Indonesia merupakan negara multikultural yang terdiri dari pelbagai suku dan budaya. Hal ini menyebabkan perbedaan menjadi hal yang lumrah di tengah-tengah masyarakat.Â
Beragamnya kebudayaan ini tentunya menciptakan karakteristik atau kekhasan masyarakat di daerahnya masing-masing. Karakteristik ini pada akhirnya membentuk cara pandang dan perilaku masyarakat yang berbeda-beda pula.Â
Wilayah Indonesia yang terbentang luas baik secara geografis maupun geologis dengan jumlah penduduk yang besar pula, menjadi bukti bahwa Indonesia terlahir sebagai bangsa yang hidup dalam kemajemukkan.Â
Perbedaan ini, tak ayal menimbulkan beberapa gesekan di masyarakat. Adanya sikap primordialisme menyebabkan timbulnya dominasi kelompok di dalam tatanan masyarakat.Â
Sikap ini akan berakibat pada terkikisnya jiwa nasionalisme yang ada didalam diri setiap bangsa. Ditambah lagi dengan adanya kesenjangan sosial, kemiskinan, serta tingkat pendidikan yang belum merata, menyebabkan sikap-sikap ini nantinya akan berujung pada terjadinya diskriminasi baik ras maupun etnis.
Dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 I ayat 2, yang berbunyi " Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu". Negara telah menjamin setiap warganya untuk terbebas dari perlakuan diskriminatif dalam bentuk apa pun dan wajib dilindungi dari perlakuan tersebut. Namun, dalam prakteknya masih dijumpai beberapa kasus berupa perlakuan diskriminatif di Indonesia.
 Hal ini tentunya tidak sejalan dengan prinsip yang terdapat dalam Hak Asasi Manusia, dimana prinsip kesetaraan dan anti diskriminasi menjadi tuntutan yang harus ditegakkan. Setiap orang berhak mendapatkan kebebasan dan kesetaraan, terlepas dari perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, dan lain sebagainya.
Beberapa kasus diskriminasi ras dan etnis pernah terjadi di Indonesia, salah satunya terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya tiga tahun silam.Â
Siput Lokasari, salah satu penduduk berketurunan Tionghoa, ia memiliki tanah seluas 1.000 m2 yang dibeli istrinya di daerah Kulon Progo sekitar beberapa tahun yang lalu. Saat hendak mengubah hak kepemilikan tanah ini menjadi namanya, Siput mendapatkan penolakan.Â
Penolakan ini disebabkan karena istrinya merupakan keturunan Tionghoa (China) atau warga non pribumi. Siput tidak lantas diam, ia dibantu oleh Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berupaya menuntut dan mempertanyakan haknya.Â
Komnas HAM sendiri memberikan rekomendasi kepada Gubernur Yogyakarta untuk mencabut kebijakan yang disebut 'diskriminatif' itu. Upaya yang dilakukannya tak berhenti disitu, ia lalu menghubungi Sultan Hamengkubuwono X untuk menanyakan tentang hak kepemilikan tanah di kota kelahirannya, yang ia anggap diskriminatif.