Perayaan hari suci Kuningan tidak berselang lama dari hari raya suci Galungan, hari raya suci Kuningan jatuh pada hari kesepuluh setelah hari raya Galungan, lebih tepatnya yakni pada Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Kuningan berdasarkan perhitungan kalender Bali. Oleh karena perayaannya jatuh pada hari Sabtu dimana biasanya umat Hindu merayakan hari yang kerap disebut Tumpek, maka terkadang sebagian umat Hindu menyebutkan hari suci Kuningan sebagai Tumpek Kuningan.
Perayaan hari raya suci Kuningan dilaksanakan sejatinya bertujuan untuk memperingati kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud manifestasi Sang Hyang Parama Wisesa yang merupakan perujudan roh-roh suci serta pahlawan Dharma(kebenaran) yang telah berjasa menanamkan serta membentuk akhlak yang luhur pada diri manusia. Rangkaian pelaksanaannya hampir sama seperti hari raya suci Galungan, seperti Penampahan yang dilaksanakan sehari sebelum hari raya suci Kuningan sebagai bentuk bakti menyambut hari raya suci Kuningan.
Sama halnya dengan perayaan hari raya suci Kuningan di Desa Yehkuning yang berada di Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Namun salah satu yang tak pernah terlewatkan apalagi terlupakan ialah Sulanggi. Sulanggi adalah nasi putih yang dibentuk sedemikian rupa lalu diberi sejumput nasi berwarna kuning diatasnya yang kemudian diletakkan pada tempat Sulanggi yang telah dibuat dengan janur (slepan dan busung).]
Nasi yang berwarna kuning tersebut memiliki makna kemakmuran yang diartikan sebagai bentuk terima kasih karena telah dilimpahkan begitu banyak rahmatNya untuk kemakmuran dunia ini. Sulanggi ini akan digunakan sebagai komponen pelengkap dalam setiap banten yang disebut Soda dan Punjung.
Banten Kuningan jumlahnya lebih sedikit namun pembuatannya lebih rinci. Hal tersebut dikarenakan pada hari raya suci Kuningan masyarakat Desa Yehkuning hanya melaksanakan persembahyangan di Merajan. Berbeda dengan hari raya suci Galungan yang persembahyangannya dilaksanakan di semua Pura yang terdapat di Desa Yehkuning.
Selain itu, hal yang menjadikan perayaan hari raya suci Kuningan terasa sedikit berbeda ialah adanya Tamiang. Jika pada hari raya suci Galungan masyarakat Desa Yehkuning hanya membuat Gegantungan atau yang kerap disebut Ceniga, pada rangkaian hari raya suci Kuningan masyarakat Desa Yehkuning akan membuat Tamiang yang akan digantungkan di setiap pelinggih/sanggah rumah masing-masing. Tamiang merupakan kreasi dari janur yang dibentuk seindah mungkin dan juga dikombinasikan dengan berbagai hiasan yang menarik.
Tamiang ini biasanya dibuat dari janur (busung ibung) dengan tujuan agar Tamiang yang dibuat lebih tahan lama serta lebih menarik, sebab busung ibung yang digunakan tersebut memiliki berbagai macam warna, seperti pink tua, hijau, dan putih. Disinilah kesempatan bagi para wanita menunjukkan kreativitasnya dalam membuat bentuk Tamiang yang seindah mungkin. Ketika menyusuri jalan Desa Yehkuning maka akan nampak pemandangan indah dari berbagai kreasi Tamiang di setiap pelinggih yang berada di depan rumah masyarakat Desa Yehkuning.
Kedua hal tersebut yakni Tamiang dan Sulanggi merupakan hal yang tak pernah terlupakan ketika hari raya Kuningan. Hal ini mungkin akan terdengar lumrah bagi umat Hindu yang juga memiliki kebudayaan yang sama. Namun, setiap masyarakat memiliki tradisi dan kebudayaan yang berbeda berdasarkan daerah tempat tinggalnya. Namun sejatinya hal tersebut tidak mengurangi makna hari raya Kuningan karena terkadang terdapat masyarakat yang tidak merayakan hari raya Kuningan karena memang menjadi tradisi di daerah tersebut. Hal itu hendaknya janganlah dijadikan sebagai pemecah persatuan terutama antar umat beragama.
Luh Putu Dhita Candra Astuti, Fakultas Ilmu Pendidikan/S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Ganesha.