Akhir bulan dan menjelang memasuki bulan Februari 2012 lalu, komunitas akademis khususnya perguruan tinggi (PT) dikejutkan dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Dirjen Dikti Kemdikbud no. 152/E/T/2012 tentang ketentuan publikasi untuk program S1/S2/S3. Secara khusus SE tersebut saya tampilkan di bawah ini.
Tak pelak SE tersebut memicu polemik baru di banyak kalangan, tidak hanya kalangan akademisi tetapi juga para mahasiswa yang kalau ditotal merupakan populasi yang sangat besar di negara ini. Ditambah dengan karakteristik mahasiswa sebagai motor penggerak dari seluruh generasi, polemik ini berkembang di ranah daring, media massa serta obrolan warung kopi di kantin-kantin.
Apakah ada yang salah dari SE diatas ? Secara prinsip, terlebih untuk saya pribadi dan grup penelitian saya, sebenarnya tidak masalah. Terlebih kami yang berada di lingkungan lembaga penelitian dengan tugas dan fungsi (tusi) utama hanya meneliti. Sehingga meski banyak mahasiswa yang bergabung di dalam grup=grup penelitian di lembaga penelitian, orientasi utama adalah bersama-sama melakukan penelitian dan bukan sekedar menyelesaikan studi. Berbeda dengan para kolega di PT yang memiliki 3 tusi dalam bentuk Tri Dharma PT : pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Tetapi memang ada masalah prinsip yang sepertinya melenceng bila ditelaah lebih jauh, baik dari substansi maupun filosofi dasar regulasi tersebut.
Masalah 1 : filosofi
Sebagai sivitas peneliti dan juga akademisi, saya bisa memahami terbitnya SE tersebut. Bahkan saya pribadi dari dulu menginginkan adanya regulasi-regulasi yang mampu mendorong peningkatkan aktifitas serta keluaran ilmiah dari komunitas di Indonesia. SE tersebut pasti memiliki satu tujuan pokok yang sangat mulia, yaitu : meningkatkan aktifitas dan keluaran riset dari komunitas ilmiah di Indonesia.
Dari tujuan mulia diatas, sudah jelas target utama yang seharusnya disasar untuk melakukan perbaikan, yaitu : komunitas ilmiah. Siapakah komunitas ilmiah ? Ini tidak lain adalah para akademisi dan peneliti, alias sivitas pengajar di PT serta para peneliti di berbagai lembaga penelitian. Apakah mahasiswa bukan termasuk golongan ini ? Tentu saja bukan, atau lebih tepatnya belum ! Terlebih untuk mahasiswa S1, benar-benar masih sebatas pada tujuan pendidikan murni. Kalaupun dilibatkan pada penelitian dengan tuntutan untuk menulis Tugas Akhir (TA) sebagai syarat kelulusan, hal ini lebih ditujukan sebagai tahap final pendidikan untuk mengajarkan proses guna mampu melihat, melakukan sintesa serta mencari solusi dari masalah. Dan ini tidak selalu harus dikaitkan dengan penelitian ilmiah. Contoh nyata adalah program magister non-riset untuk para praktisi.
Masalah 2 : teknis kebijakan
Saya percaya kebijakan dalam bentuk SE diatas muncul dari serangkaian diskusi atau minimal pemikiran panjang dari beragam forum terkait. Tetapi dari substansi SE tersebut bisa dibaca kebijakan ini lebih bersifat reaktif dan bukan antisipatif. Secara pribadi saya sudah terbiasa dengan proses dan model-model kebijakan semacam ini, yang secara umum saya simpulkan sebagai akibat rendahnya tingkat kemampuan para birokrat di Indonesia, alias birokrat yang kurang cerdas. Ciri-ciri kebijakan reaktif seperti ini secara umum adalah : tidak integratif, yaitu :
- Berusaha memecahkan masalah dengan solusi tunggal. Padahal tidak ada solusi tunggal, karena sebuah permasalahan pasti merupakan akumulasi dari banyak faktor yang juga bermasalah.
- Ini disebabkan ketidakmampuan atau ketidakmauan (atau pada banyak kasus kombinasi keduanya) untuk melihat semua faktor diatas dan membuat kebijakan yang lebih terintegrasi.
- Ditambah dengan kekurangtekunan dari para birokrat untuk melaksanakan regulasi yang terintegrasi (yang pasti melibatkan banyak bagian dalam birokrasi yang belum tentu kompak) dalam bentuk implementasi secara konsisten dan berkesinambungan.
- Sehingga seringkali kebijakan yang ditelurkan nampak bersifat jangka pendek alias instan (dan karenanya nampak reaktif), yaitu mengharapkan hasil nyata dalam waktu singkat tanpa kerja keras yang memadai.
- Kebijakan tidak didukung dengan data yang sahih, lengkap dan mencakup banyak sisi.
- Target kebijakan tidak terfokus dan to-the-point, dan seringkali malah menimbulkan efek sampingan yang tidak perlu. Karena setiap kebijakan pasti menimbulkan efek samping, baik positif maupun negatif. Kebijakan yang cerdas seharusnya mampu meningkatkan efek positif dan meminimalisir efek negatifnya.
- Apalagi kalau ditambah dengan adanya kepentingan-kepentingan personal / golongan sesaat khususnya terkait dengan alokasi anggaran.
Padahal bila kebijakan dirumuskan dan diberlakukan secara integratif, banyak sekali permasalahan yang akan terselesaikan hanya dengan satu kebijakan. Lebih jauh, solusi yang dijanjikan dari kebijakan tersebut juga akan lebih berkesinambungan karena memiliki multi dimensi.
Kembali ke masalah SE diatas, kebijakan reaktif ini nampak sekali dengan penyebutan nama negara (Malaysia) di awal yang memotivasi munculnya SE tersebut. Ini diperparah dengan realita bahwa masalah kesenjangan keluaran riset dari Indonesia dengan Malaysia sulit dicari hubungannya dengan kewajiban menulis karya tulis di jurnal untuk mahasiswa non S3 ! Karena kesenjangan tersebut muncul dari statistik berbasis indeks yang dilakukan oleh pihak ketiga pengindeks global seperti Scopus, ISI Thompson, Scimago, dll. Semua indeks tersebut berbasis data publikasi di jurnal ilmiah regular global. Sehingga tidak ada relevansi langsung antara publikasi di jurnal lokal dengan masalah utama yang menjadi motivasi awal munculnya SE. Tentu saja logika ini bisa diperdebatkan dengan argumentasi bahwa peningkatan kemampuan riset dilakukan dari publikasi di jurnal lokal. Tetapi sebenarnya ini logika yang salah, karena kemampuan publikasi di jurnal global ditentukan oleh kemampuan pembimbing, sedangkan sivitas di level mahasiswa hanya sekedar mengikuti. Sehingga seperti telah disinggung diatas, target utama seharusnya adalah sivitas akademisi dan bukan mahasiswa ! Pengecualian adalah untuk mahasiswa S3. Tetapi tanpa ada SE diatas, selama ini di banyak PT kewajiban publikasi di jurnal global untuk kandidat doktor sudah jamak.
Dilain pihak kesalahan menempatkan target dengan mewajibkan mahasiswa S1 dan S2 publikasi di jurnal memiliki efek sampingan negatif yang luar biasa. Yaitu bertambahnya beban mahasiswa, yang belum tentu menunjang substansi studi, serta untuk menyelesaikan studinya tepat waktu. Padahal pada banyak kasus, perpanjangan waktu studi merugikan masyarakat secara luas karena sebagian besar mahasiswa S1 dan S2 akan langsung terjun ke masyarakat dan bukan berkarir sebagai akademisi. Padahal tambahan beban ini tidak berkorelasi dengan kemampuan berkiprah di masyarakat. Beban ini bisa berupa tambahan beban finansial maupun psikologis, serta potential loss akibat waktu yang terbuang.