Mohon tunggu...
SUAR LSSPI
SUAR LSSPI Mohon Tunggu... -

SUAR (Suara Akar Rumput) adalah bagian dari LS2LP (Lembaga Studi Sosial Lingkungan @ Perkotaan)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berbagi “Dosa Ekologis”

26 Mei 2015   21:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:34 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_367878" align="aligncenter" width="300" caption="PAULUS LONDO"][/caption]

BERBAGI “DOSA EKOLOGIS”

Raperda RZWPPK DKI Jakarta 2015-2035.

Oleh:

PAULUS LONDO

Ketua LS2LP

Mengenai proyek reklamasi pantai utara Jakarta dan perairan teluk Jakarta,  Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudyastuti tetap kukih pada pendiriannya. Tidak akan mengijinkan jika tidak didasarkan hasil pengkajian yang mendalam, lengkap dan cermat. “Jika satu  area genangan air itu diuruk, makia perlu “the other water site,” sebab jika tidak air bakal menggenangi area yang lain. Dampaknya, Bandar udara Soekarno – Hatta bakal tenggelam.” Susi sangat memahami karakteristik kawasan pesisir pantai, sebab sebelum menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, ia seorang aktivis lingkungan yang independen. Degradasi lingkungan di Segara Anakan Cilacap, misalnya, termasuk kawasan yang ia perhatikan. Juga reklamasi di Teluk Benoa Bali.

Jauh sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup juga telah mempersoalkan proyek reklamasi Pantura dan Teluk Jakarta,  salah satunya mengenai lokasi pengambilan  material penguruk laut. Reklamasi Pantura/Teluk Jakarta jelas membutuhkan 320 juta lebih meter kubik material penguruk. Tentu dampak pengambil tanah dan pasir sebanyak itu akan mengubah bentang alam di lokasi pengambilan material, dank arena itu perlu studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di tempat pengambilan tanah urukan. Karena hal ini  tidak dijelaskan dalam dokumen studi AMDAL yang disodorkan oleh para pengembang dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, maka Kementerian Lingkungan Hidup menolak hasil studi AMDAL tersebut dan tidak memberikan “ijin lingkungan.”

Anehnya, para pengembang dan Pemerintah Provinsi menggugat penolakan dokumen AMDAL itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Apakah mereka tidak paham bahwa dokumen hasil studi AMDAL, bukan sesuatu yang bersifat administrative –dan karenanya dapat digugat di PTUN—melainkan satu dokumen yang bersifat akademik, yang tentu hanya dapat dipersoalkan pula secara akademik.  Status  Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup menolak hasil studi AMDAL adalah sama dengan Keputusan Dewan Penguji Disertasi, Tesis dan Skripsi di dunia perguruan tinggi, yang tidak dapat digugat melalui PTUN melainkan hanya dapat  disanggah dengan hasil kajian yang bersifat ilmiah-akademik. Atau dengan memperbaiki isi dokumen itu sendiri sehingga memenuhi kaidah ilmiah akademik. Karena itu wajar bila Pengadilan Kasasi Mahkamah Agung menolak gugatan para pengembang dan Pemprov DKI Jakarta, dan ini jadi dasar bagi Kementerian Lingkungan Hidup mendesak agar kondisi Pantura Jakarta dikembalikan seperti keadaan semula.

Meski dalam pengadilan “Peninjauan Kembali,” gugatan tersebut dikabulkan, namum secara substansial keputusan itu tetap tidak mengubah hasil studi AMDAL yang memang tidak memenuhi syarat. Dengan kata lain, kendati proyek reklamasi itu tetap diteruskan namun padanya terdapat kecacatatan yang  dapat bisa menjadi biang penyebab bencana ekologis dikemudian hari.

NEGARA DALAM NEGARA

Meski ditentang oleh dua instansi pemerintah pusat (KKP dan KLH), namun Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tetap nekad melanjutkan proyek reklamasi. Berbagai alasan pun dianyam untuk membenarkan kebijakannya itu. Mungkin karena kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo, yang membuat Ahok dengan enteng lecehkan instansi pemerintah pusat. Pengelolaan Pemerintahan dan Pembangunan di DKI Jakarta seakan “negara dalam negara,” dengan menempatkan kepentingan korporasi di atas segala-galanya.

Kuatnya dukungan sejumlah korporasi dengan dana yang nyaris tak terbatas, Ahok dengan mudah membungkam suara-suara kritis yang mempersoalkan kebijakannnya itu. Bahkan DPRD DKI Jakarta, terlihat semakin “impoten” konon karena mendapat asupan “gizi” dari pihak tertentu. Indikasi akan hal ini antara lain dari upaya pimpinan DPRD DKI Jakarta yang terkesan terburu-buru hendak mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) DKI Jakarta tentang RENCANA ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA  TAHUN 2015-2035.

Menyimak draft Raperda tersebut memang  sangat tidak layak untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah Sebab selain argumen mendasarinya sangat kabur, bahkan terlihat tak ada kesesuaian antara judul dengan isinya. Diduga isinya dibuat kabur agar perda yang tampak  hendak diperuntukkan mendukung kebijakan reklamasi, lolos dari perhatian public. Beberapa anggota DPRD DKI Jakarta berkali-kali menegaskan bahwa Raperda ini tidak ada hubungannya dengan reklamasi. Tapi mungkin mereka lupa bahwa dari  judul Raperda tersebut tampak jelas yang hendak diatur adalah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjadi lokasi proyek reklamasi yang dibela mati-matian oleh Gubernur Ahok. Sebab itu, wajar jika public berpendapat bahwa Raperda tersebut untuk membagi “dosa ekologis” antara eksekutif dan legislatif, tentu setelah terjadi “pembagian gizi” antara mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun