“Beauty and The Beast”, siapa sih yang tak pernah mendengar judul film tersebut, meski baru sekali? Kisah legendaris itu sering menjadi bahan cerita untuk mendongengi anak-anak sehingga sosok si cantik dan buruk rupa bukanlah pribadi yang asing di benak anak-anak hingga orang dewasa.
Setelah dongeng "Beauty and the Beast" difilmkan pada tahun 1990-an dan 2014, Disney tertarik pula untuk membuat film serupa, dengan judul yang sama. Yang membedakan dengan film yang diluncurkan pada tiga tahun sebelumnya adalah bahasa yang digunakan danproduction house. Kali ini, PH-nya adalah Disney. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris, sedangkan bahasa pada film sebelumnya yakni "La Belle et La Bête" adalah bahasa Perancis. Terkenal dengan produksi film-film animasi ternama sebelumnya, tak heran Disney membuat para penikmat film penasaran dengan hasilnya, bahkan sejak beberapa bulan sebelum dirilis.
Jumat malam 17 Maret 2017 saya berkesempatan menonton film “Beauty and The Beast” di Golden Theatre, Kota Kediri, Jawa Timur. Meski di kota ini tak ada bioskop ternama seperti 21, XXI dan Blitz Cineplex layaknya kota-kota besar di Tanah Air, untung pemutaran film legendaris tersebut di kota domisili saya saat ini nggak telat-telat amat. Malah bersamaan dengan Cinema 21 dan XXI.
Film ini mengisahkan seorang gadis bernama Belle yang hidup dan bertumbuh di Perancis. Nama pemeran utama yang diperankan oleh Emma Watson ini saja sudah menggunakan bahasa Perancis yang berarti cantik. Belum lagi, para warga desa setempat yang saling bertegur sapa menggunakan bahasa Perancis, yakni bonjour yang artinya halo. Sapaan pun memakai bahasa yang sama, antara lain madame (nyonya), mademoiselle (nona) dan père (ayah). Namun lucunya, mereka melanjutkan percakapan menggunakan bahasa Inggris. Sementara menurut budaya dan sejarahnya, sebagian besar orang Perancis keukeuh menggunakan bahasa resmi negaranya dan sangat anti menggunakan bahasa Inggris.
Namun kebingungan saya ini cukup terobati berkat kreativitas sutradara yang mengemas film tersebut dalam format drama musikal. Lagu-lagu yang ditampilkan mampu mendukung suasana yang tengah dialami para pemain, dilengkapi dengan koreografi yang sudah pas, menurut saya. Tak ketinggalan, ekspresi para pemain yang natural seakan mengajak penikmat film mengikuti setiap gerakan mereka. Saya pun secara tak sadar menggoyangkan kepala ke kanan dan kiri, serta mengetukkan kaki sesuai tempo, lantaran menikmati paket musikal tersebut.
Sebaga penonton, saya tak hanya dipuaskan dari segi akting para pemain yang bagus, beragam kostum yang menyesuaikan pada masa itu, serta penampilan mereka yang cantik dan ganteng, tetapi juga grafis yang memukau. Seperti biasanya, Disney mampu menciptakan apapun yang selama ini hanya ada di alam imajinasi, menjadi nyata sehingga nyaris tak ada gap antara dunia khayalan dan dunia nyata yang diperankan oleh manusia asli.
Namun seiring berjalannya waktu, ia tak hanya mempelajari tentang dunia, tetapi juga cinta.
Pertama, cinta kepada sang ayah dengan rela hati menggantikan hukuman akibat mengambil sekuntum bunga mawar merah pesanannya, berupa dipenjara di istana milik pangeran buruk rupa yang diperankan oleh Dan Stevens.