Mohon tunggu...
lensa unmuha
lensa unmuha Mohon Tunggu... -

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Aceh, produk yang dikeluarkan setiap bulan bernama Tabloid Lensa. LPM Lensa Unmuha Konsen terhadap issue-issue hak-hak dasar masyarakat kampus serta masyarakat luas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Janda di Kampung Konflik

3 Maret 2010   06:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:38 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_85264" align="alignleft" width="300" caption="Rumah yang bertahan dari hantaman tsunami Aceh (Shutterstock)"][/caption]

Rumah kecil berdinding kayu tanpa cat bertapak di sepetak tanah ukuran seperempat lapangan sepak bola. Atapnya terbuat dari anyaman daun rumbia, bagian depan terdapat jendela tanpa gorden. Hanya beberapa pot bunga dari kaleng bekas menghiasi teras.

Bagian dalam. Dinding di lapisi kertas semen, karpet kotak-kotak biru dan abu-abu disana-sini robek. Rumah itu terdapat dua kamar, pintunya ditutupi kain merah hati, sangat kontras dengan warna dindingnya. Di sudut kiri terdapat satu buah televesi yang tak hidup lagi. Di sampingnya, satu buah kilang jahit juga sudah lama rusak, dan beberapa buku bacaan berserakan di bawahnya.

“Apa yang kamu lihat sangat berserakan,” seorang perempuan keluar dari pintu belakang.

Armiah, 48 tahun pemilik rumah itu. Sejak lahir ia sudah tinggal di Desa Munyee Lhee, Kecamatan Nibong, Kabupaten Aceh Utara. Namun, setelah suaminya meninggal karena dibunuh oleh kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tepatnya tanggal 15 Agustus 2002 lalu. Armiah terpaksa menjalani sisa hidup bersama ke tujuh anaknya. Anaknya nomor satu dan dua sudah menikah, dan sekarang tinggal jauh darinya. Sisanya tinggal bersama, empat diantaranya masih sekolah.

Capek pergi ke sawah. Luasnya pun cuma dua petak, baru saja siap ditanam,” ujarnya mempersilahkan aku duduk. Garis-garis diwajahnya menjelaskan kalau ia tertalu lelah. Sawahnya memang sudah siap. Tapi bukan berarti ia bisa berdiam diri di rumah. Banyak pekerjaan yang ia lakukan sendiri. Pagi-pagi sekali ia bergelut dengan cucian, tangannya belum kering ia bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan siang untuk keluarganya. Selalu begitu.

***

Pagi sekali. Seakan berlomba dengan fajar. Syamsyiah, 55 tahun bangkit. Setelah shalat subuh, ia menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Kemudian begegas bersiap-siap ke sawah yang letaknya 1 kilometer dari Desa Menyee Lhee tempat ia tinggal.

“Uroe nyoe lon jak tueng tu upah bak umoeng gob,” (hari ini saya bekerja di sawah orang sebagai buruh) ujar perempuan yang tak menamatkan sekolah dasar ini.

Bekerja sebagai buruh di sawah, setengah hari diupah Rp.20 ribu. Uang itu ia gunakan untuk membeli lauk dan jajan anaknya sekolah. Tak ada pilihan lain. Itu adalah pekerjaan yang paling mudah didapatkan. Syamsyiah memiliki dua petak sawah dan satu bidang kebun yang ditanami coklat.

“Sudah dua bulan tidak berbuah. Apalagi setelah hujan lebat bulan lalu,” kisahnya. Kemudian ia minta permisi karna harus ke sawah.

Biasanya dari hasil penjualan biji coklat, kebutuhan sehari-hari bisa ia penuhi.

Malamnya, aku kembali bertandang ke rumahnya. Sangat sederhana, rumah semi permanen yang baru saja direhap belum sepenuhnya siap. Jendela masih dipalang dengan papan bekas. Loteng di tutupi dengan plastik biru yang biasa dipakai untuk tenda. Dinding tidak dicat. Satu buah foto, ia bersama anaknya digantung dalam bingkai kaca.

“Kalau malam saya sakit. Bagaimana tidak, seharian capek kerja di sawah,” ia tampak sangat lelah. Dibetulkan tempat duduk. Padahal dulu ia pernah ingin berhenti sebagai petani. Sawah dua petak itu ingin diupah pada orang lain. Tapi, keinginan itu tak pernah sampai. Karena tak punya uang, terpaksa ia mengerjakan sendiri.

Sawahnya belum panen. Tapi hutang sudah menunggu. “Pupuk saja harus ngutang sama toke Pan (nama orang). Bayarnya setelah panen, 40 Kilogram padi,” ujarnya hampir tak terdengar. Padahal kalau punya uang, hanya Rp 80 ribu pupuk sudah dapat dibeli. Harga padi Rp 3 ribu perkilogram, berarti ia harus membayar Rp.120 ribu. Mau tidak mau, harus diambil.

Sejak suaminya meninggal, setelah diculik oleh orang yang mengaku bagian dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ia mengganti posisi sebagai nakhoda dalam keluarga, banyak pekerjaan berat harus ia pikul. Menghidupkan ke tujuh anaknya bukan pekerjaan mudah. Apalagi pada masa konflik. Berkat kerja keras tanpa mengenal lelah anaknya kini sudah ada yang menjadi sarjana. Bahkan duanya lagi, sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi di Banda Aceh. Si bungsu kini duduk dibangku kelas 4 SD, dan kakaknya baru saja mengikuti Ujian Nasional.

Tak pernah terbayang sebelumnya. Anak-anak begitu yakin dalam menuntut ilmu. Padahal saat suaminya meninggal, mereka sempat putus sekolah. Ia mengisahkan.

Sabtu, 10 Juli 1999 matahari beranjak siang. Syamsyiah sibuk di dapur. Tiba-tiba suaminya pulang dan menyerahkan sejumlah uang, hasil gajian sebagai pesuruh di sekolah dasar.

“Uang ini kamu gunakan untuk membayar utang,” ia mengulang apa yang diucapkan suaminya. Kemuadian suaminya keluar, katanya mau minum kopi.

Tak ada firasat apa-apa. Ia masih konsentrasi dengan masakannya, wajahnya ceria mengingat sudah ada uang untuk membayar utang. Sementara dijalan, 500 meter dari rumah. Sebuah mobil jenis tafp warna gelap berhenti tepat di depan suaminya yang sedang berjalan.

Tiba-tiba. Empat lelaki tegap turun, memaksa suaminya naik ke mobil. Suaminya melawan. Tapi apa daya, badannya yang kecil tak mampu mengalahkan empat lelaki itu. Suaminya dilempar ke mobil. Sekejap meluncur kencang meninggalkan duka bagi Syamsyiah. Suaminya diculik.

Dua hari kemudian, suaminya baru didapati. Tapi, dalam keadaan tak bernyawa. Ia hanya bisa menangis, dan berdoa pada Allah agar diberikan keadilan serta kekuatan untuk menjalani sisa-sisa hidup bersama buah hatinya.

Srimayuliza, anaknya paling kecil bahkan tak sempat melihat wajah ayahnya. Saat suaminya meninggal Srimayuliza baru berumur tujuh bulan.

***

Itu hanya kenangan. Armiah dan Syamsyiah sudah merelakan, tapi bukan melupakan.

“Kami tak punya dendam, itu semua takdir Allah,” ujar Armiah tegar. “Besar sebab daripada mati. Malaikat saja, tidak mau mencabut nyawa apabila tak ada sebab.”

Perdamaian antara GAM dan RI, pada 15 Agustus 2005, mereka sambut bahagia. Bukan karena ada bantuan dana diyat bagi perempuan yang suaminya meninggal karena konflik. Tapi, karena rasa aman yang telah lama mereka impikan. Tak ada lagi suara tembakan. Saat Aceh berstatus Darurat Sipil (DS), satu Minggu sekali di Desa Menyee Lhee ada kontak senjata. Bahkan, di samping rumah Syamsyiah, aparat mendirikan pos.

Setelah damai. Pada Februari 2006, pemerintah mendirikan Badan Reintegrasi Aceh (BRA), tugasnya adalah memberi dukungan sosial bagi masyarakat yang terimbas konflik. Bagi mantan GAM diberikan bantuan dana pemberdayaan ekonomi. Juga bagi mantan tahanan politk/narapidana politik. Rumah yang pernah dibakar juga dibangun kembali.

Dana diyat sebesar 3 juta yang diberikan BRA, mereka sudah mendapatkan 3 kali. Yaitu pada tahun 2003, 2005 dan 2007. sedangkan untuk 2008 belum mereka terima. “jatah tahun ini, diberikan pada tahun berikutnya. Jatah 2008 akan diberikan pada 2009,” Armiah menjelaskan.

Penerimaan pertama tahun 2003, uang mereka dipotong oleh pejabat di Kantor Kecamatan sebesar Rp.500 ribu Sekarang tetap juga dipotong, masing-masing Rp.150 ribu ongkos urus, Rp.50 ribu untuk Kepala Desa dan Rp. 100 ribu untuk Sekretaris Desa.

Selain itu, bantuan beasiswa dari BRA khusus bagi anak korban konflik sudah diterima oleh ke empat anaknya, masing-masing Rp.1800.000 pada tahun 2008, untuk tahun 2009 masih dalam proses.

“kalau bantuan lain belum ada,” ujarnya singkat.

Selama ini Armiah mengakui ada beberapa kali, orang datang meminta nama anaknya, foto copy KTP dan kartu keluarga, katanya untuk mengurus bantuan korban konflik. Nyatanya nihil, ia ditipu.

“padum goe supoet dicok nan aneuk yatim. Tapi peng jipajoh keudroe,” (saban hari nama anak yatim dicatut. Tapi, uangnya dimakan sendiri) Armiah menyesal pernah memberikan data-data tersebut.

Pernah juga ia merasa tidak diberlakukan secara adil oleh oleh mantan panglima sagoe GAM di kampungnya. Pasalnya, anak korban konflik yang ayahnya ditembak oleh aparat tiap bulannya mendapat uang dari mereka. Pernah sekali ia mendatangi ketempat mereka. “hai tengku, kenapa anak saya tidak mendapatkan uang bulanan dari GAM?” tanya Armiah saat itu. “apakah karena ayah anak saya (suaminya) dibunuh oleh GAM?” Dan tau jawaban apa yang didapat. “Ya. Kira-kira begitulah.”.

Setidaknya jawaban itu membuat hatinya lega. Pasalnya, selama ini ia tak pernah terbuka, siapa sebenarnya yang membunuh suaminya. Lagipula ia tak pernah membedakan, mati karena GAM atau aparat.

“manusia boleh membedakan, di depan tuhan semua sama. Anak yatim semua disayang. Kita tidak boleh bersedih,” suaranya terbata-taba.

“Tidak diberikan oleh mereka (GAM), kita tetap tidak lapar.”

Lain dengan Syamsyiah. Anaknya tidak termasuk dalam daftar penerimaan beasiswa untuk anak korban konflik. Hanya anaknya satu orang. “Sekdes bilang namanya ada diisi, mungkin di kantor BRA yang lupa,” ujar Syamsyiah mengulang apa yang dikatakan Sekretaris Desa. Anehnya, cucu Sekdes yang notabene bukan anak korban konflik masuk dalam daftar penerimaan. Syamsyiah tak pernah memprotes.

“saya tidak mau ribut-ribut,” katanya pasrah. Ia hanya berharap kedepan anaknya bisa dimasukkan.

Sepertinya harapan Syamsyiah akan segera terwujud. Ketua BRA Aceh Utara, Nurdin M.Yasin,S.Ag mengatakan pada tahun 2009, pihaknya akan menyalurkan beasiswa bagi anak yatim/piatu korban konflik Rp. 1800.000/anak pertahun sebanyak 3100 orang, di 27 Kecamatan yang ada di Aceh Utara.

“jumlah dana tersebut sangatlah minim di dapatkan mereka, seharusnya pihak pemerintah dapat memberikan bantuan beasiswa tersebut dua kali dalam setahun, apakah dana itu di poskan baik itu melalui BRA, Sosial atau lembaga lainnya yang penting pemerintah dapat prioritaskan program ini sebagai jangka panjang dan Mudah-mudahan kedepannya dapat terealisasikan,” ujarnya penuh harap.

Selain Beasiswa pendidikan anak yatim, pihak BRA Aceh Utara juga pada tahun 2009 ini akan berkomitmen merealisasikan bantuan dana  untuk 2500 Unit rumah dan Pemberdayaan Ekonomi untuk  korban Konflik yang berada di wilayah Kabupaten Aceh Utara. Sehingga tidak ada terdengar lagi yang tidak menerima bantuan dana untuk korban konflik

Sedangkan dana diyat, pada tahun 2008 BRA Aceh Utara sudah menyalurkan kepada janda korban konflik sebanyak 6 ribu jiwa. Pada tahun 2009 pihaknya tetap akan melanjutkan.

Bagi Nurdin yang terpenting pasca perdamaian pemerintah harus benar-benar memperhatikan pendidikan bagi korban konflik. Apabila tidak, dikhawatirkan akan timbul dendam dalam diri anak yang ditinggal ayah, meninggal karena konflik.

Pengamat Politik Aceh, Zulfikar Abdullah yang pernah aktif di Inter Peace menilai, pemerintah dalam hal ini BRA sudah bekerja maksimal. Terlepas masih ada satu dua korban yang belum mendapat bantuan.

“ini adalah proses. Menjalankan reintegrasi tidak semudah membalikkan telapak tangan,” ujar lelaki yang biasa di sapa Zul awal Mei lalu saat ditemui di Hotel The Pade.

Pembentukan BRA berpedoman pada Inpres No 15 tahun 2005, merupakan usaha Pemerintah untuk pemberdayaan ekonomi mantan GAM dan korban konflik.

Menurutnya saat ini, BRA sedang dalam tahap memperbaiki infrastruktur. Belum menyentuh kepada pananganan traumatik yang dialami koran saat konflik. Namun, Zulfikar tetap memberi aplus bagi kinerja Nur Djuli dkk dalam menangani korban konflik.

***

Konflik memang sudah usai. Tapi, perjuangan belum berhenti. Harapan Armiah dan Syamsyiah hanya satu. Melanjutkan pendidikan anak-anaknya sampai ke jenjang tertinggi.

“ka tanyoe bangai, bek lah aneuk,” Armiah tersenyum lebar.

***

*

Oleh : Zulkarnaini Masry, pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Aceh

Tulisan ini mendapat juara II di lomba peliputan jurnalisme damai diadakan oleh Katahati Institute, 2009. http://zulmasry.co.cc

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun