Mohon tunggu...
Sagung Alit Satyari
Sagung Alit Satyari Mohon Tunggu... -

just ordinary girl with simple dream visit me at lovometirantes.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menolak lupa, 19 tahun Wartawan Udin Dibunuh karena Berita

22 April 2015   11:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:48 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Untuk melupakan sebuah peristiwa yang pernah terjadi 19 tahun lalu merupakan hal yang sangat mudah dilakukan. Tetapi menolak untuk lupa, apakah masih ada penerus generasi bangsa Indonesia yang sanggup untuk melakukannya?

19 tahun lalu, Fuad Muhammad Syafruddin atau yang dikenal dengan Udin, hanyalah seorang wartawan surat kabar Bernas Yogyakarta. Hanya saja, berkat keberaniannya dalam memuat sejumlah berita tentang berbagai penyimpangan di Kabupaten Bantul, terkait soal kontroversi megaproyek Parangtritis, korupsi dana bantuan dan suap dalam pemilihan bupati Bantul menyebabkan dirinya harus menunggu keadilan selama 19 tahun atas kematian dirinya sendiri.

Udin disiksa oleh dua orang misterius yang datang ke rumahnya pada tanggal 13 Agustus 1996 yang akhirnya menyebabkan dirinya meninggal dunia. Aparat kepolisian yang seharusnya mengusut tuntas kasus ini justru membalikkan fakta dengan membuat skenario palsu atas kejadian pembunuhan Udin dengan menjadikan salah seorang yang tidak bersalah, untuk berpura-pura menjadi pelaku dengan cara pemaksaan.

Meskipun pada akhirnya skenario palsu ini terungkap, tetapi tanpa bukti yang kuat Majelis Hakim belum bisa menetapkan siapa pelaku utama dari kasus Udin hingga saat ini. Sedangkan Serma Pol Edy Wuryanto yang diduga sebagai oknum yang terlibat dalam kasus ini, hanyalah mendapatkan hukuman mutasi dari tempat dinasnya di Yogyakarta ke Mabes Polri di Jakarta.

Kasus kematian wartawan Udin bukanlah sebuah kasus ‘hangat’ yang saat ini sedang marak diperbincangkan. Tetapi apakah sebuah keadilan di Indonesia dengan semudah itu lenyap tanpa hasil akhir? Ketika sebuah hak untuk berbicara ataupun berpendapat dalam tulisan berubah menjadi musibah yang mematikan, masih pantaskan Indonesia menyandang gelar sebagai negara demokrasi?

Sekiranya hidup Indonesia saat ini telah terlepas dari belenggu penjajahan dan menjadikan kita para pemuda-pemudi Indonesia sebagai agen of change bangsa. Tetapi pada kenyataanya, banyak sekali orang-orang yang dengan keberaniannya bertekad merubah moral bangsa, justru mati ditangan oknum yang seharusnya menegakkan nilai moral itu sendiri. Seperti yang sering kita lihat di media, kasus seperti yang dialami Udin bukanlah yang pertama kalinya terjadi di Indonesia. Kasus-kasus yang penuh dengan konspirasi politik yang berujung maut demi menjaga kebusukan oknum politik, menjadi begitu lumrah terjadi di Indonesia.

Berhentinya penyelidikan kasus Udin tanpa hasil akhir, tentunya membuat kita berpikir bahwa para penegak hukum seolah tidak ada ‘niat’ menyelesaikannya dan membiarkan kasus tersebut ‘basi’ sehingga kebenaran sesungguhnya tidak pernah terungkap. Disini lantas kita layak bertanya kepada bangsa kita, begitu pengapkah ruang komunikasi untuk mewartakan kebenaran? Atau layakkah seseorang dibunuh hanya karena mereka mengungkapkan kebenaran?

Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani Universal Declaration of Human Rights yang menjadi pedoman dunia dalam menjunjung tinggi hak dari manusia, tetapi pada kenyataanya masih banyak sekali contoh kasus terbelenggunya hak-hak rakyat hanya karena kepentingan politik. Seperti kasus pembunuhan Munir misalnya, apakah ada niatan penegak hukum Indonesia untuk mengungkap pelakunya? Pada akhirnya uang akan menjadi solusi bagi oknum yang tidak ingin terbongkar aib-nya.

Hingga saat ini, setelah 19 tahun berlalu, kasus ini masih menjadi misteri besar bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi para jurnalis dan wartawan Indonesia. Sudah saatnya kita sebagai generasi penerus bangsa menolak untuk lupa dengan segala pelanggaran HAM yang pernah terjadi dan menyuarakan suara kita untuk memperbaiki moral bangsa yang terkadang menentang sisi humanis. Jika pepatah berkata bahwa mencintai seseorang berarti kita menerima dia apa adanya dengan segala kebaikan dan keburukannya, tapi saat ini saya menolak untuk mencintai Indonesia apa adanya. Karena perubahan ada pada saat kita mengungkapkan kejujuran dan menjadikannya lebih baik, sehingga kita bisa lebih bangga dan lebih mencintainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun