Setiap orang pasti memiliki mimpi. Bukan mimpi yang hanya menjadi bunga tidur penghias malam, melainkan sebuah harapan yang membuatnya bersemangat dalam menjalani hidup. Tak terkecuali saya.
Terlahir dari keluarga sederhana di sebuah kota kecil di Jawa Timur tidak menyurutkan saya untuk bermimpi. Impian yang saya bangun sejak usia dini bukanlah menjadi orang besar dalam sekejap mata melainkan menjalani proses yang mendewasakan diri. Hingga saya pun benar-benar yakin, apa panggilan saya yang sesungguhnya.
Mimpi Tak Lepas dari Mental dan Karakter
Saya bersyukur ketika Tuhan meletakkan saya di tengah keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan. Meski hidup sederhana, kedua orang tua memilihkan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Terbukti, saya dapat bersekolah di taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) ternama di kota kelahiran. Popularitas sekolah ini bukan tanpa alasan. Selama mengenyam pendidikan sembilan tahun di sana, saya merasakan adanya pembentukan mental dan karakter. Saya yang tadinya cengeng ketika masuk kelas play group, perlahan menjadi anak yang suka berbicara di kelas sewaktu duduk di bangku nol besar.
Bangku SD pun mempertemukan saya dengan banyak karakter teman. Namun poin yang tidak dapat saya lupakan adalah menjalani persaingan yang sehat. Sekolah yang disiplin dengan guru-guru berkualitas membuat sekolah ini ingin menjadikan murid-muridnya lulus dengan kualitas unggulan dan karakter yang baik. Jadi tidak heran, kalau para pendidik memberikan ulangan dan pekerjaan rumah (PR) setiap harinya.
Buku-buku yang harus kami pelajari sebagai murid, saya katakan, cukup banyak. Selain mendapat pinjaman buku paket dari perpustakaan, ada buku-buku penunjang dari penerbit lain yang harus kami miliki. Belum lagi, sejumlah buku tambahan untuk memperkaya wawasan yang tidak mudah untuk didapatkan. Dulu menjelang ujian catur wulan (cawu), saya meminta ayah untuk membelikan buku ini-itu seperti yang dipakai guru dan teman-teman. Perjuangan yang tidak mudah karena kami harus mengelilingi toko-toko buku di dalam kota yang jumlahnya tidak banyak. Terima kasih atas perjuangan Ayah selama ini :)
Selepas SMP, saya melanjutkan pendidikan ke tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Kedua sekolah unggulan di kota kediaman saya ini merupakan almamater Ayah. Saya akui, sosok Ayah yang pekerja keras dan smart secara tidak langsung mendorong anak perempuannya ini untuk mengikuti jejaknya, minimal. Namun bagaimana pun juga, tidak mudah bagi seorang follower mengikuti kesuksesan pendahulunya. Jejak Ayah meraih peringkat atas dan berada di kelas unggulan, tidak bisa saya ikuti. Perbedaan zaman, saya rasa, yang membuat persaingan semakin sulit. Meski demikian, saya tidak menyerah begitu saja. Setiap orang memiliki masanya sendiri. Begitu juga dengan saya, mungkin itu belum waktunya saya untuk berada di kelas favorit. Tak apalah, belajar di kelas reguler bukan berarti kiamat kan?
Persiapan menanggalkan seragam putih abu-abu adalah pembukaan babak baru. Demikianlah saya menganalogikan lembaran kisah ini.
Memutuskan untuk banting setir dari eksakta ke ilmu sosial merupakan perjuangan awal karena saya harus mempertanggungjawabkan pilihan itu kepada orang tua. Ya, saya memahami, tentu ada tanda tanya besar di benak kedua orang tua. Saya yang sejak kelas dua SMA memutuskan untuk masuk kelas ilmu pengetahuan alam (IPA) koq tiba-tiba pindah haluan belajar ilmu pengetahuan sosial (IPS)? Ujian akhir nasional (UAN) yang akan dijalani adalah IPA, koq bisa-bisanya di pertengahan semester di kelas tiga saya malah menyicil belajar IPS?
Melalui pendekatan perlahan, saya jelaskan kepada mereka bahwa bidang yang saya minati ada di ilmu sosial. Mungkin lebih tepatnya bahasa. Mau tidak mau, saya harus mengikuti ketentuan pemerintah yakni mengambil seleksi masuk perguruan tinggi di jalur campuran atau banting setir ke IPS sekalian. Saya pun menyatakan kesiapan untuk belajar lebih keras dibandingkan sebelumnya, yakni belajar IPA dengan serius di dalam kelas dan waktu selebihnya akan saya gunakan untuk belajar IPS secara mandiri. Sebut saja saat jam istirahat dan jam kosong di sekolah.
Menjalani prosesnya tidak mudah memang karena persetujuan orang tua tidak kunjung datang. Pertanyaan tidak hanya diungkapkan mereka tetapi juga teman-teman di sekolah. Bahkan ada beberapa teman yang mencibir dengan terang-terangan, "Kamu belajar IPS, Lu? Kita kan anak IPA, ngapain belajar IPS? Nggak penting!" Mendengar celetukan yang tidak mengenakkan hati itu, saya memilih diam. Kemudian melanjutkan aktivitas belajar, belajar, dan belajar hingga hari “H” ujian pun tiba.