Tidak dapat dipungkiri, perekonomian merupakan hal yang mendominasi dalam kegiatan serta kehidupan keseharian warga dunia. Pergerakan roda perekonomian terus berputar dan pada perputaran tersebut terkandung nilai transaksi yang sangat tinggi dengan didominasi oleh dolar. Penggunaan dolar yang dirasa terlalu mendominasi memberikan dampak dan keresahan pada banyak negara terutama pasca tragedi Bretton Woods. Hal ini dikarenakan banyak negara yang menyimpan cadangan devisanya berbentuk dolar. Dengan tingkat stabilitas dollar yang terkadang kurang stabil, hal tersebut menjadi latar belakang terbentuknya gerakan serta gebrakan baru dalam kegiatan transaksi serta perekonomian khususnya pada benua Eropa.
Jika dipandang dengan kilas balik yang terlah terjadi pada masa lampau, keyakinan masyarakat terhadap efektivitas sistem nilai tukar tetap yang diatur oleh IMF di Bretton Woods semakin merosot.[1] Ketidakpercayaan ini menjadi pemicu runtuhnya sistem nilai tukar Bretton Woods, yang tercermin dari keputusan untuk menghentikan penukaran USD dengan emas pada 15 Agustus 1971. Langkah tersebut juga diikuti dengan devaluasi mata uang dolar Amerika dari 35 USD menjadi 38 USD per satu ons emas.
Pada fase ini, EMS (European Monetary System) diperkenalkan dengan Unit Mata Uang Eropa dan Mekanisme Nilai Tukar Eropa, hal tersebut dilakukan dengan tujuan mencapai stabilitas moneter menyeluruh dan merintis jalan menuju konsep pasar tunggal di Eropa. Sistem ini bertahan hingga tahun 1999, lalu digantikan oleh European Monetary Union (EMU) dan munculah mata uang gabungan negara Eropa berupa mata uang Euro.
Yang menjadi key point dari pembentukan EMS jika ditinjau secara makro yakni seperti,
- Untuk mengendalikan tingkat inflasi di benua Eropa.
- Mendorong meningkatnya nilai perdagangan di benua Eropa.
- Menjaga stabilitas nilai tukar di antara anggota perdagangan di benua Eropa.
Wacana Mata Uang Tunggal Asean
Suksesnya sistim EMS (European Monetary System) yang digantikan EMU European Monetary Union dan menghasilkan mata uang gabungan EURO menginspirasi negara-negara ASEAN untuk menciptakan rencana bersama untuk melakukan aksi dedolarisasi dengan menciptakan sistim yang hampir sama dengan sistim yang ada di Eropa.[1] Namun hal tersebut masih menjadi wacana hingga detik ini. Hal ini terjadi karena negara-negara di Asean belum siap untuk melakukan aksi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dengan pendekatan Indeks Optimum Currency Area (OCA) yang dilakukan oleh Nurul Cholifah pada negara-negara yang berada di kawasan ASEAN, negara ASEAN belum siap untuk membentuk mata uang tunggal dikarenakan belum adanya kedekatan nilai tukar secara bilateral serta banyak siklus bisnis pada negara ASEAN yang belum sinkron sehingga menjadikan negara ASEAN belum siap untuk menerima inovasi penggabungan nilai mata uang.[2]
Permasalahan lain yang menjadikan negara ASEAN belum siap untuk menjadikan sistim single currency ini berjalan adalah kondisi baik secara geografis maupun perekonomian Indonesia yang berbeda dengan Eropa. Negara ASEAN secara garis besar merupakan negara kepulauan, hal ini berbeda dengan benua Eropa yang didominasi oleh banyaknya daratan sehingga mempermudah koneksi serta aktivitas antara satu negara dengan negara Eropa yang lain sehingga tercipta efisiensi biaya didalamnya. Hal ini bertolak belakang dengan negara ASEAN yang notabenenya negara kepulauan yang menyebabkan koneksi aktivitas antar negara ASEAN kurang terintegrasi dengan maksimal.
Rujukan Penulisan.