Dia Bukan Segalanya
Oleh : Cut Tiara Utami
Masih sejuk terasa keadaan sekelilingku. Seperti biasa mataku sangat susah untuk dibuka. Ingin ku raih kembali selimutku yang berwarna ungu itu, tapi tiba-tiba ada sesuatu berbunyi. Ah! Alarm jam kecil disamping tempat tidurku berbunyi. Sudah menjadi kegiatan rutin bagi aku untuk membunyikan alarm ketika waktu tepat pada pukul 06.00 pagi. Memang aku tidak termasuk golongan orang yang yang terlalu taat dalam beribadah, tapi aku akan selalu mengusahakan agar kewajibanku sehari sebanyak lima kali dapat ku penuhi. Dengan malas-malasan aku melangkah ke tempat yang lebih dingin itu. Aku berwudhu untuk kemudian melakukan ritual menyembah Tuhan, Allah yang telah membiarkan aku merasakan nikmat-Nya hingga kini.
Rutinitas aku setiap hari adalah kuliah dan kadang-kadang, bahkan sangat jarang, mengunjungi kesekretariatan organisasi dimana aku tercatat sebagai anggota. Layaknya mahasiswa, aku berusaha untuk sedikit memperhatikan keadaan sekeliling dan tentunya ingin menambah berbagai pengalaman sekaligus supaya tidak dijuluki oleh kawan-kawan dengan sebutan mahasiswa rantangan. Anak kuliahan sekarang tentu saja tidak luput dari yang namanya pacaran, termasuk aku. Aku punya pacar yang bukan hanya menurut aku, menurut sahabat dan kawan-kawan pun, dia sangat menarik. Tinggi sekitar 170 cm, berkulit kuning langsat, hidung mancung, alis tebal, mata yang tidak begitu sipit, rambut hitam lurus serta barisan gigi rapi yang membuat senyumnya lebih menawan. Wajar-wajar saja apabila dia dikagumi oleh wanita-wanita lain. Apalagi anak SMA. Namun, aku berusaha biasa saja menghadapinya walaupun kadang-kadang timbul juga rasa cemburu.
Hampir dua bulan, memang komunikasi dengan dia berjalan tidak begitu lancar. Aku sudah tidak sering lagi menerima telpon bahkan sekedar sms dari dia. Mungkin dia sedikit ingin menunjukkan rasa jengkelnya, menurut dia aku terlalu sibuk dengan kuliah dan kawan-kawan. Itulah aku. Orang yang tidak bisa meluangkan waktu yang begitu penting hanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Ya! Seperti duduk di kantin hanya berdua ataupun jalan sore yang tidak jelas tujuannya apa. Akan lebih berharga waktuku ketika kulewati dengan sahabat-sahabat, kepentingan kuliah sekaligus berorganisasi. Tapi hal itu ternyata membuat perbedaan diantara kami kian banyak. Berusaha tidak peduli dan menganggap itu bukan masalah penting.
Penghujung bulan oktober tahun lalu, cuaca tidak begitu panas. Mendung. Sekitar pukul 10.00 pagi aku berencana mandi untuk segera ke kampus. Sebelum mandi, aku menerima sebuah pesan. 1 message received. Begitulah yang tertera di layar. Segera ku buka. Ternyata pesan dari dia dan langsung kubaca hingga selesai. Aku mengulanginya lagi untuk memastikan bahwa aku tidak salah. Dan ternyata isi pesannya masih sama dengan yang pertama kali kubaca.
Tak terasa ada yang mengalir dipipiku. Hangat. Kuputuskan merebahkan diri sebentar. Niat hati tidak ingin ke kampus. Namun, itu tidak bisa aku lakukan karena untuk semester kali ini aku masih bertekad untuk mendapatkan indeks prestasi sempurna yakni 4,00. Dengan cukup berat aku melangkah ke kamar mandi lalu bersiap-siap dan akhirnya ke kampus. Berusaha untuk tampil seperti biasa. Ceria dan selalu tersenyum dengan setiap orang yang aku kenal. Sorenya sekitar jam 17.00 saat jam kuliah telah usai, seseorang menghampiri. Dengan santai dia menanyakan dengan siapa aku pulang. Ku jawab pertanyaan dia dengan santai pula. Berlaku seperti tidak terjadi apa-apa. Dialah orang yang telah memutuskan hubungan secara sepihak dan membuatku menitikkan air mata yang begitu berharga.
Penasaran. Rasa yang akhirnya menuntunku untuk memperjelas alasannya meninggalkanku. Tak ada kepastian karena dia mengatakan bahwa tidak ada alasan apa-apa. Susah untuk menggambarkan perasaan ku ketika itu. Sahabat-sahabatku yang saat itu dengan setia menyemangati. Bosan dan lelah untuk memikirkan kelakuan dia hingga kemudian membuat aku berfikir. Bodohnya aku jika menangisi orang yang telah membuat aku bersedih. Kuputuskan untuk kembali seperti dulu dan menghapus dia dari pikiranku. Tanpa dia bukan berarti semua berakhir, dia bukan segalanya. Aku harus tetap mencapai target yakni menjadi seorang perempuan berprestasi dan membanggakan.
Kumulai dengan aktif di organisasi yang dulunya pernah kulupakan. Aku mengisi waktu luang di sela kuliah dengan sesuatu yang lebih berguna. Menyenangkan sekali ketika kadang-kadang menjadi bagian dari orang yang memperhatikan masalah sosial. Uh! Akhirnya aku bisa mencapai hal yang memang telah aku impikan. Usaha aku untuk menjadi yang lebih baik tidak sia-sia. 4,00 masih bisa kupertahankan sekaligus punya kawan dan pengalaman yang lebih banyak. Dapat kubuktikan sekarang bahwa perempuan mampu bersaing dengan kaum laki-laki.
Di sebuah kamar yang berukuran 5x4 itu aku merebahkan diri. Ku peluk bantal kesayangan. Bantal yang berbentuk love berwarna merah muda dan bertuliskan I love u. kupandangi langit-langit kamar yang bercat krem. Aku memikirkan apa yang telah kuraih saat ini. Sangat memuaskan walaupun kini aku masih bertekad untuk mendapatkan yang lebih. Bukan untuk bersikap sombong melainkan hanya untuk melakukan sesuatu yang dapat membanggakan orang tua. Selama ini merekalah yang selalu menjadi motivasi aku untuk tetap melakukan yang terbaik. Setelah semua yang terjadi, aku jadi berfikir, “benar ga sih kata-kata bahwa perempuan baru bisa bangkit menjadi hebat setelah terluka?”.
penulis adalah pimpinan redaksi Tabloid Lensa, LPM Universitas Muhammadiyah Aceh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H