Beberapa waktu yang lalu, seorang teman mengajak saya untuk menemaninya ketika menghadiri sebuah acara. Dikatakannya, ini merupakan pertemuan perdana arisan komunitas pedansa di Kota Bandung, Jawa Barat.
Awalnya, saya sempat ragu untuk turut menghadiri acara tersebut. Pertama, saya bukan pedansa. Kedua, selisih waktu antara proses komunikasi teman saya tadi dengan waktu penyelenggaraan acara sangat mepet. Hanya sekitar setengah jam. Bukankah itu waktu yang sangat singkat untuk melakukan persiapan, belum termasuk perjalanan dari tempat tinggal saya ke lokasi? Namun menimbang hal baru yang bisa dipelajari dari sebuah komunitas, akhirnya saya iyakan ajakan tersebut.
Singkat cerita, ketika saya tiba di pintu masuk ballroom sebuah restoran, ada seorang wanita cantik yang menyambut dengan buku tamu. Dari kejauhan, teman saya menghampiri dan meminta rekan wanita yang juga kerap menjadi pasangan dansanya tersebut memberikan sebuah stiker bertuliskan nama saya. Wanita itu meminta saya untuk menempelkannya di pakaian sebagai tanda pengenal. Saya ikuti sarannya, lalu duduk di area yang sudah disediakan.
Tak banyak dekorasi untuk pengadaan arisan itu. Tata ruang ballroom sengaja diatur agar banyak ruang kosong. Area yang lapang tentu memudahkan orang-orang yang tergabung di arisan ini dalam berdansa.
Selain itu, ada lima meja bundar dengan sekitar sepuluh kursi yang mengelilinginya masing-masing sehingga total anggota yang tergabung dalam arisan ini sekitar 50 orang, baik laki-laki maupun perempuan. Melalui pengelompokan meja bundar inilah, para anggota bisa saling bertegur sapa dan mengenal, apalagi mereka berasal dari klub-klub dansa berbeda. Namun tak dipungkiri bahwa ada juga kelompok meja yang mengkhususkan diri untuk kalangannya sendiri atau orang-orang yang sudah dikenal.
Diawali dengan sambutan singkat, salah seorang penggagas arisan menyampaikan ucapan syukurnya atas dibukanya arisan tersebut. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan silaturahmi di antara para pegiat dan pecinta olahraga dansa.
Ia juga meminta semua orang yang hadir di ruangan tersebut untuk memperkenalkan diri di tempat duduk masing-masing, dengan bantuan wireless microphone. Sesudahnya, seluruh anggota arisan dapat menikmati sesi ramah-tamah dengan hidangan yang sudah disediakan.
Setelah semua menu disantap dengan nikmat, tiba saatnya mereka yang siap untuk “turun”. Tak hanya turun ke podium, tetapi juga menurunkan lemak. Beberapa pasang anggota yang merupakan pedansa tersebut, baik amatir maupun profesional, mengenakan sepatu dansa masing-masing dan mulai menari.
Musik waltz, misalnya, memiliki tanda bhirama ¾. Sama halnya ketika bermain alat musik, itu artinya, dalam satu bhirama terdapat tiga hitungan dan setiap hitungan bernilai seperempat. Dengan demikiran, hitungan yang digunakan ketika berdansa adalah one, two, three. Seperti pelajaran Matematika saja ya, ada hitungannya.
Mengapa hitungan yang dipakai kok bukan “satu, dua, tiga”? Karena olahraga ini bersifat internasional, penggunaan istilah dalam dansa pun cenderung menggunakan bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia. Jadi alangkah baiknya, jika Anda tertarik mempelajarinya, coba biasakan diri untuk mendengarkan istilah-istilah dalam bahasa Inggris.
Berdasarkan pengamatan saya, mereka yang “turun” memang sudah mempelajari minimal dasar-dasar berdansa, bahkan beberapa jenis tarian. Tak heran ketika musik berganti, mereka bisa langsung menyesuaikan gerakan kaki, tangan dan tubuh sesuai irama. Alhasil, siapapun yang menyaksikannya akan merasa senang dan berdecak kagum melihat lenggak-lenggok sepasang pria dan wanita yang menari bersama. Namun siapa sangka, di balik gerakannya yang lincah dan lemah gemulai, bibir mereka bergerak seakan menghitung langkah demi langkah kakinya.
Pakaian yang mereka gunakan tergolong casual karena ini hanyalah ajang mereka berkumpul, bukan kompetisi yang mengharuskan mereka meggunakan pakaian dansa yang sesungguhnya. Malam itu, pria mengenakan kemeja dan celana panjang kain tetaoi ada juga yang menggunakan polo shirt. Sementara wanita mengenakan blouse dan rok. Ada juga yang mengenakan gaun. Tampilan anggun wanita semakin menonjol ketika berdansa dengan pria, terutama ketika rok atau bagian bawah gaun mengibas dengan indahnya.
Tua-muda, laki-laki maupun perempuan tak memandang bulu. Meski awalnya mereka tak saling mengenal, namun dansalah yang membuat mereka berinteraksi melalui olah tubuh. Ketika seseorang ingin menari dalam acara tersebut namun belum memiliki pasangan, akan ada pedansa lawan jenis yang siap mendampingi. Maklum, gerakan pria dan wanita dalam dansa tidak sama. Yang ada justru berkebalikan. Namun ada juga pendansa profesional yang menguasai gerakan pria dan wanita sehingga ia siap mendampingi sesama jenis untuk berdansa.
Setelah menonton para anggota komunitas ini menari, saya mendapat kesempatan untuk mencobanya. Sempat mempelajari dansa jenis waltz sekitar dua bulan pada pertengahan tahun 2015, ternyata cukup menjadi bekal untuk mencermati hitungan bhirama. Namun tentu saja ketika “turun”, meski hanya di pinggiran ballroom, ada tantangan tersendiri bagi saya yang masih awam dalam bidang ini. Diperlukan konsentrasi dan kemauan belajar tinggi untuk bisa berdansa dengan baik dan benar sebab tak ada sesuatu yang instan di dunia ini, termasuk menggeluti bidang dansa.
Kediri, 22 Februari 2017
Luana Yunaneva
Tulisan inisebelumnya telah dipublikasikan di blog pribadi penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H