyewa. Mau bagaimana lagi? Namun kita perlu tahu, bahwa banyak masyarakat di pedesaan, terutama petani kecil, terpaksa mengolah tanah dengan sistem kontrak atau sewa yang tidak menguntungkan dan tidak memberikan jaminan jangka panjang.