Mohon tunggu...
LOVINA
LOVINA Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis butuh tahu dan berani

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Investigasi Kematian Melalui Autopsi Psikologis: Upaya Penerapannya di Indonesia

6 November 2024   16:00 Diperbarui: 6 November 2024   16:07 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak awal tahun 2024, Kepolisian Republik Indonesia menangani 849 kejadian bunuh diri di Indonesia. Jumlah itu membuat bunuh diri menjadi ganguan ketertiban terbanyak keempat yang dilaporkan oleh masyarakat, berdasarkan data aplikasi DORS (Daily Operation Reporting System) yang diakses oleh Polri pada 19 Agustus 2024. Data juga menunjukkan, pelaku bunuh diri terbanyak berusia 26-45 tahun, melakukan bunuh diri karena alasan ekonomi, dan mayoritas berlatar bekalang pendidikan lulusan SMA. 

Sementara itu, sebuah riset statistik tentang profil bunuh diri di Indonesia mencatat, Indonesia memiliki tingkat bunuh diri tidak tercatat tertinggi di dunia, yakni 859,10 persen. Laporan itu juga menyebutkan provinsi dengan angka bunuh diri tertinggi adalah Bali, dan cara bunuh diri terbanyak yaitu gantung diri. Riset ini menggunakan lima data berbeda antara tahun 2016-2021, yaitu data kepolisian, data register kematian, survei provinsi, sistem registrasi sampel, dan data Global Health Observatory WHO. Melalui kelima sumber data tersebut, peneliti memperkirakan provinsi dengan jumlah kasus dan upaya bunuh diri tertinggi namun tidak dilaporkan, mengidentifikasi gendernya, cara bunuh diri, serta membandingkan tingkat bunuh diri di wilayah perkotaan dan pedesaan.

Sebagai wilayah dengan angka bunuh diri tertinggi, Provinsi Bali pernah menjadi objek penelitian dengan metode autopsi psikologis untuk mengetahui faktor penyebab bunuh diri. Hasilnya, 80 persen kasus bunuh diri di Bali disebabkan oleh gangguan mental. Adapun meningkatnya kasus bunuh diri di Bali berkaitan erat dengan faktor klinis, agama, dan psikologis. Dengan demikian, mengobati gangguan mental, memperbanyak aktivitas keagamaan, serta mencari cara untuk mengatasi masalah interpersonal, menjadi solusi terbaik guna mencegah tingginya tingkat bunuh diri di Bali. 

Tidak hanya Bali, metode autopsi psikologis telah berkembang di banyak negara, seperti Amerika Serikat dan Australia. Selain sebagai metode untuk mengetahui penyebab bunuh diri, autopsi psikologis juga telah terbukti bermanfaat dalam mengklarifikasi kematian yang meragukan pada kasus bunuh diri. Proses investigasi dilakukan dengan cara mencari tahu kondisi mental seseorang sebelum bunuh diri guna mengetahui cara kematiannya, apakah alami, kecelakaan, bunuh diri, pembunuhan, atau tidak dapat ditentukan. Autopsi psikologis merupakan metode alternatif untuk mendapatkan bukti penyebab kematian yang mungkin tidak dapat ditentukan melalui autopsi medikolegal.

Meskipun begitu, autopsi psikologis belum banyak digunakan di Indonesia karena diragukan reliabilitas dan keakuratannya oleh sejumlah akademisi maupun praktisi pemeriksaan kematian. Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri mengungkapkan sejak awal 2023, Polri sudah menindak 1.680 kasus penemuan mayat di seluruh Indonesia, dengan penemuan mayat terbanyak di Jawa Tengah, yaitu 638 kasus (37,9 persen). Penulis tidak dapat menemukan data resmi terkait jumlah kasus yang cara kematiannya tidak dapat ditentukan di Indonesia, namun terdapat beberapa kasus belum terpecahkan yang cukup terkenal di Indonesia, salah satunya kasus kematian Akseyna Ahad Dori, mahasiswa Universitas Indonesia yang tewas pada Maret 2015.

Perkembangan Ilmu Forensik Autopsi Psikologis

Menurut sejarahnya, jejak pertama autopsi psikologis ditemukan di Los Angeles, Amerika Serikat, ketika T.J. Curphey menyusun panduan untuk menyelidiki tingginya angka kematian karena penyalahgunaan zat tertentu di daerah tersebut. Pekerjaan itu lalu dikembangkan oleh dua orang psikolog, yaitu Shneidman dan Farberow pada akhir 1950-an dan 1960-an, dimana mereka menggunakan panduan itu untuk menyelidiki cara kematian yang tidak dapat ditentukan apakah pembunuhan atau bunuh diri.

Salah satu temuan utama dari Shneidman adalah pentingnya untuk fokus pada hubungan pribadi korban, apakah dengan kerabat, teman, kolega, bahkan orang-orang yang sekilas mengenal korban, seperti barista, pelayan restoran, atau pegawai pada tempat-tempat yang rutin dikunjungi korban. Dari mereka, dapat diketahui informasi akurat tentang perjalanan hidup korban, kebiasaan hidupnya, atau hal-hal yang sedang menarik perhatiannya beberapa saat sebelum kematian. Informasi-informasi tersebut kemudian disandingkan dengan temuan penyidik atau petugas medis yang melakukan pemeriksaan medikolegal, maupun hasil rekaman medis korban. 

Melalui temuan penting itu, pada tahun 1970-an, Shneidman mengembangkan 16 jenis pedoman yang harus diikuti pada saat mengumpulkan informasi selama melakukan pemeriksaan autopsi psikologis. Shneidman memfokuskan pedomannya pada pertanyaan-pertanyaan seputar informasi tentang korban, mulai dari riwayat hidup, kepribadian, pola atau kebiasaan hidup, hubungan personalnya dengan orang lain, pemikiran, angan-angan, ketakutan, niat serta keseriusan tentang kematiannya, hingga informasi spesifik tentang kematiannya, termasuk pula informasi tentang riwayat hidup keluarga korban, penilaian dan reaksi keluarga maupun kerabat tentang niat korban terhadap kematiannya, serta komentar tentang hal-hal spesifik lainnya tentang korban.

Setelah dua dekade diaplikasikan, keakuratan pedoman Shneidman mulai dipertanyakan, terutama berkaitan dengan pemilihan orang-orang yang diwawancarai dan berapa lama jeda waktu antara peristiwa kematian dengan waktu wawancara dilakukan (berkaitan dengan daya ingat seseorang). Para ahli yang menekuni bidang ilmu autopsi psikologis pun mulai mengembangkan pedoman baru untuk mengatasi permasalahan tersebut, termasuk mengenai jumlah orang yang sebaiknya terlibat dalam melakukan wawancara.

Perkembangan penelitian paling menonjol berikutnya terjadi di Cuba, Havana, dimana korban-korban yang meninggal karena penyiksaan diteliti. Dari sinilah kemudian berkembang pedoman baru dalam metode autopsi psikologis, berisi 26 pedoman, dikenal dengan istilah MAP (Modelo de Autopsia Psicologica). MAP kemudian dikembangkan lagi oleh Institute of Forensic Medicine of the City of Havana, sebagai bagian dari pemerintahan Cuba, dengan cara menambahkan pedoman-pedoman baru dalam melakukan wawancara, yaitu menjadi 59 pedoman, yang dinamakan MAPI (Modelo de Autopsia Psicologica Integrado). Pedoman ini dikembangkan dengan cara melakukan survei terhadap korban bunuh diri, pembunuhan, dan kecelakaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun