Mohon tunggu...
LOVINA
LOVINA Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis butuh tahu dan berani

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pengunjuk Rasa vs Polisi, Siapa Lebih Brutal?

31 Agustus 2024   15:13 Diperbarui: 31 Agustus 2024   20:28 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanda Peringatan Darurat sebagai respon atas revisi UU Pilkada. (https://jakarta.tribunnews.com/2024/08/21/makna-peringatan-darurat-bergambar-garuda-yang-viral-di-medsos-kawal-putusan-mk-jadi-trending-topik)

Kurun waktu seminggu terakhir, ribuan orang dari berbagai wilayah di Indonesia melakukan unjuk rasa. Hal ini terjadi karena DPR merevisi UU Pilkada pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 dan 70 Tahun 2024. Unjuk rasa dilakukan setelah tanda Peringatan Darurat Garuda Pancasila dengan latar biru serta tagar #kawalputusanMK viral di sosial media.

Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 membuat norma baru tentang ambang batas pencalonan kepala daerah di mana untuk mengajukan pasangan kepala daerah, parpol atau gabungan parpol peserta pemilu harus memperoleh suara sah berkisar 6,5-10 persen, bergantung pada jumlah daftar pemilih tetap di daerah tersebut. Sementara itu, Putusan Nomor 70/PUU-XII/2024 mengatur penghitungan batasan usia calon kepala daerah di Pilkada, paling rendah 30 tahun ketika ditetapkan sebagai calon.

Unjuk rasa di berbagai wilayah dilaporkan berakhir ricuh. Di Semarang, Polisi membubarkan Pengunjuk rasa dengan kekerasan dan tembakan gas air mata (22 & 26/8). Hal yang sama terjadi di Makassar (26/8), Palangka Raya (23/8), Bandung (22 & 23/8), dan Jakarta (22/8). Pembubaran Pengunjuk rasa dengan kekerasan itu menyebabkan ratusan mengalami luka-luka.

Kekerasan oleh Polisi kepada Pengunjuk rasa terjadi setelah mereka berhasil merobohkan pagar kantor DPRD dan tetap bertahan hingga petang. Mereka meminta agar anggota dewan menemui dan berdialog dengan Pengunjuk rasa. Karena tidak kunjung ditemui, kemarahan Pengunjuk rasa meluap hingga melempar botol, kayu, dan batu ke arah Polisi yang berjaga.

Polisi merespon dengan menembakkan gas air mata untuk membubarkan Pengunjuk rasa, diikuti dengan menangkap, melakukan sweeping, memeriksa, menahan, serta menjadikan mereka tersangka. Pengunjuk rasa yang melawan dianiaya, dipukul, dan ditendang. Hingga 26/8, sudah 31 orang di Semarang dan 35 pengunjuk rasa di Makassar ditangkap oleh Polisi. Di Jakarta, Polisi sempat menangkap 301 Pengunjuk rasa pada aksi 22/8, dan 19 orang dijadikan tersangka. Mereka dituduh merusak fasilitas umum, melakukan kekerasan kepada petugas, dan tidak mengindahkan peringatan petugas.

Hal serupa terjadi kepada Pengunjuk rasa di Bandung. Karena tidak ditemui oleh anggota dewan untuk menyampaikan tuntutannya, Pengunjuk rasa yang marah lalu melempar batu dan membakar baliho di area kantor DPRD Jawa Barat. Saling lempar batu terjadi, lantas mengenai mata seorang mahasiswa, hingga mengalami buta permanen.  

Kekerasan Polisi dalam mengamankan Pengunjuk rasa dinilai oleh Komnas HAM berpotensi melanggar HAM. Atnike Nova Sigiro, Ketua Komnas HAM, mendesak Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan untuk melakukan evaluasi agar ke depan tidak ada lagi penggunaan kekerasan oleh Polisi dalam menangani dan membubarkan demonstrasi. Kepala Polrestabes Semarang menyebut, sementara waktu, kegiatan demonstrasi di wilayahnya berpotensi dilarang untuk mencegah peristiwa serupa berulang.

Demonstrasi yang berakhir ricuh di beberapa wilayah tersebut merupakan puncak dari kemarahan warga atas situasi politik hukum yang terjadi belakangan. Di tambah lagi, aspirasi mereka tidak didengarkan dengan baik oleh pemerintahan. Hal ini membuat seruan darurat demokrasi berkumandang di jalanan dan juga di jagad maya.

Di Palangka Raya, demonstrasi di Kantor DPRD (23/8) diwarnai aksi saling dorong dan lempar batu antara Pengunjuk rasa dengan Polisi karena permintaan untuk berdialog di dalam ruang rapat dihalangi petugas kepolisian. Akan tetapi, ketika Kapolresta Palangka Raya memperbolehkan Pengunjuk rasa masuk ke dalam ruang rapat, dialog berlangsung damai dan massa membubarkan diri dengan tertib.

Aksi di Palangka Raya (23/8) pun berakhir damai dan Pengunjuk rasa membubarkan diri dengan tertib setelah Ketua DPRD Kalimantan Tengah menemui massa dan menanggapi tuntutan mereka. Begitu pula yang terjadi di Yogyakarta (22/8). Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X, mempersilakan berbagai pihak menggelar demonstrasi asalkan berjalan tertib dan tanpa merugikan pihak lain.

Berefleksi dari demonstrasi yang berlangsung seminggu belakangan, pertanyaan muncul. Siapa lebih brutal? Apakah Pengunjuk rasa yang melempar batu, membakar baliho, merusak fasilitas umum, tidak mengindahkan perintah petugas, serta melakukan kekerasan kepada petugas? Ataukah Polisi yang menganiaya, memukul, menendang, menembakkan gas air mata, menangkap, melakukan sweeping, menahan, memeriksa, dan menjadikan Pengunjuk rasa sebagai tersangka?

Sebelum menjawab pertanyaan, masih ingat joget Gangnam Style asal Korea Selatan yang sempat viral pada 2012-2013? Musik video produksi YG Entertainment dan dinyanyikan oleh Park Jae Sang (PSY) hingga kini sudah dilihat lebih dari 5 miliar kali di YouTube Officialpsy. Polisi sempat menirukan joget Gangnam Style, dan menurut riset etnografi Davies, masyarakat Indonesia lebih menyukai polisi versi ini karena terlihat lebih manusiawi (Davies, 2016).

Dalam risetnya, Davies berkesimpulan bahwa masyarakat Indonesia lebih mengharapkan polisi yang memiliki prinsip pemolisian yang adil dan sesuai prosedur (procedural justice policing)---pelayanan berkualitas (quality treatment), pengambilan keputusan berkualitas (quality decision-making), bermoral baik (moral similitude)---dibandingkan dengan polisi yang menumpas kejahatan dengan mengandalkan segala perlengkapannya (instrumental policing), yaitu pakaian lengkap beserta sepatu tebal, helm, pentungan, borgol, tameng, senjata api bagi yang memiliki izin, termasuk gas air mata (Davis, 2016).

Pelayanan berkualitas (quality treatment) melibatkan polisi yang bersikap sopan dan memperlakukan orang dengan hormat dan bermartabat (Davies, 2016). Artinya, masyarakat tidak mengharapkan polisi yang beperilaku kasar (memukul, menendang, menganiaya). Pengambilan keputusan berkualitas (quality decision-making) berkaitan dengan konsistensi polisi dalam melakukan penyidikan, adil, transparan, berdasarkan fakta, serta memastikan semua warga diperlakukan sama, dalam arti polisi tidak melakukan perbuatan yang melanggar (Davies, 2016).

Perbuatan melanggar dalam prinsip kedua ini dapat dimaknai bahwa polisi tidak boleh melanggar hukum (melakukan korupsi atau kekerasan seksual). Sementara itu, bermoral baik (moral similitude) maksudnya adalah memiliki persamaan moral dengan masyarakat tentang apa yang benar dan pantas melalui sikap dan perilaku polisi (Davies, 2016). Cerminan dari sikap yang dianggap benar dan pantas oleh masyarakat, yaitu polisi yang tidak berkata kasar atau menggunakan kekerasan dalam situasi dan kondisi apapun, termasuk saat membubarkan demonstrasi.

Sebagai lembaga (individu) yang diberi hak untuk melakukan upaya paksa oleh negara, kehadiran polisi berguna untuk mengatasi semua permasalahan warga negara yang mungkin memerlukan paksaan (Klockars, 1985, hlm.17).  Meskipun begitu, hingga saat ini, masih menjadi pembahasan di berbagai belahan dunia tentang bagaimana polisi dapat menggunakan haknya dengan bijak, dalam arti, apa yang dapat dilakukan untuk mengontrol hak dalam melakukan upaya paksa atas izin negara tersebut, agar tidak melanggar hak asasi manusia.

The Idea of Police karangan Carl B. Klockars (US: Sage Publications, 1985)
The Idea of Police karangan Carl B. Klockars (US: Sage Publications, 1985)

Kontrol itu diperlukan, menurut Klockars, salah satunya disebabkan polisi merupakan lembaga yang memiliki diskresi yang besar (Klockars, 1985, hlm.117). Mereka dituntut untuk bijak dalam banyak hal, termasuk memilih kapan dan di mana, serta dalam kondisi apa hukum harus ditegakkan.

Dalam konteks mengamankan demonstrasi, sesungguhnya polisi memang memiliki diskresi yang besar. Bergantung pada situasi di lapangan, ia harus menentukan kapan akan membubarkan pengunjuk rasa dan bagaimana caranya. Ketika pengunjuk rasa tidak mau bubar, kapan dan ke arah mana ia harus menembakkan gas air mata, termasuk dalam kondisi apa ia memilih untuk menangkap si A, menjadikan tersangka si B, ataupun melepaskan si C.

Penting bagi kita untuk merefleksikan apa yang disampaikan oleh Davies dan Klockars dengan kejadian demonstrasi seminggu terakhir. Davies menekankan keinginan warga untuk melihat wajah polisi yang lebih humanis. Sementara bagi Klockars, seberapa bijak polisi dalam menentukan diskresi yang dimilikinya, menentukan pula seberapa baik ia menggunakan hak yang diberikan oleh negara untuk melakukan upaya paksa (good police) (Klockars,1985,  hlm.117). Kebijakan itu pula yang menentukan seberapa baik keberadaan sebuah institusi kepolisian (good policing).

*) Penulis sedang menempuh pendidikan Magister Ilmu Forensik di Universitas Airlangga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun