Hal serupa juga terjadi pada kasus 'keteraniayaan peneliti' yang merupakan akumulasi dari lontaran kekecewaan dan keluh kesah banyak peneliti maupun dosen di Indonesia. Kasus ini kemudian diangkat oleh media sebagai tajuk utama. Tentu saja ekspos atas masalah ini sangat menguntungkan peneliti karena memunculkan simpati dan dukungan publik. Meski menurut saya hal ini adalah semu belaka, karena pada saat yang sama ekspos ini memunculkan polarisasi antara peneliti dengan negara + pemerintah sebagai pendosa. Tentu hal ini menimbulkan situasi yang tidak kondusif karena opini publik terbentuk hanya dari satu aspek tertentu, padahal permasalahan sebenarnya mencakup banyak aspek seperti saya ulas di artikel Keteraniayaan peneliti dan brain drain.
Semu yang dimaksud di atas adalah simpati tersebut bisa berbalik 180o menjadi antipati saat publik menemukan fakta lain yang bertolak belakang. Karena itu sedari dulu saya berpendapat sangat berbahaya 'bermain dan memanfaatkan' media massa untuk kepentingan kelompok, apalagi pribadi. Terlebih para peneliti umumnya bukanlah politikus yang terbiasa berhadapan dengan media dan segala dinamikanya. Contoh nyata adalah publikasi luar biasa terkait Pak Dahlan Iskan (DI) yang kemudian berbalik 180o setelah muncul fakta lain yang berbeda, padahal Pak DI notabene adalah dedengkot media yang pasti paham dan berpengalaman menangani media. Mungkin secara riil Pak DI memiliki kepemimpinan yang sangat baik, tetapi akibat over exposure bisa dipastikan saat ini mengalami defisit stigma positif di mata publik.
Pengalaman diatas kami ambil sebagai pelajaran berharga saat 'mengkomunikasikan' penandatanganan kerjasama teknis LIPI denganALICE CERN pada 21 Oktober 2013 lalu. Meski kerjasama ini bisa diklaim sebagai peristiwa fenomenal bagi komunitas ilmiah Indonesia, karena untuk pertama kalinya terlibat aktif dalam sebuah kolaborasi global raksasa, kami berusaha menempatkan semuanya dalam konteks yang sepantasnya. Syukurlan ekspos media cukup memadai dan proporsional, serta tidak sampai menimbulkan klaim-klaim berlebihan yang malah akan membebani teman-teman pelaksana ke depannya.
Kasus terapi kanker ala Warsito
Kembali ke opini saya terkait dengan polemik terapi kanker Warsito. Secara personal saya mengenal beliau yang merupakan salah satu kakak kelas saat studi di Jepang dulu. Warsito sejak lama berkiprah di dunia pengolahan citra untuk beragam aplikasi. Hasil risetnya yang membanggakan adalah aplikasi pemindaian waktu nyata berbasis ECVT.
Tidak sekedar memindai dan menampilkan materi dalam visual tomografi, Warsito kemudian mencoba mengaplikasikan teknologi yang sama untuk meradiasi materi itu sendiri. Dalam kasus ini adalah sel-sel kanker. Tentu saja ide ini sah-sah saja, sangat bagus dan secara teoritis memiliki landasan yang kuat.
Banyak literatur dan kajian yang menyimpulkan bahwa gelombang elektromagnetik (listrik maupun magnet) mampu mempengaruhi pertumbuhan, atau sebaliknya mematikan sel-sel hidup. Sama halnya dengan teknologi cryogenic untuk material pada suhu sangat rendah. Teknologi ini kemudian diaplikasikan pada terapi kanker di banyak rumah sakit di Cina. Tetapi berbeda dengan radiasi elektromagnetik, pembekuan bisa dilakukan langsung pada sel-sel yang telah dipastikan sebagai kanker dengan alat khusus.
Masalah pada terapi ala Warsito adalah belum bisa dijelaskan bagaimana radiasi elektromagnetik tersebut hanya akan bereaksi pada sel-sel kanker, dan tidak berinteraksi apapun dengan sel-sel sehat di sekitarnya. Dengan kata lain, efek sampingan dari terapi ini masih belum bisa dipertanggung-jawabkan.
Yang paling fatal barangkali adalah cara komunikasi yang tidak sesuai dengan standar komunitas. Di komunitas kedokteran, terlebih di konferensi ilmiah, tentu tidak cukup dengan testimoni. Karena justru disitulah letak perbedaan antara 'ilmu kedokteran' dengan 'tukang jual obat'. Ilmu kedokteran bukan ilmu pasti dan menyangkut nyawa manusia, karenanya memiliki perangkat metode ilmiah yang sangat panjang, rinci serta (mungkin) ribet.Seperti doktrin mereka : medicine is a science of uncertainty and art of probability dan khususnya untuk pengobatan selalu berbasis pada evidence-based medicine dan value-based medicine. Tentu saja bukti (evidence) ini tidak cukup dengan 'testimoni', tetapi harus melalui proses dan prosedur baku untuk memastikan semuanya dilakukan dengan benar dan menjaga kaidah-kaidah kemanusiaan.
Mungkin bisa saya berikan analogi ekstrim atas kasus ini. Beragam ide menarik selalu muncul di Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) LIPI, misalnya ide sumber energi dari aneka buah khususnya jeruk-jerukan. Tetapi kita harus bisa membedakan antara 'bisa' dengan 'layak'. Semua anak tentu bisa mencoba dan menghasilkan sumber daya listrik dari buah jeruk, tetapi apakah kemudian hal tersebut boleh diklaim bahwa jeruk bisa dipakai sebagai 'pengganti PLTA' ? Tentu saja untuk sampai pada klaim tersebut harus dilakukan upaya-upaya lanjutan yang luar biasa berbasis metode ilmiah baku.
Bahkan untuk penelitian ilmiah remaja di LKIR saat ini kami mewajibkan aneka formulir persetujuan (consent form) dari responden, orang-tua, laboran, mentor dan sebagainya. Hal ini untuk memastikan bahwa pelajar pelaku penelitian melakukan seluruh aspek sesuai prosedur ilmiah, termasuk keamanan untuk yang bersangkutan dan lingkungannya. Saat ini sudah bukan era dimana setiap orang bisa melakukan penelitian, terutama dengan subyek manusia, tanpa mengindahkan etika dan metode baku.