Kuantitas (Guru) Membengkak, Kualitas Merangkak?
Oleh;
Abdullah Abdul Muthaleb
Alumni Fakultas Ekonomi Unsyiah,
kini sebagai Manager Program dan Operasional Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh
Pembangunan sektor pendidikan di Aceh menjadi salah satu sektor yang mendapatkan prioritas dari Pemerintah Aceh, baik dari sisi kebijakan (policy) maupun alokasi anggaran (budget) yang digelontorkan setiap tahunnya. Di sisi lain, sektor ini pun seringkali mendapatkan sorotan publik yang kadang juga sarat kontroversi. Salah satu versi yang mengejutkan publik baru-baru ini adalah terkait dengan hasil temuan Tim Koordinasi Pembangunan Pendidikan Aceh (TKP2A) sebagaimana dilansir oleh Serambi Indonesia (14 Oktober 2010), yangpada intinya menyebutkan jika jumlah guru di Aceh sudah lebih dari yang dibutuhkan. Sebanyak14 persen sekolah jumlah gurunya sudah lebih. Akibatnya, kondisi tersebut hanya membebani keuangan kabupaten/kota hingga 50 persen. Atas hal tersebut, Ketua DPRA mengatakan jika “ini bukan aib bagi masing-masing kabupaten/kota, tapi merupakan tantangan untuk segera diperbaiki”.
Temuan ini begitu mengejutkan publik di tengah isu yang beredar jika Aceh masih kekurangan guru. Namun kemudian, temuan TKP2A banyak “dipertanyakan” keabsahannya. Salah satunya datang dari Kepala BKPP Abdya yang menyebutkan bila tidak benar jumlah guru di kabupaten itu seperti yang dirilis TKP2A yaitu sebanyak 3.670 orang. Sebaliknya, ia menyebutkan jika jumlah guru seluluruhnya di Abdya hanya 1.894 orang termasuk guru PNS Daerah yang diperbantukan pada madrasah. Menurutnya, jumlah guru yang diekspose TKP2A hampir sama jumlahnya dengan seluruh PNS di Pemda Abdya sebanyak 3.728 orang.Mana yang benar, entahlah.
Namun sebagai perbandingan, jika saya membaca data guru di kabupaten ini dengan merujuk pada data dari Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik (PMPTK), maka jumlah guru mendekati jumlah yang dirilis TKP2A yaitu 3.265 orang. Perbedaan ini menunjukkan ada potensi “memainkan” jumlah guru sehingga tidak valid datanya di Aceh. Sebelum dipublikasikan, MPD Aceh juga sudah meminta tanggapan kepada setiap Dinas Pendidikan di kabupaten/kota pada Juli 2010 lalu, tetapi sampai data ini dirilis Oktober 2010, kabarnya tidak satu pun Dinas Pendidikan di kabupaten/kota yang memberikan koreksi atas temuan TKP2A itu.
Kehebohan soal kuantitas (jumlah) guru tersebut kemudian mendapat respon mahasiswa dengan adanya aksi puluhan mahasiswa dari FKIP Unsyiah (Kamis, 21/10/2010) di Kantor Pendidikan Aceh. Dalam orasi dan aksi gerar spanduk itu, mereka meminta Dinas Pendidikan Aceh tidak terpengaruh dengan data yang dikeluarkan oleh TKP2A tentang kelebihan guru di Aceh. Tidak hanya itu, desakan agar Majelis Pendidikan Aceh (MPD) Aceh dan TKP2A untuk dibubarkan juga muncul, termasuk menyebutkan jika penelitian soal jumlah guru itu merupakan penelitian bodoh dan hanya dilakukan di atas meja.
Menariknya lagi, dari data yang saya peroleh yang bersumber dari Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik (PMPTK) di Jakarta melalui Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Aceh diketahui jika jumlah guru di Aceh yang sudah memperoleh Nomor Unit Pendidik Tenaga Pendidikan (baik PNS maupun Non PNS adalah 91.141 orang per 15 Oktober 2010. Sedangkan data yang dipublikasikan oleh TKP2A dengan total 114.660 orang. Lalu, dimana sebenarnya persoalan jumlah guru di Aceh? Backtiar Ishak selaku Kadis Pendidikan Aceh mengatakan jika sebagian besar data yang dirilis TKP2A sesuai dengan data yang dikirimkan Dinas Pendidikan seluruh kabupaten/kota di Aceh dan telah dimuat di Padati Web milik Kementerian Nasional. (Serambi Indonesia, 22/10/2010).
Oleh karena itu, saya melihat jika fakta ini menunjukkan ada yang “tidak beres” dengan validitas (keabsahan) jumlah guru di Aceh. Dengan demikian, maka layak dipertanyakan pula keabsahan pengeluaran keuangan negara untuk “membayar” jerih payah guru di Aceh selama ini. Lumrah saja jika kemudian, dengan melihat data temuan TKP2A tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Aceh mempertanyakan juga keabsahan jumlah guru dengan dana yang sudah dtransfer ke daerah. “Kalau jumlah gurunya sedikit, tidak seperti yang dilaporkan, berarti ada dana yang sudah diterima kabupaten/kota untuk guru, harus dikembalikan ke provinsi”, sebutnya. Jangan sampai ada skenario “membengkakkan” kuantitas guru dengan sasaran “kucuran” anggaran yang diharapkan lebih besar. Semoga ini tidak benar dan tidak perlu terjadi di Aceh.
Menata Ulang
Menata ulang pendidikan Aceh harus bermuara pada pertanyaa mendasar : permasalah apa sebenarnya yang melilitsektor pendidikan di Aceh selama ini? Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan, dan tulisan ini akan mencoba menguraikan permasalahan dan tawaran solusi terkait problematikan guru di Aceh. Bila kita telaah lebih mendalam, saya melihat jika kualitas maupun sistem pengelolaan guru yang selama ini berlangsungmasih sarat masalah. Permasalah kualitas guru memang cukup penting untuk dikaji dan kemudian ada aksi nyata untuk penanganannya. Rendahnya kualitas guru bukan hanya sekedar persoalan pelatihan (training), tetapi sepertinya sudah “terproses” dengan pola yang terus berlangsung. Menjamurnya Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dengan “borosnya” izin mendirikan lembaga perguruan tinggi swasta, konon lagi yang beroperasi jarak jauh, bukan saja sekedar memberikan “cek kosong” kepada masyarakat melainkan juga menjadikan sektor pendidikan, dimana guru salah satu aktor kunci didalamnya menjadi tidak “terkendali mutunya”. Maaf, jika saya harus mengatakan “terkesan begitu mudah untuk menjadi seorang guru”.
Permasalah ini setidaknya dapat dikurangi dengan pola rekruitmen calon mahasiswa keguruan yang lebih profesional, baik pada institusi negeri maupun swasta. Perlu pula koordinasi yang lebih kuat antara LPTK-LPTK dengan Dinas Pendidikan sebagai pengguna langsung dari hasil produksinya. Jurusan-jurusan bidang studi yang sudah sudah full, membengkak lulusannya yang sampai saat ini belum terserap, harus segera ditutup. Perguruan Tinggi yang memproduksi guru juga perlu melakukan evaluasi, atas jurusan-jurusan yang dibuka. Daya serang yang sudah penuh, segera ditutup dan sebaliknya, lebih fokus pada jurusan yang masih dibutuhkan. Di sini, peran Dinas Pendidikan dan MPD Aceh amat menentukan, melakukan koordinasi secara cepat dan tepat sasaran.
Memulai Perubahan
Rakyat Aceh tentu berharap pendidikan Aceh semakin maju ke depan bukan hanya sekedar “memamerkan” kualitas beberapa sekolah “model” dengan prestasi dunia yang membanggakan. Jauh dari itu, adalah kualitas dan pemerataan pendidikan dengan kualitas di atas rata-rata di seluruh pelosok Aceh. Dan itu amat dimungkinkan dengan alokasi angaran yang cukup besar. Konsistensi kebijakan dan “keberanian” dari Dinas Pendidikan dan MPD Aceh amat menentukan perubahan-perubahan dasar dalam sektor pendidikan di Aceh. Melibatkan aktor-aktor lainnya, seperti perguruan tinggi dan lainnya, akan lahir dengan sendirinya jika konsistensi dan “keberanian” itu berjalan dengan baik.Dan ini tidak terlepas dari penentuan kebijakan : di tingkat kabupaten/kota atau provinsi. Saya menilai jika, perlu penelahaan kembali sejauhamana daerah dapat mengatur dan dimana wilayah yang tepat bagi provinsi untuk melakukan “intervensi” kebijakan pada sektor pendidikan ini. Bila ini tidak dilakukan, maka bagaimana pemerataan guru dapat dilaksanakan dengan baik?
Kesenjangan jumlah guru antarkabupaten/kota, termasuk wilayah-wilayah yang masih terpencil, soal pengangkatan kepala sekolah hingga mutasi guru harus dituntaskan dengan peninjauan kembali : ini domain siapa, provinsi atau kabupate/kota? Dalam domain permasalahan guru, pembahasan dan membangun kesepakatan-kesepakatan baru tersebut amat diperlukan. Jangan sampai, episode pengelolaan pendidikan di Aceh terus berjalan, sedangkan permasalahan yang ada terus dibiarkan, termasuk permasalahan soal jumlah guru. Polemik validitas data ini jangan hanya di media massa atau berakhir tanpa kejelasan. Jumlah guru harus divalidkan segera, bukan hanya soal jumlah tetapi juga distribusi per wilayah hingga kebutuhan guru sesuai dengan bidang studi di sekolah. Karena dari sinilah, kebijakan-kebijakan lainnya akan lahir. Jumlah guru sebagai informasi menentukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya.
Bagi saya, permasalah vasilitas guru bukan sekedar menghitung-hitung jumlah uang negara yang akan dihabiskan melainkan lebih jauh dari itu. Validitas kuantitas guru plus pemerataan guru secara proposional adalah bagian dari kunci penting menyelesaikan problematika pembangunan sektor pendidikan di Aceh. Tidak ingin kita kemudian terus terjebak dalam perdebatan berapa jumlah guru, melainkan bagaimana upaya strategis dan kontinu untuk meningkatkan kualita guru di Aceh. Akhirnya, kualitas pendidikan yang meningkat tajam yang kita cita-citakan dapat terwujud, bukan ledakan jumlah guru yang sampai kini belum jelas validitasnya.
Lantas, bila soal kuntitas guru saja tidak jelas, lalu bagimana kita bicara kualitas pendidikan kita? Kemudian mau dibawa ke mana arah pembanguan sektor pendidikantengah alokasi dana pendidikan yang kian besar di Aceh? Jangan sampai “arang habis, besi binasa”. Dan pendidikan kita pun tak pernah bangkit kualitasnya. Hanya “merangkak” pelan seadanya. Semoga tulisan ini menjadi refleksi bagi kita semua, termasuk para mahasiswa keguruan, calon guru maupun para guru yang sudah selama ini sudah mengabdi uintuk Aceh.*** (na_tinta@yahoo.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H