Pejabat Blusukan ke Lokasi Bencana Mesti Taat Aturan
---Kasus Banjir Jakarta 9 Pebruari 2015—
Oleh:
PAULUS LONDO
Ketua LS2LP
(Lembaga Studi Sosial, Lingkungan & Perkotaan)
Banjir menerjang kota Jakarta 9 Pebruari 2015, menjadi istimewa karena memberikan satu pelajaran berharga. Tentu terutama bagi para elite pemerintah yang kian doyang “blusukan,” untukmemahami dan Menghargai kedudukan, fungsi dan wewenang masing-masing. Patut dipahami, untuk mengatasi situasi kritis dan darurat, mutlak perlu satupemimpin untuk mengatur tindakan-tindakan yang perlu dilakukan oleh semua pihak. Dengan satiu pemimpin maka akan tercipta satu komando. Sebab itu, Bung Karno dalam pidato berjudul RESOPIM (Revolusi, Sosialisme dan Pimpinan Nasional) menegaskan pentingnya satunya kepempinan pada semua tingkatan.
Dalam pengelolaan pemerintahan, hal tersebut sudah diatur bahwa pada saat terjadi bencana dan atau matabahaya di suatu daerah maka pemimpin tunggal adalah Kepala Daerah. Pejabat atau instansi pusat atau siapa pun ikut terlibat dalam pencegahan dan penanggulangan bencana, mesti dalam koordinasi dan kendali kepala daerah. Sebab dualisme kepemimpinan atau adanya intervensi unsur lain tanpa sepengetahuan pimpinan dapat akan mengganggu rencana pencegahan dan penanggulangan, dan hasilnya bisa kontra produktif.
Kronologi Kejadian
Curah hujan di Ibukota Jakarta pada 9 Pebruari 2015, sebenarnya tidak luar biasa. Tapi genangan air yang meningkatdengan cepat baik ketinggiannya maupun cakupannya, cukup mengagetkan semua pihak, tentu terutama Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, sebagai pimpinan puncak pemerintah daerah Ibukota Jakarta.
Masih pagi, kawasan “Ring-1” (Kompleks Istana, Kawasan Monas, dan sekitarnya) sudah tergenang air. Tapi anehnya ketinggian air dikanal Jalan Veteran dan Jalan Gajah Mada – Hayam Wuruk, tidak menunjukkan kenaikan yang berarti. Memang jaringan drainase di Ring 1 tidak terhubung ke kanal tersebut, melainkan langsung ke Waduk Pluit. Ini berarti terjadi genangan air di Ring 1 menandakan terjadi sesuatu pada system pengendalian air di Waduk Pluit. Tentu wajar jika Gubernur Basuki Tjahaja Purnama panik. Dan benar, ketika ia menghubungi petugas di Waduk Pluit, jawaban diperoleh cukup mengagetkan. “Dari 12 unit Pompa penyedot air waduk,hanya 2 unit beroperasi. !0 unit tidak jalan karena tak ada aliran listrik.”
Lalu Gubernur Basuki menghubungi pihak PLN, menanyakanapakah Pembangkit PLN Muara Karang sudah terendam air atau belum ? Jawabannya, aliran listrik “sengaja” diputus agar penduduksekitar pompa tidak kesetrum. Jawaban yang “tidak nyambung” dengan pertanyaan, jelas membuat Gubernur Basuki kesal.
“Ini sabotase. Listrik diputus karena takutwarga sekitar pompa kesetrum, sedangkan pertanyaan saya udah banjir atau belum di situ,” ujar Ahok geram di Balaikota, Jakarta, Senin (9/2/2015). Pemutusan aliran listrik ini yang jadi penyebab cepatnya kenaikan genangan air di sekitar Ring 1.
“Kenapa (air Waduk Pluit) naik terus? Sebab PLN matikan aliran listrik di situ, makanya pompa enggak bisa jalan dan hujan turun terus. Jelas naik dong airnya. Pertanyaan saya, kenapa PLN matiin listrik di Waduk Pluit? Alasannya takut nyetrum orang. Pada hal pertanyaannya “ Sudah banjir belum di Pluit ? Untuk apa PLN mematikan aliran listrik di Waduk Pluit, sementara kawasan itu belum terendam banjir. Apabila di kawasan tersebut sudah banjir, PLN baru bisa menghentikan aliran listrik. Sebab,genset yang tersedia hanya mampu menyalakan dua dari total 12 pompa,” kata Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (kompas.com).
Anehnya, pihak PLN tidak merasasalah atas kejadian ini.“Yah sekali-kali kebanjiran kan tidak apa-apa. Untuk rakyat yang lebih luas,” ujar Direktur Utama PLN Sofyan Basir di Jakarta, Selasa Sofyan menegaskan, langkah pemutusan aliran listrik ke pompa oleh perseroan untuk mencegah penduduk sekitar pompa tersetrum. Sikap pandang enteng pihak PLN atas kejadian ini memang terasa janggal. Namunkemudian bisa dimaklumi, karena insiatif pemutusan aliran listrik ke pompa waduk Pluit, bukan semata-mata inisiatif mereka, melainkan atas permintaann Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani.
“Kemarin saya bersama-sama Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat serta BNPB sudah melakukan blusukan ke daerah-daerah rawan banjir, seperti di Kalibata, bantar Kali Ciliwung, dan 22 titik banjir di kawasan Jakarta Pusat. Sempat mematikan listrik oleh PLN sebentar namun dinyalakan kembali. PLN mengantisipasi terjadinya setrum di beberapa wilayah. Jadi saya belum tahu kalau kemudian Pak Ahok menyatakan hal tersebut.
Menko Puan Maharani juga tidak merasa salah. Sebab memang niatnya baik. Apalagi ia sudah berkoordinasi dengan pejabat-pejabat yang menyertai ia blusukan. Tapi, mungkin terlupakan (atau memang belum tahu) bahwa dalam situasi darurat koordinasidan komunikasi intensif seharusnya dengan Gubernur DKI Jakarta selaku pimpinan wilayah dan penanggung jawab operasional penanggulangan bencana di DKI Jakarta. Bahkan melalui gubernur, Ibu Menko Puan dapat berdiskusi, tukar pikiran dan informasi dengan para pejabat di setiap wilayah.Dari alur kisah tadi , kemungkinan Gubernur Basuki belum mendapat informasi tentang kehadiran para pejabat pusat di lapangan, dan mem “by pass” jalur komando, sehingga bereaksi keras. Dan beruntung kejadian tersebut tidak menimbulkan korban jiwa dan dampak lain yang serius.
Jangan Abaikan Pemerintah Daerah
Kehadiran pejabat pemerintah pusat ke lokasi bencana memang bermakna positif, namun seyogyanya tidak mengambil alih kewenangan pemerintah daerah. Tentu akan lebih baik lagi, saat terjun ke lapangan, pejabat pusat terlebih dahulu berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat, atau bersama-sama dengan pemimpin daerah setempat. Dulu mendatangi lokasi bencana bersama kepala daerah setempatbiasanya dilakukan olehPresiden Megawati Soekarnoputeri. Ia selain mengajak menteri terkait, juga selalu didampingiGubernur (dan atau Bupati/Wali Kota) juga bersama staf pemerintah daerah. Dengan begitu, ia dapat mendiskusikan masalahdi lapangan dengan kepala daerah sebagai penanggung jawab wilayah, dan tindak yang harus diambil langsung dapat dieksekusi.Prosedur tersebut tentuselain untuk kemudahan koordinasidi lapangan, juga demi keselamatan dan keamanan sang pejabat pusat sendiri, sebab pejabat daerah jelas lebih mengetahui kondisi lapangan.
Pada banjir Jakarta tahun 2002, Presiden Megawati mendatangi lokasi bencana di Gang Arus Cawang bersama Gubernur Soetiyoso. Hal yang sama juga dilakukan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang lazim mendatangi lokasi banjir bersama Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo.
Perlu dipahami bahwa kedudukan Gubernur selain menjadiKepala Pemerintah Daerah yang memiliki otonomitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, juga merupakan Perwakilan Pemerintah Pusat. Hal ini sudah diatur dengan jalan dalam undang-undan serta peraturan turunannya. Dengan itu pulagubernur bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Otonomi dan alur pertanggung jawaban ini seyogyanya tidak “diganggu” oleh pejabat pusat meski ia seorang pembantu presiden.
Kedudukan hukum kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) tersebut menjadi begitu penting saat situasi daerah tidak normal. Sebab berhubungan erat dengan pertanggung jawaban hukum dengan segala konsekuensinya.Sebab seseorang yang tanpa hak sengaja melakukan tindakan membahayakan keamanan umum bagi orang dan barang menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk kejahatan yang dapat dihukum penjara.
Pasal 187 KUHPmenegaskan bahwa: Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam;
1). dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;
2). dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain;
3). dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.
Beberapa Kejadian di Masa Lampau
Untuk memahami hubungan pusat dan daerah dalam situasi darurat dapat dilihat dalam kejadiab berikut ini.
1.Walikota BISCHOP (masa Hindia Belanda).
Banjir terjadi pada masa Hindia Belanda. Tanggal 19 Pebruari 1918 banjir besar melanda Kota Batavia. Luasnya genangan air menyulitkan evakuasi pengungsian penduduk.Situasi saat itu sangat kritis, karena penyaluran bantuan makanan, obat-obatan, pakaian dan sebaainya kepada pengungsi juga sulit dilakukan. Tentara dan polisi sudah kewalahan membantu pengungsian, karena transportasi nyaris lumpuh.Gemeente Raad Batavia (semacam DPRD saat ini) memanggil Bischop, Walikota Batavia serja jajaran pemerintahan kota Batavia membahas penanggulangan krisis. Rapat berlangsung sangat tegang hingga larut malam itu tak menemukan jalan keluar.
Dalam rapat tersebut Bischop mengikut sertakan sejumlah pejabat pemeirntah pusat antara lain Prof, H Van Breen seorang ahli tata air yang memimpin Departement Waterstaat (Baca: Direktorat Jenderal Pengairan). Beberapa anggota Gemeente Raad Batavia mencecar Bischop dengan pertanyaan-pertanyaan kritis. Schotman salah seorang angota misalnya terus mencecar sang walikota dengan pertanyaan-pertanyaan, mengenai penyaluran bahan makanan dan obat-obatan di tempat pengungsian yang terletak di Pasar Baru, gereja Katedral dan sebelah barat Molenvliet. Kepada H Van Breen ia menanyakan efektivitas dari proyek raksasa penanggulangan banjir yang sedang ditangani “Pembangunan Kanal Banjir (Barat),”
Rapat dimulai pukul 19.00 WIB itu berlangsung hingga larut malam. H Van Breen dengan jujur menjawab bahwa Kanal Banjir yang sedang dibangun tidak menjamin Jakarta (Batavia) bebas dari banjir. Proyek itu hanya dapat mengurangi resiko banjir pada beberapa bagian kota. Namun ia berharap semua yang hadir tidak putus asa. Yang perlu dipikirkan adalah upaya menekan tingkat resiko yakni dengan menyiapkan skenario penyelamatan jika banjir kembali menerjang Batavia
2.Gubernur . Ali Sadikin
Pada tahun 1976, banjir besar melanda Ibukota Jakarta. Hujan deras terusmenerus selama seminggu lebih menyebabkan banyak wilayah Jakarta tergenang air. Angkutan umum terganggu karena ketinggian genangan air di pool biskota mencapai 2 meter (antara lain pool Biskota Pelita Mas Jaya dan pool Biskota PPD, dua-duanya di kawasan Cawang). Bahkan lantai 1 Markas Kodam V Jaya diCawang juga tergenang air. Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin memimpin langsung operasi penanggulangan banjir langsung dari Gedung Balai Kota.
Semua instansi pemerintah baik pusat maupun daerah yang terlibat dalam penanggulangan banjir berada di bawah kendali Gubernur DKI Jakarta. Sedangkan Wakil Gubernur IV, Marsekal Pertama Wiriadinata memindahkan kantornya selama 15 hari di Pintu Air Manggarai. Ia terus menerus memantau kesiagaan para petugas yang berjaga-jaga di berbagai pintu air yang tersebar di beberapa wilayah Ibukota. Ketika, tinggi air di Kanal Banjir Barat semakin tinggi dan dikuatirkan dapat menjebol tanggulpengamanandi sisi Jalan Latuharhary (Jika terjadi wilayah Menteng bakal tergenang banjir), Wagub Wiriadinata melaporkannnya ke Gubernur Ali Sadikin, serta dalam beberapa waktu ke depan ia akan memerintahkan pembukaan pintu air Manggarai yang mengalirkan air ke jalur asli Ciliwung yang melewati kawasan Cikini, Kalipasir, Kwitang, terus ke Pintu Air Istiqlal.
Tindakan darurat ini bertujuan mengurangi beban Kanal Banjir Barat, namun resikonya, kawasan tersebut tadi bakal tergenang air, termasuk kawasan Istana Kepresidenan. Gubernur Ali Sadikin beserta staf terkait yang berjaga-jaga di Balai Kota langsung merespon laporan tersebut. Bang Ali menghubungi Istana Presiden, menjelaskan situasi yang terjadi di lapangan. Pejabat yang lain langsung menghubungi instalasi-instalasi vital di kawasan yang bakal tergenang air, seperti Rumah Sakit Cipto Mangungkoesoemo, Universitas Indonesia Salemba (dulu masih ada Asrama Mahasiswa Pegangsaan), Rumah Sakit PGI Cikini,kepala-kepala pasar. Para camat dan lurah di kawasan tersebut diperintahkan bersiaga selama 24 jam dan agar melaporkan perkembangan yang terjadi ke Balai Kota (waktu itu belum ada Ponsel, laporan melalui Handy Talky).
Setelah semua siap, pintu air dibuka perlahan-lahan sehingga arusnya tidak deras. Kawasan Bioskop Megaria, RSCM, UI tergenang banjir setinggi lutut orang dewasa. Tapi pelayanan kesehatan di rumah sakit tetap berjalan karena kegiatan sudah dipindahkan di lantai dua. Air sempat menggenangi kampus UI Salemba, tapi tidak terlalu tinggi.Penjaga pintu air di Istiqlal sangat cermat dan hati-hati mengatur aliran air, berusaha sedapat mungkin tidak membanjiri kawasan Istana. Karena itu sebagian besar disalurkan ke kanal Jalan Gunung Sahari. Kawasan Istana tetap aman, tapi Jalan Gunung Sahari tertutup air.
Adanya Pusat Pengendalian Operasi yang berfungsi efektif, sertasatu kesatuan pimpinan memang amat dibutuhkan dalam situasi darurat. Pejabat instansi pusat, pihak swasta dan masyarakat yang hendak membantu penanggulangan banjir diharuskan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, koordinasi dengan pihak militer dan polisi juga berjalan baik, sebab para pimpinannya tergabung dalam MUSPIDA. Sementara Pangdam V Jaya selaku Ketua Muspidajuga menjabat Komandan Garnisun Ibukota yang mengkoordinasikan semua satuan ABRI (TNI dan Polri) di Jakarta tanpa kecuali.
3.Gubernur Soetiyoso
Peristiwa banjir berikutnya terjadi di tahun 2006 saat Letjen TNI Soetiyoso menjabat Gubernur DKI Jakarta. Genangan banjir saat itu cukup besar menyebabkan sebagian wilayah DKI berselimut air.Salah satunya kawasan Halimun, Kuningan hingga Setia Budi.Kendati tingkat genangan semakin tinggi, Penjaga Pintu Air Manggarai tetap menutup pintu air yang menju aliran Ciliwung asli. Hal ini mengundang amarah warga di kawasan yang sudah tergenang air.Mereka pun beramai-ramai mendatangi Pintu Air Manggarai, mendesak (mengancam) Penjaga Pintu Air agar segera membuka semua pintu air.
Tapi Penjaga Pintu Air tak menghiraukannya. Sebab menurut prosedur hanya Gubernur DKI Jakarta yang berwenang memberi instruksi pembukaan pintu air. Penjaga Pintu Air melaporkan hal tersebut kepada Gubernur DKI Jakarta. Selain itu ia melaporkan aksi warga kepada polisi.Satuan Polisi setingkat 1 SST (Satuan Setingkat Peleton) segera memblokade massa yang hendak menuju pintu air. Bang Yos juga segera datang ke Pintu Air Manggarai, setelah sebelumnya melaporkan perkembangan yang terjadi di lapangan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tentu sekaligus mohon izin presiden untuk membuka Pintu Air Manggarai dan mengingatkan dampaknya terhadap kompleks Istana. Presiden SBY mengizinkan pembukaan Pintu Air Manggarai, sambil menginstruksikan para petugas istana memindahkan barang-barang berharga ke tempat yang aman. Dampak pembukaan Pintu Air Manggarai, beberapa kawasan tergenang air, termasuk halaman istana setinggi dengkul orang dewasa.
Catatan Akhir
Bencana apa pun bentuknya (banjir, gempa bumi, dan lain-lain) memang dapat membangkitkan empati, sehingga banyak orang tergerak mendatangi lokasi bencana dengan niat membantu para korban, minimal ikut berbagi duka. Namun untuk mendatangi lokasi bencana harus hati-hati, sebab juga berbahaya bagi mereka yang tidak mengetahui keadaan lokasi yang sebenarnya. Karena itu, harus melapor dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat karena mereka yang paling memahami keadaan di lapangan. Selain itu, siapkan alat pelindung dirisebelum terjun ke lapangan.
Bagi para pejabat pemerintah, apa pun jabatan dan pangkat yang anda sandang hendaknya tidak lancang memberi instruksi kepada petugas di lapangan, tanpa sepenegtahuan atau di luar koordinasi dengan pimpinan daerah, khususnya pimpinan penanggulangan bencana. Sebab hal itu tidak hanya dapat membahayakan diri sendiri, tapi juga mengangcam keselamatan umum. Bahkan seyogyanya tidak perlu turun ke lapangan, jika tidak ada sesuatu yang urgen dengan kehadiran saudara.
Bagi pengelola instalasi vital, seperti listri, jalan, saluran air, distribusi bahan kebutuhan pokok, pelabuhan, bandara, rumah sakit dan sebagainya, hendaknya segala tindakan yang dilakukan dikoordinasikan terlebih dahulu dengan pimpinan daerah terutama pimpinan operasi penanggulangan bencana. Sebab pada saat terjadi kondisi darurat, pimpinan pemerintah daerah memiliki kewenangan yang dijamin oleh undang-undang untuk mengatur dan mengendalikan pengoperasian instalasi vital.
PAULUS LONDO, Ketua LS2LP/SUAR
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H