Kamar merupakan tempat yang sangat nyaman bagi pemiliknya. Tak peduli seberapa luas atau sempitnya ruangan tersebut, sang penghuni pasti merasa tenang saat berada di dalamnya. Entah untuk beristirahat, mengerjakan tugas, hingga meluapkan ekspresi, baik suka maupun duka melalui karya.
Dalam bentuk tulisan, misalnya. Terbatasnya jumlah orang yang bisa masuk ke dalam kamar, membuat pemiliknya lebih leluasa menjadi dirinya sendiri. Tak heran, kalau hanya di dalam kamarlah, kita dapat menempelkan tulisan-tulisan yang memotivasi dan foto-foto orang-orang terkasih dalam beragam pigura di dinding. Lebih jauh, kamarlah yang menjadi saksi bisu kalau selama ini kita mencoretkan perjalanan hidup di dalamnya.
“Serunya bermain ensembel musik kamar itu, kami bisa saling mengenal secara intens, mengingat jumlah kami hanya berlima. Berbeda dengan orkestra pada umumnya,” pemain flute, Astri Kinanti Putri memperkenalkan sebelum konser dimulai. “Keintiman ini nggak cuma di musik tapi kami menjadi tahu kebiasaan masing-masing. Makanya, bermain musik kamar menjadi lebih menyenangkan.”
Bertempat di Institut Français Indonesia (IFI) Bandung, Senin malam 9 Januari 2017, enam musisi siap beraksi dengan “senjatanya” masing-masing. Mereka di antaranya Leyla Zamora (bassoon), Airin Efferin (piano), Astri Kinanti Putri (flute), Afdhal Zikri Z.Z. (oboe), Fajar (french horn) dan Alfian Agus N (klarinet).
Permainan ensembel pada konser ini memperkuat identitas Bandung Philharmonic dengan menyajikan karya yang bervariasi, mulai masterpiece musik klasik sampai karya para komponis Tanah Air.
Para musisi pada sesi pertama membawakan enam buah lagu, di antaranya Minuet, Bourré (Blas Maria de Colomer), Pastoral (Gabriel Pierne), Passacaille (Adrien Barthe), Le Petit Nègre (Claude Debussy) dan Mosaik (Fauzie Wiriadisastra).
Lagu terakhir yang mereka bawakan, Mosaik, mendapatkan antusiasme luar biasa dari para penonton. Berbeda dengan kelima lagu sebelumnya, komposisi ini merupakan perpaduan 20-an lagu nasional dan daerah. Ada yang dimainkan secara bersamaan, pun bersahutan. Lagu-lagu yang memiliki nada dan karakteristik berbeda, ternyata menciptakan harmonisasi yang seakan menyihir para pengunjung yang hadir.
“Lagu-lagu itu dibawakan alat tiup yang berbeda, dengan karakteristiknya yang berbeda pula. Komposisi ini sekaligus menolong para penonton yang mungkin selama ini sulit membedakan alat-alat musik yang dimainkan dalam orkestra, apa bedanya oboe, flute, french horn, klarinet dan sebagainya,” jelas komposer, Fauzie. “Soalnya dalam ensembel ini, hanya ada lima pemain. Jadi, penonton bisa menyimak perbedaan setiap jenis alat musik tiup, dibandingkan saat menonton konser dalam bentuk orkestra. Kan ada banyak sekali instrumen di dalamnya.”