[caption caption="DELF"][/caption]“Baru selesai ujian pada November 2015 lalu, sudah bakal ada ujian lagi pada Maret 2016??? Hobi koq ujian terus??” Pertanyaan itulah yang terlontar dari mulut sahabat-sahabatku. Pun juga saya ketika semakin menekuni bahasa Prancis, salah satunya dengan mengikuti ujian diplôme d'études en langue française (DELF) sejak Desember 2014.
Rasanya baru sesaat bisa berleha-leha menerima l’Attestation de Réussite (semacam surat keterangan lulus ujian bahasa Prancis) pada minggu pertama Januari 2016, ternyata sudah dibuka pendaftaran ujian DELF berikutnya pada minggu ketiga. Hebat sekali, banyaknya ujian mengalahkan jadwal tes mahasiswa, hehehe…
Baiklah, saya menjelaskan terlebih dahulu garis besarnya. Pemerintah Pendidikan Prancis mengeluarkan dua jenis diploma, yang diakui seluruh dunia. Pertama, Diplôme d'Etudes en Langue Français (DELF) yang terdiri dari 4 diploma, yaitu A1, A2, B1, dan B2. Kedua, Diplôme Approfondi de Langue Française (DALF) yang terdiri dari C1 dan C2. Baik DELF maupun DALF, menunjukkan kemampuan bahasa Prancis penggunanya sehingga akan memudahkan mereka memasuki perguruan tinggi di kota mode dunia ini, maupun bekerja di negara-negara penutur bahasa Prancis (Francophonie)
Tidak berbeda dengan Test of English as a Foreign Language (TOEFL), DELF juga menguji sejumlah kompetensi para kandidat pada semua level, antara lain pemahaman dan kemampuan berbicara, serta menulis. Tingkat kelulusan minimal harus diraih peserta adalah 50, dengan nilai masing-masing kompetensi lebih dari 5. Rumit kan?
Proses ujiannya pun tidak sembarangan karena hanya diadakan tiga kali setahun, yakni Maret, Juni, dan November. Itu artinya, peserta ujian DELF harus benar-benar mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, lulus pun tak dapat diraih dan terpaksa harus mengikuti ujian pada tiga bulan berikutnya. Lama sekali kan? Tentu ini akan berdampak ke hal lain, salah satunya perencanaan untuk melanjutkan pendidikan ke Prancis. Makanya tidak heran, jika peserta ujian DELF pasti stres berat, bahkan sejak mendaftarkan ujian. Itulah yang saya alami.
DELF A1 yang saya ikuti pada Desember 2014 mungkin tidak terlalu rumit karena level ini baru membahas permukaannya saja. Grammaire yang digunakan juga masih sederhana, kosakata yang diberikan pengajar pun hanya yang ringan. Kami belum diperbolehkan menggunakan kata-kata yang rumit. Percakapannya pun baru berkutat pada diri sendiri.
DELF A2 mulai agak memusingkan kepala karena para peserta sudah bisa melakukan percakapan ringan sehari-hari. Grammaire juga sudah mulai diterapkan, meski pun masih tergolong simpel. Jumlah istilah yang diberikan bertambah? Pasti. Tapi overall, masih aman.
Saat ujian DELF A2 pada Maret 2015 pun, saya kebagian penguji yang cukup santai dan mau memberikan saya clue ketika ada istilah yang kurang saya pahami. Oya, patut dipahami, faktor luck juga terjadi dalam ujian DELF sehingga turut mempengaruhi suasana maupun hasil tes. Kalau pengujinya mau memberi sedikit petunjuk ketika sedang blank seperti yang saya alami, bersyukurlah. Sebaliknya, kalau pengujinya bad mood atau kelelahan akibat banyaknya peserta dan ujian yang berlangsung sampai sore¸ ya berdoalah agar Tuhan sendiri yang menyelamatkan hasilnya, hehehe.
Dua kali sukses mengikuti ujian DELF (meski menurut saya hasilnya masih kurang maksimal, hehe), bukan berarti menghilangkan nervous seketika. Pasalnya, DELF selalu memiliki ketegangannya tersendiri, termasuk untuk level B1. Stres tingkat tinggi sangat dirasakan peserta ujian DELF B1 karena banyak sekali grammaire dan vocabulaire yang harus dihafalkan, termasuk kata kerja dari berbagai macam subjek.
Mempelajari materi selama sekitar lima bulan bukan berarti selalu membuat mereka terbiasa dengan rumitnya hidup (ciyeee), melainkan semakin pusing karena mereka juga harus memikirkan strategi-strategi tertentu yang menjadi kunci grade ini, salah satunya berdebat dengan juri dan menghasilkan keputusan bersama. Hal lain yang menambah nervous sebelum dan pada saat ujian adalah minimnya prosentase kelulusan. Salah seorang pengajar bahasa Prancis di Bandung, Madame Tanti mengatakan bahwa tingkat kelulusan DELF B1 hanya 40 persen. Miris kan? Bisa dibayangkan betapa sulitnya.
Pada level ini pulalah saya merasakan sebuah titik kejenuhan. Jenuh belajar, jenuh menghafalkan grammaire, dan jenuh dengan banyaknya vocabulaire. Kebosanan ini ternyata juga dirasakan teman-teman saya yang juga mengejar kelulusan DELF B1 pada November 2015. Merasa stuck? Pasti. Sering malah. Tapi semangat menguasai salah satu bahasa beraksen seksi di dunia inilah yang mendorong saya untuk bertahan.