Beberapa hari ini, saya sering tak sengaja melihat media sosial seorang kenalan, karena kebetulan beliau aktif memposting kegiatan-kegiatannya. Beliau adalah seorang wanita yang memang aktif sejak masa mudanya.Â
Melalui media sosial juga, saya jadi tahu, bagaimana perjuangannya hingga saat ini telah menyelesaikan program doktoralnya, juga membangun unit usahanya di bidang pendidikan.Â
Melihat hal tersebut, saya turut senang melihat proses dan semangatnya, sembari melakukan afirmasi untuk menduplikasi semangatnya dan mewujudkan impian menjadi nyata.
Apa yang dilakukan kenalan saya tadi, tentu tidak lepas dari perjuangan Raden Ajeng Kartini di masa lalu. Sebagai feminis pertama di Indonesia, Kartini melakukan sebuah perubahan besar yang dampaknya dapat kita rasakan hingga pada saat ini. wanita berhak untuk mendapatkan pendidikan, mendapatkan pekerjaan, dan melakukan banyak hal layaknya kaum pria.
Kondisi ini sangat berbeda dibandingkan periode-periode sebelumnya, di mana wanita hanya menjadi sosok di belakang layar. Orang Jawa dulu menyebutnya dengan istilah 3M dalam bahasa Jawa, yaitu masak, macak (berdandan), dan manak (melahirkan). Saya rasa, pandangan ini juga masih ada dan masih menjadi realita yang dialami masyarakat di sejumlah daerah di Tanah Air sampai sekarang.
Perihal kesetaraan gender, emansipasi, kebebasan berdaulat atas diri sendiri, dan berbagai isu sejenis sehubungan wanita, belakangan semakin sering dikumandangkan.Â
Pemberitaan media massa, gerakan mahasiswa, program organisasi, edukasi, pendidikan sekolah, hingga media sosial mengangkat tema ini. Tak cukup pada peringatan hari Kartini setiap 21 April, tetapi juga tanggal 8 Maret sebagai hari perempuan internasional.
Sejumlah posisi di pemerintahan, organisasi, dan perusahaan perlahan mulai membuka peluang kaum wanita untuk mendudukinya. Bahkan untuk posisi-posisi krusial yang biasanya diduduki oleh kaum Adam.