Kurun waktu seminggu terakhir, ribuan orang dari berbagai wilayah di Indonesia melakukan unjuk rasa. Hal ini terjadi karena DPR merevisi UU Pilkada pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 dan 70 Tahun 2024. Unjuk rasa dilakukan setelah tanda Peringatan Darurat Garuda Pancasila dengan latar biru serta tagar #kawalputusanMKÂ viral di sosial media.
Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 membuat norma baru tentang ambang batas pencalonan kepala daerah di mana untuk mengajukan pasangan kepala daerah, parpol atau gabungan parpol peserta pemilu harus memperoleh suara sah berkisar 6,5-10 persen, bergantung pada jumlah daftar pemilih tetap di daerah tersebut. Sementara itu, Putusan Nomor 70/PUU-XII/2024 mengatur penghitungan batasan usia calon kepala daerah di Pilkada, paling rendah 30 tahun ketika ditetapkan sebagai calon.
Unjuk rasa di berbagai wilayah dilaporkan berakhir ricuh. Di Semarang, Polisi membubarkan Pengunjuk rasa dengan kekerasan dan tembakan gas air mata (22 & 26/8). Hal yang sama terjadi di Makassar (26/8), Palangka Raya (23/8), Bandung (22 & 23/8), dan Jakarta (22/8). Pembubaran Pengunjuk rasa dengan kekerasan itu menyebabkan ratusan mengalami luka-luka.
Kekerasan oleh Polisi kepada Pengunjuk rasa terjadi setelah mereka berhasil merobohkan pagar kantor DPRD dan tetap bertahan hingga petang. Mereka meminta agar anggota dewan menemui dan berdialog dengan Pengunjuk rasa. Karena tidak kunjung ditemui, kemarahan Pengunjuk rasa meluap hingga melempar botol, kayu, dan batu ke arah Polisi yang berjaga.
Polisi merespon dengan menembakkan gas air mata untuk membubarkan Pengunjuk rasa, diikuti dengan menangkap, melakukan sweeping, memeriksa, menahan, serta menjadikan mereka tersangka. Pengunjuk rasa yang melawan dianiaya, dipukul, dan ditendang. Hingga 26/8, sudah 31 orang di Semarang dan 35 pengunjuk rasa di Makassar ditangkap oleh Polisi. Di Jakarta, Polisi sempat menangkap 301 Pengunjuk rasa pada aksi 22/8, dan 19 orang dijadikan tersangka. Mereka dituduh merusak fasilitas umum, melakukan kekerasan kepada petugas, dan tidak mengindahkan peringatan petugas.
Hal serupa terjadi kepada Pengunjuk rasa di Bandung. Karena tidak ditemui oleh anggota dewan untuk menyampaikan tuntutannya, Pengunjuk rasa yang marah lalu melempar batu dan membakar baliho di area kantor DPRD Jawa Barat. Saling lempar batu terjadi, lantas mengenai mata seorang mahasiswa, hingga mengalami buta permanen. Â
Kekerasan Polisi dalam mengamankan Pengunjuk rasa dinilai oleh Komnas HAM berpotensi melanggar HAM. Atnike Nova Sigiro, Ketua Komnas HAM, mendesak Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan untuk melakukan evaluasi agar ke depan tidak ada lagi penggunaan kekerasan oleh Polisi dalam menangani dan membubarkan demonstrasi. Kepala Polrestabes Semarang menyebut, sementara waktu, kegiatan demonstrasi di wilayahnya berpotensi dilarang untuk mencegah peristiwa serupa berulang.
Demonstrasi yang berakhir ricuh di beberapa wilayah tersebut merupakan puncak dari kemarahan warga atas situasi politik hukum yang terjadi belakangan. Di tambah lagi, aspirasi mereka tidak didengarkan dengan baik oleh pemerintahan. Hal ini membuat seruan darurat demokrasi berkumandang di jalanan dan juga di jagad maya.
Di Palangka Raya, demonstrasi di Kantor DPRD (23/8) diwarnai aksi saling dorong dan lempar batu antara Pengunjuk rasa dengan Polisi karena permintaan untuk berdialog di dalam ruang rapat dihalangi petugas kepolisian. Akan tetapi, ketika Kapolresta Palangka Raya memperbolehkan Pengunjuk rasa masuk ke dalam ruang rapat, dialog berlangsung damai dan massa membubarkan diri dengan tertib.
Aksi di Palangka Raya (23/8) pun berakhir damai dan Pengunjuk rasa membubarkan diri dengan tertib setelah Ketua DPRD Kalimantan Tengah menemui massa dan menanggapi tuntutan mereka. Begitu pula yang terjadi di Yogyakarta (22/8). Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X, mempersilakan berbagai pihak menggelar demonstrasi asalkan berjalan tertib dan tanpa merugikan pihak lain.