Mohon tunggu...
Sagung Alit Satyari
Sagung Alit Satyari Mohon Tunggu... -

just ordinary girl with simple dream visit me at lovometirantes.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kamu

4 September 2013   09:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:23 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu malam seperti biasa, aku selalu teringat dengan apa yang pernah terjadi. Terjadi di masa lalu, dan diantara kita. Seperti bagaimana kita memulai percakapan yang ramah di chat Facebook setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Aku lupa rupa wajahmu saat itu, tapi aku tidak pernah lupa setiap detail kejadian yang kita alami bersama. Bahkan aku masih sangat ingat bentuk luka di kakimu saat kita berlatih menari bersama hingga sebuah balok kayu merobek sisi luar kulit di kakimu. Dan aku tidak akan pernah lupa ketika kita terakhir menari bersama disebuah panggung kecil dengan aku berperan sebagai penari perempuan dan tentunya kamu sebagai penari laki-lakinya. Ini terakhir kalinya kita menari dipanggung sebagai pasangan penari yang dianggap serasi pada saat itu, sebelum akhirnya ayah menarikku pulang untuk melanjutkan membaca buku-buku pelajaran anak berumur 11 tahun.

Tidak pernah aku sangka kita kembali bertemu di kelas yang sama saat menginjak masa remaja. Kamu yang lebih tinggi, gagah, terkenal seantero rakyat sekolahan dan kekasihmu yang berstatus senior. Sedangkan aku, gadis biasa dengan rambut panjang dan selalu dikuncir dua seperti kebanyakan gadis-gadis di sekolah menengah pertama. Sampai akhirnya kita terpisahkan oleh ijazah dengan tiga angka yang sama tetapi terletak dengan susunan berbeda. Aku hidup di kedisiplinan sekolah negeri dan kamu hidup di kebebasan sekolah swasta. Sekolah kita terletak bersebelahan, rumah kita terletak di perumahan yang bersebelahan, tetapi tak pernah ku dengar kabarmu. Apakah kamu sudah menikah atau sudah meninggal, aku tidak pernah tahu.

Hingga hari itu tiba. Percakapan kita di dunia maya membawa kita ke arah yang tidak seharusnya kita lewati. Aku ingat ajakanmu pertama kali untuk mengantarku ke dokter sehingga kita bisa menghabiskan banyak waktu untuk saling mengingat dan mengenal lagi. Kamu yang banyak bicara tentang hobi dan musik membuatku sadar bahwa aku sedang jatuh cinta dengan sahabatku sendiri. Kamu.

Kita makin sering menghabiskan waktu bersama. Entah di rumahku atau di webcam. Kita tertawa, bercerita, memeluk satu sama lain dan aku tidak pernah lupa saat bibirmu menyentuh bibirku pada siang itu, saat kekasihmu sedang sibuk dengan literatur keperawatannya. Aku mulai biasa tidak mengganggu saat kamu sedang berada dirumahnya. Aku mulai sadar posisiku pada saat itu. Aku bukan siapa-siapa dan tidak akan pernah jadi siapa-siapa.

Aku mencintaimu dan aku pikir kamu juga mencintaiku pada saat itu. Aku masih tetap mencintaimu saat aku tahu ayahku lebih memilih pria berambut pendek berminyak dirambutnya, lengkap dengan kemeja dan tutur bahasa lembut sebagai pencintraan sebagai pasangan putrinya di kemudian hari. Aku tetap mencintaimu dengan segala keberantakanmu. Rambut yang kamu biarkan panjang hingga menutupi telingamu yang bertindik besar dan gayamu yang simpel dengan baju kaos dan jeans robek. Kamu berbeda. Kamu tampil sebagai kamu yang sebenarnya. Melupakan segala pencitraan yang berwujud macam-macam.

Dan akhirnya sampai bagian yang paling aku hindari. Bukan perpisahan, tetapi suatu keadaan dimana kita saling menyadari bahwa ada kisah yang tidak mungkin dilanjutkan. Kamu yang tidak mungkin meninggalkan wanita yang menemanimu selama 3 tahun dan aku yang selalu dibayangi impian ayahku tentang bagaimana sosok lelaki yang nanti akan jadi pendamping anaknya. Dan memang kita tidak akan pernah bisa bersama.

Masa itu telah terlewat beberapa tahun yang lalu, dan kini kita masih sering bertemu. Bertemu sebagaimana layaknya seorang sahabat melepas rindu dengan menertawakan kebodohan masing-masing. Dengan begini aku cukup bahagia. Melihatmu sukses dengan semua karir dan kuliah yang kamu tekuni. Dan aku masih cukup keras berusaha untuk berhenti mencintaimu. Kamu selalu menyuruhku untuk mencari kekasih, tetapi apa kamu tahu bahwa aku belum cukup berani untuk memulai sebuah percintaan jika cintaku masih ada padamu? Dan entah saat ini aku masih suka membayangkanmu, memimpikanmu, dan menulis tentangmu. Aku suka menjadi bodoh untuk mencintaimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun