Berefleksi dari demonstrasi yang berlangsung seminggu belakangan, pertanyaan muncul. Siapa lebih brutal? Apakah Pengunjuk rasa yang melempar batu, membakar baliho, merusak fasilitas umum, tidak mengindahkan perintah petugas, serta melakukan kekerasan kepada petugas? Ataukah Polisi yang menganiaya, memukul, menendang, menembakkan gas air mata, menangkap, melakukan sweeping, menahan, memeriksa, dan menjadikan Pengunjuk rasa sebagai tersangka?
Sebelum menjawab pertanyaan, masih ingat joget Gangnam Style asal Korea Selatan yang sempat viral pada 2012-2013? Musik video produksi YG Entertainment dan dinyanyikan oleh Park Jae Sang (PSY) hingga kini sudah dilihat lebih dari 5 miliar kali di YouTube Officialpsy. Polisi sempat menirukan joget Gangnam Style, dan menurut riset etnografi Davies, masyarakat Indonesia lebih menyukai polisi versi ini karena terlihat lebih manusiawi (Davies, 2016).
Dalam risetnya, Davies berkesimpulan bahwa masyarakat Indonesia lebih mengharapkan polisi yang memiliki prinsip pemolisian yang adil dan sesuai prosedur (procedural justice policing)---pelayanan berkualitas (quality treatment), pengambilan keputusan berkualitas (quality decision-making), bermoral baik (moral similitude)---dibandingkan dengan polisi yang menumpas kejahatan dengan mengandalkan segala perlengkapannya (instrumental policing), yaitu pakaian lengkap beserta sepatu tebal, helm, pentungan, borgol, tameng, senjata api bagi yang memiliki izin, termasuk gas air mata (Davis, 2016).
Pelayanan berkualitas (quality treatment) melibatkan polisi yang bersikap sopan dan memperlakukan orang dengan hormat dan bermartabat (Davies, 2016). Artinya, masyarakat tidak mengharapkan polisi yang beperilaku kasar (memukul, menendang, menganiaya). Pengambilan keputusan berkualitas (quality decision-making) berkaitan dengan konsistensi polisi dalam melakukan penyidikan, adil, transparan, berdasarkan fakta, serta memastikan semua warga diperlakukan sama, dalam arti polisi tidak melakukan perbuatan yang melanggar (Davies, 2016).
Perbuatan melanggar dalam prinsip kedua ini dapat dimaknai bahwa polisi tidak boleh melanggar hukum (melakukan korupsi atau kekerasan seksual). Sementara itu, bermoral baik (moral similitude) maksudnya adalah memiliki persamaan moral dengan masyarakat tentang apa yang benar dan pantas melalui sikap dan perilaku polisi (Davies, 2016). Cerminan dari sikap yang dianggap benar dan pantas oleh masyarakat, yaitu polisi yang tidak berkata kasar atau menggunakan kekerasan dalam situasi dan kondisi apapun, termasuk saat membubarkan demonstrasi.
Sebagai lembaga (individu) yang diberi hak untuk melakukan upaya paksa oleh negara, kehadiran polisi berguna untuk mengatasi semua permasalahan warga negara yang mungkin memerlukan paksaan (Klockars, 1985, hlm.17). Â Meskipun begitu, hingga saat ini, masih menjadi pembahasan di berbagai belahan dunia tentang bagaimana polisi dapat menggunakan haknya dengan bijak, dalam arti, apa yang dapat dilakukan untuk mengontrol hak dalam melakukan upaya paksa atas izin negara tersebut, agar tidak melanggar hak asasi manusia.
Kontrol itu diperlukan, menurut Klockars, salah satunya disebabkan polisi merupakan lembaga yang memiliki diskresi yang besar (Klockars, 1985, hlm.117). Mereka dituntut untuk bijak dalam banyak hal, termasuk memilih kapan dan di mana, serta dalam kondisi apa hukum harus ditegakkan.
Dalam konteks mengamankan demonstrasi, sesungguhnya polisi memang memiliki diskresi yang besar. Bergantung pada situasi di lapangan, ia harus menentukan kapan akan membubarkan pengunjuk rasa dan bagaimana caranya. Ketika pengunjuk rasa tidak mau bubar, kapan dan ke arah mana ia harus menembakkan gas air mata, termasuk dalam kondisi apa ia memilih untuk menangkap si A, menjadikan tersangka si B, ataupun melepaskan si C.
Penting bagi kita untuk merefleksikan apa yang disampaikan oleh Davies dan Klockars dengan kejadian demonstrasi seminggu terakhir. Davies menekankan keinginan warga untuk melihat wajah polisi yang lebih humanis. Sementara bagi Klockars, seberapa bijak polisi dalam menentukan diskresi yang dimilikinya, menentukan pula seberapa baik ia menggunakan hak yang diberikan oleh negara untuk melakukan upaya paksa (good police) (Klockars,1985, Â hlm.117). Kebijakan itu pula yang menentukan seberapa baik keberadaan sebuah institusi kepolisian (good policing).
*) Penulis sedang menempuh pendidikan Magister Ilmu Forensik di Universitas Airlangga