Mohon tunggu...
lensa unmuha
lensa unmuha Mohon Tunggu... -

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Aceh, produk yang dikeluarkan setiap bulan bernama Tabloid Lensa. LPM Lensa Unmuha Konsen terhadap issue-issue hak-hak dasar masyarakat kampus serta masyarakat luas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tangan Bengis Sang Penguasa

12 Oktober 2010   19:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:28 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Oleh : INAS OOS
“Maling……maling…….maling” teriak para singa-singa lapar dengan taringnya. “Pukul…..pukul…..pukul terus……….jangan kasih ampun”. Dua, tiga, bahkan puluhan para singa-singa lapar mencabik, mengoyak, menerkam tubuh kecil itu. Begitu rakus tanpa perasaan iba sedikitpun mereka melakukan penyiksaan, pembantaian terhadap sikecil. Sikecil hanya bisa menahan, merasakan tanpa mengeluarkan suara, bisu dan diam. Sedih, sebuah pemandangan yang sangat memilukan hati, namun ini kerap terjadi di ibu kota. Dan mungkin karna seringnya sehingga orang-orang yang melihat hanya lewat seakan tak terjadi sesuatu. Atau mungkin hati dan perasaan kemanusiaan yang telah lenyap dihati setiap manusia diibu kota

Si kecil tetap senyum dan mencoba bangkit untuk melihat apakah masih tersisa sesuatu yang diambilnya tanpa izin siempunya, setelah semua singa-singa pergi. Tetapi jangankan untuk bangkit mengerakan tangan dan kakinya saja dia sangat susah. “ ibu, ayah apakah dosa yang telah kuperbuat…!!?? jerit hati sikecil sebelum semuanya menjadi gelap.
Langit seakan mendengar tangisan hati sikecil, yang begitu memilukan. Perlahan langit yang cerah meredup menutupi matahari yang sedang menepati janjinya. Kilat dan petir saling meneriaki alam fana yang sudah sangat tua agar bangun dari tidur panjang, menyadarkan manusia-manusia yang telah lupa kemana akan pulang.

Hujan, ya hujanlah yang menyadarkan sikecil, setelah tidur selama 3 jam. Tanpa ragu dia bangkit dan akan melangkahkan kakinya, tetapi sikecil roboh mencoba bangkit lagi, tetapi dia takmampu. Dia hanya mampu menyeret tubuh mungilnya ketempat yang sedikit kering.

“ Ya ALLAH, begitu besarkah dosa yang aku lakukan sehingga semua cobaan ini terjadi padaku” jeritnya dalam hati. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang telah dia jalani selama ini. Dia adalah HUSAINI anak tunggal dari pasangan Abdul Manaf dan Siti Aisah. Lahir di Samalanga tepatnya didesa Lamjurong Kabupaten Sigli, D.I.Aceh. Ayah dan ibunya hanya seorang petani yang sehari-hari pergi kesawah bercocok tanam untuk mencari sesuap nasi. Dia sendiri setelah pulang sekolah dasar (kelas 3) pergi mengikuti jejak sang Abu (ayah) dan Umi (ibu) pergi kesawah untuk membantu.

Sangat riang bermandikan keringat dan lumpur. Setelah sore menyelimuti alam mereka segera pulang keistana peristirahatan untuk melepaskan penat setelah seharian kerja. Selepas magrib Husaini dan teman-teman sekampung pergi menuju rumah Teungku untuk mengaji. Hanya itu yang dia ingat sampai suatu malam datang sekelompok serdadu ia tidak tau dari kelompok mana, dengan senjata lengkap ketika ia sedang tidur terlibat pembicaraan serius dengan Abu. Umi yang disebelahnya tidur juga terbangun dan ikut berbicara dengan para serdadu. “ bek neba lako lon pak” (jangan bawa suami saya pak) terdengar suara umi menangis.

“ lako lon hana salah kamoe ureng bangai hana tepu sapue pak” (suami saya tidak bersalah pak kami orang bodoh tidak tau apa-apa) suara tangisan umi semakin keras. Selanjutnya terdengar salah seorang serdadu marah dan mengeluarkan kata-kata kotor. Umi masih menangis dan memohon agar Abu jangan dibawa, terdengar suara keras seperti benturan. Husaini segera lari menyusul Abu dan Uminya. Dan tepat dimatanya terlihat sebuah laras senjata menyalak menghantam tubuh Umi yang menarik seorang serdadu. Umi rubuh bersimbah darah dan segera ditangkap oleh Abu, terlihat jelas darah segar mengalir dari perut Umi. Abu terlihat sangat marah, belum pernah husaini melihat Abu begitu marah dan memukul serdadu yang menembak Umi, tetapi serdadu yang lain melepaskan timah panas dari laras senjata yang sedari tadi mengarah keAbu. Setelah itu Husaini tidak ingat apa-apa lagi.

Setelah sadar Husaini berada diruangan yang serba putih dan orang-orang yang tidak ia kenal bahkan tidak pernah ia lihat sekalipun dikampungnya. Jakarta kata orang, ya husaini telah ada di jakarta. Bagaimana, kenapa dan beribu pertanyaan masih ada dalam benak kepalanya tapi setiap orang yang ia tanya hanya menggeleng. Dan yang terakhir ia ingat ia selalu tidur beralas bumi berselimut langit. Bersama teman-teman barunya dan orang bilang bahwa ia dan teman-temannya adalah gelandangan, sampahnya ibu kota, anak kolong jembatan, pengemis, gembel dan masih banyak lagi sebutan untuk ia.

Dan tadi siang, dia terpaksa mencuri dua potong roti untuk mengisi perutnya yang sudah beberapa hari tidak diisi, hanya roti. Pesan umi masih sangat ia ingat “ aneuk mentuah, bek cemeucu, beut nyan dosa rayeuk” ( anakku jangan mencuri itu perbuatan dosa besar), tapi ia begitu lapar dan tidak punya uang. Dan akhirnya puluhan orang mengejar dan memukul, meninju, menendang, meludahi, mengumpat serta memukulnya dengan senjata tajam.

Dalam ingatannya dan pandangan yang mulai pudar terlihat cahaya yang sangat terang diantara gerimis, terlihat dua sosok putih menghampirinya, semangkin dekat, dekat dan terus mendekat. Husaini sangat takut, takut kalau-kalau orang-orang yang memukulnya datang kembali. Namun,…….Abu dan Uminyalah yang datang menghampiri. Ia sangat senang ternyata doanya selama ini dikabulkan untuk berjumpa Abu dan Umi. “ Abu, Umi” desahnya perlahan dia akan bangkit untuk memeluk Abu dan Umi tapi ia tidak mampu untuk bangkit. Antara senang ia juga sangat takut, takut kalau umi akan memarahinya karna telah mencuri. Perlahan Abu dan Umi memapahnya untuk berdiri. Husaini heran mengapa Abu dan Umi hanya diam, walau wajah mereka tersenyum tetapi dia tetap sangat ketakutan.

Dia bertanya-tanya apakah begitu besar dosanya. “ umi, abu marahkah kepada saini yang tak mendengar nasehat umi” bertanya Husaini kepada kedua orang tuanya. Bisu, hanya membisu jawaban yang didapat.” Umi, abu begitu berdosakah aku” tetap sama yang didapat, hanya bisu.”Lebih berdosakah aku dari pada para koruptor yang telah merampok uang masyarakat miskin, lebih berdosakah aku dari para pemerkosa rakyat yang tidak mampu membeli beras untuk anaknya, lebih hinakah aku dari pejabat yang meraup kekayaan dari hak yatim piatu, lebih hinakah aku dari para penjilat-penjilat untuk perut gendutnya, lebih hinakah aku dari sarjana yang dengan bangga bersedia membayar puluhan juta untuk sekedar kata PNS, lebih terkutukkah aku dari peminum darah janda-janda tua hanya untuk menyenangkan hidup duniawinya, jawablah pertanyaan ku Abu, Umi ” kembali bertanyaan saini yang ia sendiri tidak tau dari mana munculnya pertanyaan itu. Terlihat Umi tersenyum” Aneuk lon mentuah, umi tidak marah dengan mu, umi hanya takut kau dendam dengan mereka” senyum umi dengan tulus. ”Dendamkah engkau dengan mereka saini, sakit hatikah kau dengan mereka-mereka yang menjagamu ” Abu dengan ramah bertanya. Lega hati husaini “ tidak Abu Umi, sedikitpun tidak terbersit perasaan dendam”. Tersenyumlah mereka, Abu dan Umi memeluk mencium membelai wajah lusuh saini, wajah yang penuh dengan derita.” Aneuk lon mentuah umi ngeun abu lake meuah hana nuejaga droee, jino tanyo kajeut neu woe” (anak ku tersayang abu dan umi minta maaf karna tidak menjaga mu dengan baik, sekarang maukah kamu pulang bersama abu dan umi ) bertanya abu kepada husaini. Husaini yang sedari tadi takut karena telah mencuri tersenyum riang ia sangat gembira karena akan kembali berkumpul dengan keluarganya. Mereka bertiga akhirnya pergi menuju cahaya terang, sangat terang dan akhirnya hilang.

Hujan mereda, langit cerah kembali, dan sang matahari kembali menunaikan janjinya kepada manusia. Jasad munggil itu tersenyum begitu manis walau kaku, diam tanpa baju dan ada darah mengering dikening, hidung, mulut dan kepalanya. Husaini hanya seorang anak dari sekian anak yang lepas dari tangan sang penguasa, ia telah bebas. Ternyata desingan peluru bukan hanya di Nanggroe Aceh Darussalam, tetapi juga ada diseluruh negri ku. Negri ku, ya negri yang subur oleh darah, keringat, air mata para kaum tertindas. Negri yang dipimpin oleh sang penguasa sadis. Negri yang belum merdeka bagi mereka WONG CILIK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun