KIAT PARA GUBERNUR JAKARTA MENGATASI BANJIR [caption id="attachment_291032" align="aligncenter" width="300" caption="Paulus Londo, Ketua LS2LP bersama Menteri LH Rachmat Witoelar dalam acara penyerahan buku Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009. Dok: LS2LP/SUAR"][/caption] Sejak jaman purbakala, Jakarta selalu menghadapi ancaman banjir. Upaya penanggulangan banjir juga sudah sudah dilakukan sejak Raja Purnawarman memerintah Kerajaan Tarumanegara, dan Gubernur Joko Widodo sebaiknya lebih rajin membaca buku-buku sejarah agar tidak perlu mempertanyakan lagi apa yang telah dilakukan oleh para pendahulunya. Sebab para pemimpin pemerintahan di Jakarta telah melakukan banyak hal untuk menanggulangi ancaman banjir, terutama dalam situasi kritis. Pada jaman colonial Belanda misalnya, ketika banjir besar melanda Jakarta pada 19 Pebruari 1918, maka pada hari itu juga Gemeente Raad Batavia (baca DPRD) menggelar sidang paripurna untuk membicarakan tindakan yang perlu dilakukan mengatasi situasi kritis. Rapat paripurna ini juga dihadiri oleh Bischop, Walikota Batavia, H Van Breen seorang ahli tata air yang memimpin Departement Waterstaat (Baca: Dorektorat Jenderal Pengairan). Dalam rapat itu, sang walikota terus diliputi ketegangan dan nyaris putus asa. Sebab bukan karena sedemikian luasnya wilayah tergenang banjir sehingga menyulitkan evakuasi, tapi juga oleh pertanyaan-pertanyaan kritis dari para anggota Gemeente Raad Batavia. Schotman salah seorang angora misalnya terus mencecar sang walikota dengan pertanyaan-pertanyaan, mengenai penyaluran bahan makanan dan obat-obatan di tempat pengungsian yang terletak di Pasar Baru, gereja Katedral dan sebelah barat Molenvliet. Kepada H Van Breen ia menanyakan efektivitas dari proyek raksasa penanggulangan banjir yang sedang ditangani “Pembangunan Kanal Banjir (Barat),” Rapat dimulai pukul 19.00 WIB itu berlangsung hingga larut malam. H Van Breen dengan jujur menjawab bahwa Kanal Banjir yang sedang dibangun tidak menjamin Jakarta (Batavia) bebas dari banjir. Proyek itu hanya dapat mengurangi resiko banjir pada beberapa bagian kota. Namun ia berharap semua yang hadir tidak putus asa. Yang perlu dipikirkan adalah upaya menekan tingkat resiko yakni dengan menyiapkan skenario penyelamatan jika banjir kembali menerjang Jakarta. GUBERNUR SOEMARNO Kepala Pemerintah Kota Jakarta yang nyaris putus asa menghadapi banjir adalah Gubernur Soemarno (pengganti Walukota Soediro). Sebab ia baru seminggu menjabat Gubernur Jakarta, terjadi banjir yang menenggelamkan Jakarta termasuk sejumlah “kota satelit” yang dibangun pada masa Walikota Soediro. Kota-kota satelit yang ditelan genangan air hingga atap rumah adalah Grogol, yang kala itu merupakan kawasan pemukiman elite, Taman Solo (Cempaka Putih), Rawamangun (kota satelit untuk pendidikan), dan sebagian Kebayoran Baru. Kota-kota satelit ini memang menempati kawasan bekas rawa-rawa. Menghadapi situasi kritis saat itu, Presiden Soekarno langsung turun tangan (pada masa Gubernur Soemarno hampir semua kebijakan pembangunan Ibukota Jakarta berada pada Presiden Soekarno, dan Gubernur Soemarno yang menjadi pelaksana di lapangan). Selain dilakukan trindakan penyelamatan penduduk, Presiden Soekarno juga merancang uoaya pencegahan banjir secara integratif dan menyeluruh dengan berpatokan pada rencana yang sudah di susun pada jaman colonial Belanda (Rencana H Van Breen dan kawan-kawan). Sebagai Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno membentuk “Komando Proyek Penangggulangan Banjir Jakarta” yang disingkat KOPRO BANJIR. Sayangnya, rencana yang sudah disusun sulit dieksekusi karena keterbatasan dana. ALI SADIKIN, TJOKROPRANOLO, R SOEPRAPTO. WIYOGO ADMODARMINTO Implementasi rencana tersebut baru sedikit demi sedikit dapat dijalankan pada masa Gubernur Ali Sadikin. Yang jadi prioritas adalah pembangunan dan pemeliharaan system drainasi kota. Saluran-saluran air diperbaiki. Juga dibangun saluran-saluran baru, termasuk dua saluran kolektor di pinggiran kota: Cakung Drain dan Cengkareng Drain. Dana untuk pembangunan infrastruktur ini berasal dari Uang Judi yang dilegalkan. Namun upaya tersebut belum juga membebaskan Jakarta dari ancaman banjir. Karena itu, Ali Sadikin juga menyiapkan langkah non struktur penanggulangan banjir seperti tindakan evakuasi dalam keadaan darurat dan tindakan lainnya dalam satu kesatuan komando. Wakil Gubernur Bidang IV/Keamanan dan Ketertiban, Marsekal Madya Wiriadinata yang diserahi tugas mengendalikan langkah operasional dalam situasi darurat. Setahun menjelang akhir masa jabatan, Ali Sadikin dibuat repot oleh banjir besar melanda Jakarta tahun 1976. Gawatnya situasi membuat Ali Sadikin harus terus menerus memantau perkembangan situasi selama 1 kali 24 jam. Sementara Wagub Wiriadinata selaku pimpinan operasional terpaksa bersiaga penuh siang dan malam di Posko Darurat yang dibangun d Pintu Air Manggarai. Pada saat itu, lantai 1 gedung FKUI Salemba dan lantai 1 Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tergenang air sehingga tak dapat dipergunakan. Juga lantai 1 gedung Markas Kodam Jaya di Cawang. Beberapa perusahaan biskota tak dapat beroperasi karena banyak biskota tenggelam saat masih terparkir di dalam pool antara lain Perusahaan Biskota Pelita Mas Jaya di Kebon Nanas Jakarta Timur. Bencana banjir ini sebenarnya telah diprediksi oleh para staf Ali Sadikin, seiring dengan kian meluasnya pemukiman baru di kawasan yang semula menjadi resapan air. Karena itu menjelang akhir masa jabatannya,Ali Sadikin menyusun strategi penanggulangan banjir yakni Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta 1972-1973 termasuk merencanakan pembangunan sistem Kanal Banjir Timur (KBT). Gubernur Tjokropranolo yang menggantikan Ali Sadikin awalnya lupa meneruskan pelaksanaan rencana yang sudah disusun. Untung banjir yang kembali mengepung kota Jakarta di tahun 1979, cepat menyadarkannya untuk segera meneruskan program penanggulangan banjir itu. Pendanaannya ? Lagi-lagi dari judi (judi lomba anjing/greyhound, porkas). Langkah Bang Nolly kemudian diteruskan oleh Gubernur R. Soeprapto dan Gubernur Wiyogo Atmodarminto, yakni dengan memanfaatkan dana hasil judi Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) alias Undian Harapan yang kemudian dihentikan pada 1994. Keterbatasan dana justru jadi kendala bagi Gubernur Soerjadi Soedirdja, ketika terjadi banjir tahun 1996. Pada hal, luas genangan air saat itu kian meluas, termasuk jalan tol yag menghubungkan Jakarta dan Bandara Soekarno-Hatta. Bahkan, konvoi kendaraan Presiden Soeharto yang sedang menuju Bandara Halim P K, nyaris tak dapat bergerak karena kemacetan parah akibat banyaknya kendaraan terjebak banjir di ruas jalan kea rah Halim PK. ORMAS DAN PARTAI Pada masa Gubernur Soerjadi Soedirdja, keterlibatan organisasi kemasyarakatan dan partai politik membantu masyarakat korban banjir mulai terlihat. Tiga organisasi politik (PPP, Golkar, PDI) selalu siap menerjunkan satuan tugasnya di berbagai wilayah yang diserang banjir. Berbagai ormas juga ikut menerjunkan satuan-satuan tugas membantu warga masyarakat. Anehnya, meski satgas orpol itu bergerak sendiri-sendiri, namun di lapangan seperti sudah ada pembagian tugas. Biasanya, yang paling pertama tiba di lokasi bencana adalah Satgas dari PDI. Umumnya, Satgas PDI membantu evakuasi korban, membangun tempat pengungsian, dan memberikan pertolongan pertama. Lalu, datang bantuan dari Satgas PPP dan melakukan hal yang sama. Satgas Golkar yang hadir paling terakhir, namun dengan logistiknya paling lengkap langsung membangun pos kesehatan lapangan, dapur umum, mengerahkan perahu karet, ambulan dan sebagainya. SOETIYOSO dan FAUZI BOWO Kerjasama di lapangan terjalin dengan baik. Tak ada kesan melakukan pencitraan. Hal yang sama kembali terulang, ketika terjadi banjir di tahun 2002, saat Jakarta dipimpin oleh Gubernur Sutiyoso. Dengan sekuat tenaga Gubernur Soetiyoso melakukan perbaikan sistem drainase kota. Dan seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian nasional – serta PAD DKI Jakarta mengalami kenaikan yang luar biasa, (dari Rp. 1,6 triliun menjadi Rp. 12 triliun dan akhirnya mencapai Rp. 26 triliun)—Gubernur Soetiyoso dan Presiden Megawati mencanangkan pembangunan Kanal Banjir Timur –. Rencana pembangunannya sudah disusun sejak Gubernur Ali Sadikin, baru dapat direalisasi pada era Soetiyoso, dan peresmian pembangunannya oleh Presiden Megawati. Pembanguna KBT untuk menampung limpasan air Kali Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung. Namun pelaksanaannya tersendat-sendat karena alasan klasik mulai dari kesulitan pendanaan hingga pembebasan tanah. Seperti pendahulunya, tak punya cukup dana taktis membuat Sutiyoso kerepotan. Penyelesaian pembangunan KBT pun baru dapat dituntaskan oleh penggantinya, Gubernur Fauzi Bowo itu menjelang akhir masa jabatannya. KERJASAMA ANTAR INSTANSI Lantas apa yang membedakan para gubernur terdahulu dengan Joko Widodo, Gubernur Jakarta saat ini ? Dari pengamatan sepintas saja maka terlihat ada beberapa perbedaan yakni: 01. Dalam menghadapi bencana banjir, para gubernur terdahulu selalu mengedepankan kerjasama lintas sektor baik horizontal maupun vertikal. Saat mendatangi lokasi-lokasi bencana misalnya, Gubernur Sutiyoso selalu bersama Presiden Megawati disertai staf masing-masing. Ini memudahkan penanganan masalah di lapangan. Ali Sadikin juga begitu. Ia turun ke lapangan bersama dengan Menteri PU dan sering disertai pula dengan Gubernur Jawa Barat dan Bupati Bogor. Hal sama juga dilakukan para gubernur lainnya. 02. Dulu kerjasama antar elemen masyarakat jauh dari kepentingan pencitraan, Hal ini memudahkan koordinasi di lapangan. Satgas dari tiga Orpol (PPP, Golkar, PDI) dan dari ormas bisa bahu membahu di lapangan. 03. Para gubernur terdahulu relatif memiliki pengetahuan memadai tentang karakter banjir di Jakarta, sehingga langkah yang diambil lebih fokus pada pencarian solusi, bukan untuk mengkambing hitaman pihak lain. Selain itu juga memiliki pengetahuan tentang kebencanaan, dan memahami peran yang mesti dilakukan. (PAULUS LONDO, Ketua Lembaga Studi Sosial, Lingkungan & Perkotaan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H