Dalam kehidupan ini, seringkali kita diminta bahkan diharuskan untuk menyenangkan orang lain. Bahkan semua orang. Sebut saja, dari sisi budaya, kita diajarkan untuk mengikuti aturan yang sudah ada demi kebaikan bersama, yang mana mungkin hal itu membuat kita merasa tidak nyaman. Kemudian di lingkungan rumah maupun sekolah, kita diajarkan untuk menjadi anak yang baik.Â
Definisi anak yang baik yang dimaknai setiap orang pun beragam. Misal, mendapatkan nilai yang bagus di sekolah, tidak pernah membolos, rajin membantu mengerjakan orang tua, tidak pernah marah, dan sebagainya.Â
Dalam normal sosial, kita diminta untuk menghargai perasaan orang lain. Misal, mengangguk dan mengiyakan permintaan orang lain, padahal sebenarnya kita ingin menolaknya.
Namun, penulis buku "The Subtle Art of Not Giving a F*ck", Mark Manson justru mengajak kita untuk berhenti berusaha memenuhi harapan semua orang dan mulai berfokus pada apa yang benar-benar penting. Pertama kali saya membaca buku ini pada tahun 2015, saya cukup tercengang, karena isinya yang sangat mengejutkan saya. Di sisi lain, buku ini menyingkapkan kebenaran yang tidak banyak diungkapkan orang, alih-alih untuk menyenangkan orang lain.
Pertanyaannya adalah, apakah ketika kita sudah berbuat baik, berusaha mati-matian, hingga mengorbankan diri sendiri dan keluarga hingga titik darah penghabisan, lantas semua orang bisa menerima dan menyukai kita?
Pertanyaan ini seketika dijawab serentak oleh Teletubbies, "Tidaaaakkkk."
Perlu diingat, setiap individu memiliki pandangan, kebutuhan, dan preferensi yang berbeda. Definisi kesenangan setiap orang pun tidaklah sama. Namun seringkali kita berpikir bahwa ketika kita mampu memenuhi harapan atau ekspektasi orang lain, apalagi semua orang, kita akan seketika diterima dan dihargai.
Sayangnya, realita berkata lain. Seringkali kita justru berakhir dengan rasa lelah, tertekan, dan kehilangan identitas diri. Bahkan Manson menyebut ini sebagai jebakan untuk selalu menyenangkan orang lain, yang justru mampu mengarahkan kita pada ketidakbahagiaan jangka panjang. Ingat, biaya terapi kesehatan mental tidak di-cover oleh BPJS Kesehatan lho!