Mohon tunggu...
Lozz Akbar
Lozz Akbar Mohon Tunggu... -

Satpam Dunia Maya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gara-gara Marzuki Alie, Saya Ikutan Nongkrong di Sini

7 Januari 2012   07:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:13 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkenalkan nama saya Akbar.  Seorang pencinta alam dari sebuah kota kecil bernama Jember. Profesi saya sehari-hari adalah seorang satpam dunia maya (operator) di sebuah warnet kecil.  Gara-gara profesi itulah akhirnya saya menjadikan blogger sebagai salah satu pilihan bagi saya untuk berkarya. Saya pun acapkali menulis di sebuah blog yang bisa anda sambangi di sini.

Lah terus kenapa tiba-tiba saya bisa nyasar kesini? Semua itu gara-gara Marzuki Alie.

Loh kok bisa?. Begini ceritanya...

Sebenarnya hari ini saya masih menikmati masa-masa hiatus di dunia ngeblog. Maklum, selain dilanda sebuah over dosis beraktifitas di dunia maya karena rutinitas harian dalam pekerjaan. Ada pula beberapa faktor yang membuat diri saya memutuskan untuk  sejenak melupakan semua aktifitas  sebagai seorang blogger. Tapi sepertinya sekarang juga saya harus menghentikan hiatus saya secara dini gara-gara Marzuki Alie.

Selama hiatus saya lebih banyak menghabiskan aktifitas dunia maya dengan menyusuri situs-situs yang selama ini jarang saya kunjungi. Dan kebetulan Kompasiana yang hari ini mendapat giliran untuk saya jadikan pelampiasan saat  dirundung kejenuhan.

Awalnya saya cuma membaca beberapa tulisan dari sahabat-sahabat yang sudah saya kenal lewat dunia blogging. Lantas saya mulai mblarah ke tulisan-tulisan Kompasianer lain yang saya pikir sangat menarik untuk dibaca dan dijadikan bahan belajar buat saya.  Nah di saat asyik-asyiknya saya mengobok-obok isi Kompasiana, tiba-tiba saja saya melihat sebuah tulisan yang isinya..

Marzuki Alie: Masyarakat Bodoh dan Tidak Rasional

Sebuah tulisan yang akhirnya sukses membujuk saya untuk ikutan nongkrong juga di Kompasiana.

Dulur Kompasianer, mungkin bagi pak Marzuki Alie mengeluarkan sebuah statment adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan sebagai seorang politikus saat menyikapi sebuah pro kontra. Mungkin pula statment semacam itu masih dianggap hal yang lumrah bagi tokoh elit sekelas Marzuki. Namun bagaimana jika statment itu dilihat oleh masyarakat akar rumput seperti saya?.  Terus terang saya sangat menyayangkan komentar sarat sensasi itu muncul. Apalagi komentar itu muncul dari seorang pejabat yang lahir dari sebuah partai yang menjadikan "santun" sebagai salah satu jargon politiknya.  Tapi ya sudahlah, namanya juga demokrasi semua bebas beropini. Jika saja Marzuki Alie bebas beropini menurut cara yang dia anggap halal. Yo wis, sakarang juga saya mau nawaitu beropini lewat Kompasiana.

Bodoh? Ah kenapa komentar ini bisa muncul ya?.  Saya pikir semua yang terjadi di masyarakat kita sedikit banyak karena faktor dari para pemimpinnya. Jika rakyat melarat, mungkin ada kebijakan yang keliru dari para pejabat. Jika rakyat lapar, bisa jadi ada oknum-oknum di pemerintahan yang kurang ajar.  Dan jika sekarang rakyat dianggap bodoh, lah ini salah siapa?. Apa karena rakyat sudah benar-benar bodoh atau sengaja dibikin bodoh oleh para tokoh?. Nah kalau menganggap rakyat sudah bodoh, kok masih tego menjadi pejabat orang-orang bodoh?.

Tidak Rasional?. Ehm apakah sekarang rakyat sudah dikategorikan sebagai kelompok orang-orang yang kehilangan akal?. Ya, kita tahu jika 2 milyar adalah angka yang begitu kecil bagi orang-orang besar yang duduk di pemerintahan. Tapi bagaimana  dengan penilaian rakyat kecil kita?. Apakah hal yang tak rasional, jika rakyat mempertanyakan tentang sebuah anggaran yang nilainya milyaran akan digelontorkan cuma untuk urusan buang hajat dewan?.  Apakah para dewan  tidak paham jika masih banyak rakyat kecil kita yang menjadikan kebun dan rimbunan bambu sebagai jamban?.  Apa tidak lebih bijaksana andai saja anggaran itu dipakai untuk membangun sekolah-sekolah, agar anak-anak kita tidak menjadi bodoh seperti kata mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun