Mimpi apa saya semalam?
Itulah kalimat yang sampai saat ini menjadi pertanyaan saya. Betapa tidak, sedianya kemarin saya membuat akun Kompasiana serta menulis pertama kali hanya untuk mengeluarkan sebuah opini. Hanya sekedar ikutan nimbrung mengeluarkan uneg-uneg tentang sesuatu yang saat ini sedang hangat diperbincangkan orang-orang di dunia maya. Kontroversi dari sebuah statment yang ditengarai dilakukan oleh salah satu pejabat tinggi negeri ini. Sebuah opini yang sampai saat ini sayapun meyakini 75% memang seperti itu adanya.
Eh dilalah , saat siang tadi saya kembali membuka akun Kompasiana, seseorang yang kemarin sedang saya rasanin lewat sebuah tulisan, tiba-tiba saja muncul tanpa pernah saya duga. Antara percaya dan tidak percaya berkali-kali saya mengucek mata. Bertanya-tanya apa beliau benar seorang Marzuki Alie?. Apa benar ketua DPR R.I telah ikut mengomentari tulisan saya?. Kaget, senang, ngakak sekaligus ndredeg baur jadi satu, itulah perasaan yang saat ini saya rasakan saat tahu jika memang belia benar-benar Marzuki Alie.
Seperti yang sudah saya bilang di tulisan kemarin, jika kita semua harus bisa mengambil sisi positif dalam permasalahan ini. Demikian halnya dengan saya. Sebagai seorang blogger yang bisa dikatakan belajar menulis di jalanan, tentu saja saya masih ijo dengan etika di dunia jurnalistik. Saya pun mendapat banyak pelajaran dan hikmah dari tulisan saya kemarin. Jika kemarin saya menyoroti para pejabat agar senantiasa menjaga lisan. Sebagai seorang blogger saya pun akan belajar untuk bisa menjaga tulisan. Saya harus sadar dan tahu diri tentang siapa saya, ada di mana saya dan untuk siapa tulisan saya.
Ketakutan dan rasa ketidakpercayaan berlebihan kepada pejabat, mungkin itulah yang terjadi pada diri saya saat kemarin mencoba ikut beropini tentang masalah seputar toilet dewan. Sebab sebagai anak bangsa tentu saja saya berhak untuk ikut urun rembug tentang permasalahan yang terjadi di negeri yang saya cintai ini. Tapi ya sudahlah, lebih baik saya pasrah. Sebab seberapa bertubi saya membuat tulisan yang menentang sebuah kebijakan yang saya anggap tidak berpihak kepada rakyat. Semua keputusan dan kebijakan tentu kembali kepada pemerintah sebagai pemegang amanat rakyat. Namun yang jelas sampai kapan pun saya tidak akan ridho dan haramkan sen demi sen yang saya sisihkan dari cukai rokok yang saya hisap tiap hari, hanya bisa dinikmati oleh para mafia berdasi.
Untuk pak Marzuki Alie, saya ucapkan matur nuwun karena telah sudi mampir di tulisan saya kemarin. Jujur, saya angkat topi tinggi-tinggi terhadap anda. Sebab ditengah gencarnya berita miring mengenai anda, ternyata anda masih mau memberikan respon dengan menyambangi tulisan saya. Setidaknya anda telah merubah sebuah paradigma di dalam otak saya tentang pejabat di negeri ini. Maklum pak, saya mempunyai semacam trauma dengan salah satu teman anda perihal sebuah pengaduan saya yang dia kesampingkan. Saya tidak akan menjelaskan siapa teman anda itu, tapi yang jelas anda pasti tahu dan bahkan akrab dengan beliau. Makanya saya tak ingin anda ikut ketularan menjadi seorang penguasa yang angkuh kepada rakyatnya. Teruskan budaya nguwongi rakyat, seperti halnya yang telah anda lakukan pada diri saya kemarin. Tunjukkan jika tidak semua pejabat itu menutup telinga terhadap teriakan rakyatnya.
Terus terang sekarang saya juga dilanda kebingungan. Percaya Google atau Marzuki Alie?. Itulah dalam pikiran saya. Di satu sisi Google selalu menunjukkan sebuah fakta saat saya mengetikkan kata kunci dengan nama anda. Namun kemarin anda mencoba menyanggahnya lewat komen di artikel saya, jika semua itu adalah sebuah fitnah belaka.
Mungkin lebih bijaksana jika anda membuat tulisan tersendiri sebagai klarifikasi untuk menjawab opini miring yang terjadi pada diri anda. Jauh lebih efektif rasanya ketimbang anda sibuk wira-wiri untuk menulis komen di artikel-artikel yang menyudutkan anda. Tulis dan jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Biar rakyat tidak bingung. Biar mereka bisa tahu Marzuki Alie dizalimi atau komentar Marzukie Alie benar-benar alami. Dan tentu saja biar blogger jalanan seperti saya tidak terburu nafsu untuk membuat tulisan sebelum melakukan ricek seperti yang anda katakan.
Oh ya pak, melalui Kompasiana boleh kan pak saya meminta sesuatu dari dari anda?. Saya hanya ingin menawarkan diri menjadi teman anda di dunia maya lewat Kompasiana. Tujuannya cuma satu kok, agar nanti jika kembali muncul opini-opini miring mengenai anda, saya tak akan bertanya lagi dengan Google. Tapi saya akan bertanya langsung kepada anda tentang apa yang terjadi sebenarnya. Sebagai seorang pencinta alam saya juga butuh bimbingan anda tentang apa yang harus dilakukan organisasi pencinta alam yang saat ini saya dirikan di kampung saya. Syukur Alhamdulilah jika bapak mau mengusulkan sekian persen dana toilet dewan itu disisihkan untuk membeli mesin daur ulang sampah mini buat organisasi saya hehehe.
Ah mungkin pinta saya ini terlalu berlebihan. Rasanya seperti sinetron yang menceritakan sebuah pertemanan antara petinggi negara dan seorang tukang sapu warnet desa. Tapi kenapa tidak pak?. Mungkin gara-gara kita tembok pembatas yang berdiri di antara rakyat dan pejabat di negeri ini bisa kita robohkan bersama. Sebab bukan zamannya lagi kita berhitung soal derajat. Rakyat butuh pejabat dan pejabat pun harus mau duduk bersama mendengar rakyat. Rakyat dan pejabat harus ada sebuah komunikasi yang hangat layaknya seorang sahabat.
Sudah bukan waktunya lagi setiap permasalahan harus disikapi dengan jalan konforontasi dan saling berhadapan. Tak selamanya politik diwarnai dengan saling beradu argumen di berbagai media sana sini. Sebuah politik saya pikir perlu sebuah inovasi yang lebih supel. Yah sebuah politik yang menyelesaikan setiap permasahannya layaknya sebuah diskusi santai untuk mencari sebuah solusi ditemani secangkir kopi untuk bersama.