Berbicara tentang pesona pariwisata Indonesia, tentu tak ada habisnya. Setiap daerah mulai ujung barat hingga timur negeri ini memiliki potensi yang berbeda, sesuai karakteristik masing-masing.
Ya, Bandung merupakan salah satu kawasan dataran tinggi yang memiliki karisma berupa pemandangan hijau dari ketinggian mampu memanjakan seluruh panca indera, baik itu kota maupun kabupatennya. Ibukota Jawa Barat ini seakan tak pernah berhenti menyuguhkan keelokan parasnya. Selain memang daerah ini mendapat karunia dari Tuhan berupa pemandangan alam yang indah, warga Bandung pun seakan tak berhenti berinovasi untuk terus berkembang, terutama dari sektor pariwisata.
Sempat merantau ke kota ini selama hampir dua tahun, menjadikan saya sebagai salah satu saksi keindahannya. Salah satu objek wisata yang tak pernah bosan saya kunjungi adalah Kebun Hutan Raya Ir. H. Djuanda atau lebih dikenal dengan Tahura. Terletak di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Tahura sangat mudah dijangkau wisatawan, termasuk jika menggunakan angkutan umum (angkot).
Namanya juga hutan raya, bisa dipastikan bahwa Tahura sangat teduh, berkat koleksi tanaman di dalamnya. Situs berbagi Wikipedia mencatat, terdapat sekitar 2.500 jenis tanaman yang terdiri dari 40 familia dan 112 spesies. Tidak heran jika wisatawan betah berlama-lama berada di tempat dengan ketinggian antara 770 mdpl sampai 1.330 mdpl ini, entah untuk bersantai, makan maupun berfoto bersama orang-orang tercinta.
Meski begitu, nilai tambah yang dimiliki hutan seluas 590 hektar ini terletak pada sejumlah objek wisata lain di dalamnya. Bisa dikatakan, di dalam objek wisata masih ada objek-objek wisata lain yang bisa dikunjungi dalam sekali jalan atau sekali membeli tiket.Â
Sebut saja Museum Ir. H. Djuanda, Goa Jepang, Goa Belanda, Curug Omas Maribaya, Curug Lalay, Curug Dago, Prasasti Raja Thailand, Tebing Keraton, penangkaran rusa, taman bermain, panggung terbuka, dan forest caf. Namun, untuk bisa menyelesaikan kunjungan ke objek-objek wisata tersebut , secara pribadi, saya tak dapat dilakukan dalam sehari. Oleh karena itu, saya memilih untuk melanjutkan perjalanan di kawasan ini di hari yang berbeda, sekalipun harus membayar tiket lagi.
Saya masih ingat ketika mengunjungi Goa Jepang bersama Dika, teman SMA saat dirinya berlibur ke Bandung. Dari pintu masuk hingga Goa Jepang, saya dan Dika harus berjalan kaki kurang lebih selama satu jam. Â Tentu saja diselingi dengan berfoto dan bercanda agar rasa lelah tidak begitu terasa. Naman baru sebentar berada di kawasan tersebut, waktu sudah menunjukkan kalau Dika harus segera kembali ke hotel, untuk selanjutnya bersiap kembali ke Jakarta.
Perjalanan menuju Curug Om tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Namun saat itu kami agak dimudahkan berkat cahaya matahari yang membuat tanah lempung yang becek mulai mengeras.
Daaaannnn.... Kami sangat bersyukur ketika rasa lelah kami cukup terbayarkan sesampainya di lokasi. Kami disuguhi pemandangan berupa air terjun atau curug yang masih alami, lengkap dengan pemandangan sekitar yang memanjakan mata. Yang sedikit disayangkan, kami hanya tidak dapat bermain air maupun berendam di Curug Omas tersebut. Namun tak apalah, mungkin kebijakan ini dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat sebagai pihak pengelola untuk menjaga kelestarian objek wisata ini.