Mohon tunggu...
lensa unmuha
lensa unmuha Mohon Tunggu... -

Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Aceh, produk yang dikeluarkan setiap bulan bernama Tabloid Lensa. LPM Lensa Unmuha Konsen terhadap issue-issue hak-hak dasar masyarakat kampus serta masyarakat luas.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Budaya yang dilupakan seiring Hilangnya Syari’at

17 Februari 2011   08:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:31 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aceh adalah bumi Serambi Mekkah yang berbudaya islami dengan keanekaragaman dan kehidupan pemandangan alam juga tempat-tempat peninggalan sejarah membuat Aceh semakin bercitrakan sebagai Tanah Pejuang tonggak berdirinya islami di Indonesia.

Semula terlihat semua slogan, himbauan, dan ajakan bersyari’at di segala bidang yang tertulis dan terpampang di pinggir jalan. Lalu berjejer dengan indah di masjid-masjid dan mushalla di setiap sudut kota. Bahkan, pelosok desa dengan Masjid Raya Baiturrahman sebagai simbol kebesaran kebudayaan Islam di Aceh. Namun, seiring berjalannya waktu, kondisi bertentangan begitu menusuk dan menyesakkan hati ketika melihat slogan “Jauhi Khalwat” tetapi justru pemandangan nyata berkata lain. Muda-mudi dengan setiap pasangan yang bukan muhrimnya asyik berduaan bercengkrama tanpa etika, malu, apalagi risih untuk mempertontonkan kemesraan di depan khalayak.

Bak aktor dan aktris Hollywood di film-film layar lebar tak bermoral. Begitupun dengan slogan yang tak asing lagi. “Budayakan Syari’at Islam”. Namun, secara nyata terlalu banyak kaum wanita yang melepaskan jilbab tanpa takut apalagi malu. Padahal jilbab adalah lambang sekaligus pembeda antara wanita muslim dan wanita kafir, juga harga diri keislaman seseorang. Belum lagi keramahan dan etika sopan santun pemuda-pemudi Aceh yang terkikis sedikit demi sedikit.

Lalu, bagaimana warisan luhur budaya Aceh buah tangan dari para pendahulu akan terjaga apalagi berkembang? Lantas bagaimana para wisatawan kan tertarik berkunjung ke Aceh jika budaya asli (Jalaeeh, Rapa’i, Didong (Aceh Tengah), Balas Pantun (Tamiang), dan lain-lain) tak menampakkan diri?.

Tindakan awal agar “Aceh tidak menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri”. Seperti yang kita lihat di beberapa pintu masuk yang bertuliskan WELCOME.

Seperti, “Pemuda Harapan Bangsa” itu sebaris kalimat yang terdengar tak asing lagi. Namun, apa yang bisa diharap lagi jika keadaan pemuda masa kini lebih mencintai kemodernan yang cenderung lebih kebarat-baratan dan mengarah kepada kebebasan sehingga melupakan adat tradisi yang mereka anggap sebagai ”kuno”.

Disamping itu kita sering mendengarkan slogan pelestarian budaya. Bahkan, karena keseringan itu, sebagian kita absen dalam melihat definisi dari budaya dan elemen-elemen dari budaya itu sendiri, termasuk dalam hal penglebelanbahwa ganja adalah budaya masyarakat Aceh. Kesalahkaprahan inipun sering terjadi karena mereka menganggap kebiasaan adalah budaya atau budaya sama dengan budaya.Padahal pada dasarnya kebiasaan dari perilaku adalah bagian kecil dari kebudayaan, sehingga masalah seperti ini yang menjadikan salah penempatan dalam menganalisa antara budaya, adat, tradisi serta hukum.

Kalau kita telusuri lebih jauh, dan kapasitas kultur ke-Aceh-an, yang terlintas adalah bentuk atau ornamen-ornamen dari kumpulan tradisi, kebiasaan, seni dan gambaran perilaku atau watak serta sudut pandang dari masyarakat Aceh.

Elemen-elemen yang penting dalam suatu budaya adalah adat istiadat. Adat istiadat adalah kebiasaan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai hasil paduan, cipta dan karsa dari satu masyarakat. Kasarnya, budaya lahir sekaligus dengan lahirnya peradaban manusia.

Dari pengertian di atas, baik secara umum tentang budaya atau unsur dari budaya, jelas bahwa sebagai perilaku masyarakat yang tidak berbau ritual maupun ceremonial tidak bisa disamakan dengan adat dan budaya karena adat dalam filosofi masyarakat Aceh berada pada urutan kedua setelah hukum. Seperti yang tertuang dalam hadist maja ”Adat ngoen Hukoem Lagei Zat ngoen Sipeut” yang selanjutnya diimplementasikan dalam masyarakat harus sesuai dengan hukum artinya adat atau tradisi yang diterapkan oleh masyarakat mempunyai dasar dan legalitas dari hukum. Pertanyaannya, benarkah ganja budaya masyarakat Aceh?.

Kita bangsaAceh yang bisa menjawab secara bersama. Mau dibawa kemana generasi muda Aceh? Bermain dalam teknologikah atau mengikat diri dengan asap ganja, atau membunuh waktu luang dengan pacaran?.

Semua aspek harus saling mendukung dan bekerja sama memecahkan masalah ini dengan berbagai solusi. Menurut saya, tindakan sebagai pacuan awal itu dengan “3P” (Penyadaran, Pengembangan, dan Pemberdayaan).

1.Penyadaran

Perbaikan awal yakni dengan penyadaran. Untuk membangun kesadaran pemuda-pemudi akan nilai luhur suatu adat, tradisi dan budaya haruslah dimulai dari keluarga. Orang tua menjadi pelaku penting bagi terbentuknya pola pikir dan sudut pandang awal seorang anak. Ini bisa dilakukan dengan cara membiasakan dan mengarahkan anak untuk melakukan hal-hal atau kegiatan sehari-hari di rumah dengan mengedepankan norma agama, etika, dan tradisi luhur budaya Aceh.

Kemudian yang tak kalah penting adalah lingkungan kedua yakni sekolah. Di sekolah peran guru selaku pendidik juga sangat mendukung tumbuh kembang anak dalam membangun karakter. Tentulah pendidikan yang diberikan tak luput dari pengenalan pemahaman hingga mengaplikasikan konsep agama, moral dan budaya kepada seluruh siswa. Ini bisa dijalankan dengan mengimbangi serta memasukkan unsur-unsur agama, etika, dan adat budaya dalam setiap pelajaran yang mereka ajarkan di kelas-kelas.

Unsur selanjutnya yang juga menjadi bagian dari faktor pendukung sekaligus penentu keberlangsungan nilai-nilai syari’at dan budaya Aceh ialah pemerintah. Pemerintah haruslah mengedepankan unsur syari’at islam diatas segala unsur, karena jika pemerintah lembek dan terkesan tidak serius menjalankan hukum syari’at maka sudah barang pasti seluruh rakyat dan masyarakat kian mengabaikan dan tak peduli pada hukum yang hakiki. Dan apabila syari’at sudah tak membumbung mengangkasa di bumi Aceh ini, maka jangan diharap citra islami dalam segala aspek budaya dan kehidupan di Aceh kan dikenang dan dihargai oleh pengunjung bahkan rakyatnya sendiri khususnya para pemuda.

2.Pengembangan

Kita bisa melihat pemerintah Aceh khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sedang gencar-gencarnya menggalakkan ”Visit Aceh Year” setiap tahunnya. Namun, jika kondisi dan keadaan yang seperti ini, mana mungkin pengunjung akan tertarik. Kita ambil contoh Mesjid Raya Baiturrahman. Di sana merupakan salah satu aset peninggalan sejarah yang berharga. Namun, yang disayangkan itu hanyalah berbentuk bangunan yang berdiri indah tanpa ada aspek yang mendukung untuk berwisata. Seharusnya kita bisa mengembangkan dengan memadukan tradisi dan kemodernan untuk membangun infrastruktur yang di dalamnya terdapat alat-alat canggih sebagai alat pemberi informasi mengenai sejarah Aceh atau sejarah Baiturrahman itu sendiri dengan menggunakan audio visual agar pengunjung lebih tertarik. Karena di era sekarang, audio visual merupakan salah satu alat yang digunakan di segala bidang khususnya pendidikan agar lebih memacu cipta, rasa dan karsa manusia. Masih banyak cara lain untuk menarik minat para wisatawan dan rakyat Aceh sendiri untuk mencintai adat, tradisi, sejarah dan budaya Aceh. Yang terpenting adalah bagaimana kita mampu mengerahkan tenaga dan pikiran untuk menciptakan sesuatu yang baru dalam pengembangan budaya ini. Bukannya dengan memasang umbul-umbul atau iklan apalagi balon raksasa yang merupakan media iklan dari beberapa perusahaan yang sedang melakukan promosi, jangan ekonomi mesjid menjadi pembenarannya.

3.Pemberdayaan

Setelah masyarakat Aceh dan pemuda khususnya telah tersadar dari tidur yang melenakan dalam budaya kebarat-baratan dan bertekad dalam mengembangkan budaya luhur warisan berharga para pendahulu, maka saatnya untuk memberdayakan sumber daya manuisa Aceh sebagai pelaku penting yang menjalankan roda kehidupan. Para pemuda-pemudi dikenal dengan konsep Islam yang mumpuni sebagai bekal awal dalam membentengi arus barat yang sangat kuat. Lalu mereka diarahkan pada kegiatan-kegiatan pengembangan budaya dengan cara diikutsertakan dalam program-program pemerintah Aceh untuk mengembangkan budaya Aceh ini. Karena pada dasarnya jiwa pemuda-pemudi adalah ingin dihargai dan diakui sebagai aset penting dalam penyumbangan aspirasi.

Selain itu kita juga harus mengeksplorasi para orang tua-tua gampoeng yang sudah hafal betul hukum adat dan budaya Aceh untuk mensosialisasikan aspek ke dalam roda kehidupan di Aceh ini. Mereka harus diakui keberadaannya sebagai sebuah aset berharga dalam pelestarian adat dan budaya. Dan hal yang paling penting setelah ilmu budaya dan ilmu pengetahuan bergabung, maka kita tidak boleh melupakan para ulama selaku penuntun dan pembimbing dalam bersyari’at.

Setelah seluruh potensi dan para pelaku budaya dikembangkan, maka kita bisa mempadu-padankan antara pemuda sebagai promotor dan pencetus aspirasi dengan para pemegang hukum adat sebagai guru besar penentu kebijakan syari’at yang Al-quran dan sunnah.

Dengan demikian kita semua berharap Aceh mampu kembali dalam kejayaan karena sejarah para pejuang yang hebat, budaya yang terlestarikan, dan landasan agama yang dikedepankan. Pesan kami: ”Meu Budaya ngoen Ilme bek tuwoe ke Adab”

Tulisan ini merupakan karya tulis yang diikutsertakan dalam lomba debat budaya yang diadakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) pada tanggal 19 Oktober 2010. Lomba debat budaya tersebut diikuti oleh Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry (IAIN Ar-Raniry), Universitas Al-Washliah, dan Universitas Serambi Mekah (USM). Unmuha berhasil meraih juara satu, diikuti oleh Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry sebagai juara dua dan tiga. Dari Unmuha diwakili oleh Yulizar Kasma, Cut Zahara Mutia, dan Irman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun