Situasi kondisi seperti ini, masyarakat dituntut untuk tidak hanya harus berpikir rasional tetapi juga harus disertai cara berpikir teoritikal dan manifestasinya. Sehingga dapat melihat suatu aspek dari kedua sisi yaitu sisi pemerintah dan sisi rakyat.
Sebenarnya masyarakat tidak bisa seratus persen menyalahkan kebijakan pemerintah yang di mana telah mempersulit sebagian banyak orang terutama pada masyarakat lapisan menengah kebawah.
Memang terkadang masyarakat menyebut pembuat kebijakan adalah sebagai oknum oligarki, kapitalis dan lain-lain, namun nyatanya dalam pembuatan kebijakan tidak semudah membalikan kedua tangan dan ada hal-hal lain yang memang harus dikorbankan.
Ada rakyat yang mengeluh karena banjir, namun ketika ada perluasan DAM serta normalisasi kawasan sektor saluran air, mereka merasa seakan-akan dizalimi karena tergusur dan tetap membuang sampah tidak pada tempatnya.Â
Ada para pekerja yang mengeluhkan birokrasi transportasi yang menyusahkan dan menganggap pemerintah lebih berpihak pada orang-orang asing.
Pemerintah membuka border-border perjalanan lintas negara, menutup sekolah, menutup pasar, menutup tempat ibadah tetapi malah membuka tempat-tempat wisata dan mall.
Andaikan saja mereka tahu bahwa keadaan kas negara saat ini mengalami defisit yang sangat masif dan hal ini dilakukan demi menggencarkan terciptanya investasi, bantuan, serta pundi-pundi keuangan dari luar demi menutupi kasus virus yang kian hari makin naik dan pada akhirnya pemerintah memberikan subsidi kesehatan, vaksin gratis, dan lain sebagainya. Pemerintah rela menumbangkan sekian nyawa demi menyelamatkan sebagian besar nyawa lainnya yang masih hidup.
Ada masyarakat yang mengeluh harga komoditas pokok yang mahal, andaikan saja mereka tahu bahwa ada oknum pengepul-pengepul sialan yang menyebabkan kekosongan di pasar sehingga pemerintah harus melakukan impor untuk mengisi kekosongan yang ada dan sialnya juga para petani merelakan hasil taninya dibeli dengan harga yang kurang masuk akal oleh pengepul-pengepul itu.
Ada mahasiswa yang berdemo menyalurkan aspirasi mereka dengan bangga memakai jas almamater mereka yang terkadang dilakukan dengan anarkis, mengganggu jalan, merusak fasilitas rakyat, dan lain sebagainya.
Saat ini mereka memang bisa berteriak seperti itu, tetapi jika mereka menjadi anggota eksekutif/legislatif di masa depan, hilang dan lupa sudah apa yang selama ini mereka aspirasikan.
Mereka bisa teriak seperti itu karena pada dasarnya mereka tidak tahu bagaimana kondisi realitas yang ada di dalam organisasi sektor publik.
Pemerintah dilanda perasaan serba salah terkait kebijakan yang dibuat, karena organisasi sektor publik sendiri memiliki tujuan utama untuk memaksimalkan pelayanan kepada publik, akan tetapi rumitnya organisasi sektor publik adalah harus menyeimbangkan antara kepentingan pelayanan publik dan keberlanjutan organisasi tersebut. Tidak bisa hanya mementingkan fokus pelayanan kepada masyarakat.
Pada umumnya masyarakat mengharapkan bahwa penyediaan fasilitas publik seperti keamanan, kesehatan publik, pendidikan, transportasi diberikan secara gratis dalam artian dibiayai dari pajak. Namun dalam praktiknya, pelayanan yang gratis secara nominal sering kali sulit dijumpai di mana pelayanan gratis akan menyebabkan insentif rendah sehingga kualitas pelayanan menjadi sangat rendah pula, seperti contohnya pelayanan kesehatan yang gratis biasanya kualitasnya kurang memuaskan. Itulah mengapa terkadang kebijakan pemerintah tidak bisa menyenangkan semua orang.
Lalu ada juga yang berkomentar, "jika memang kebijakan pemerintah harus ada yang dikorbankan, kenapa hanya masyarakat lapisan menengah kebawah yang selalu dikorbankan?". Hmm ini adalah salah satu statement strawman fallacy, argumen klasik dengan cara salah menyimpulkan argumen orang lalu menyerang balik.
Masyarakat menengah keatas juga dikorbankan kok, mau tahu?
Salah satunya baru-baru ini pemerintah menetapkan
UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, di mana dimuat pemerataan perpajakan bagi masyarakat kalangan menengah keatas dan kalangan menengah kebawah. Selain itu dimuat juga Pajak Karbon di mana perusahaan-perusahaan kapitalis perusak kandungan oksigen udara akan dipajaki sehingga mereka tidak akan serta merta melakukan over produksi dan membuang limbah asap ke udara yang akan dihirup masyarakat ibu pertiwi.
Untuk itu marilah kita sebagai manusia, mulailah memanusiakan manusia.. Tidak serta merta menjustifikasi dan melihat satu sisi bahwa semua orang-orang di pemerintahan sana itu oknum, mereka juga ada yang sama seperti kita, yang mempunyai tujuan baik demi bangsa, melindungi lingkungan ekosistem, masyarakat, dan keluarganya. Tetapi jika berbicara tentang oknum memang ada yang namanya orang jahat. Namun, orang jahat tetaplah jahat tidak peduli dari kalangan atas atau dari kalangan bawah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H