Oke, mungkin semua orang banyak yang mengatakan saya pintar (atau bahkan jenius), namun saya hanya menyadari bahwa saya pintar bukan karena pendidikan, namun hanya karena saya terlahir dengan kepalayang lebih encer. Jadi, dapat dikatakan dengan singkat bahwa saya hanya seorang anak yang: a) Beruntung karena terlahir dengan genetic yang baik,b) Tekanan dari orang tua yang berlatar belakang pendidik. Perlu kalian ketahui bahwa keluargaku selalu menginginkan saya untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Harvard dan berprofesi menjadi seorang dokter atau pengacara, tapi sebenarnyayang paling saya inginkan hanyalan bermain piano dan menghabiskan waktuku bersama teman-teman. Perlu dikatakan, bahwa saya dan kedua orang tua saya sangat keras kepala. Ayah saya lahir di Jepang dan ibu saya lahir di Jerman. Mereka berdua adalah penganut dari “paham lama” (yang biasa disebut orang “old school” –red), memiliki disiplin yang sangat tinggi, berpegang teguh pada prinsip, dan sangat suka memaksakan kehendak mereka pada diri saya. (Ayahku adalah seorang lulusan Universitas Caltech yang memperoleh beasiswa penuh pada bidang Matematika dan Fisika.) Saya selalu dihukum tidak boleh keluar rumah setiap kali mendapatkan nilai “B” pada salah satu mata pelajaran, dan selalu mendapatkan omelan dan pukulan setiap kali mendapat nilai lebih rendah lagi. Saya tidak pernah diperbolehkan untuk bersosialisasi, baik itu pergi untuk berpesta, ataupun hanya sekedar menontonfilm di bioskop, karena orang tuaku selalu mengatakan padaku bahwa saya dapat melakukan semua kegiatan itu setelah mendapatkan kuliah di universitas yang baik. Walaupun mendapatkan hukuman-hukuman semacam itu, saya selalu melakukan apa yang selayaknya dapat anak-anak (Amerika) lakukan, saya mengendap-ngendap keluar dari rumah. Walau kemudian seringkali tertangkap dan kemudian mendapatkan pukulan lagi. Dan kemudian dihukum lebih lama. Yah, tidak perlu dikatakan lebih terperinci lagi, tapi garis besarnya adalah bahwa saya mengalami masa kecilyang sungguh tidak bahagia. (Bahkan saya sering kali terpikir untuk bunuh diri). Hmm, saya ingat di usia saya belum mencapai 17 tahun, saya lari dari rumah. Saya tinggal dan menetap di mana saya dapat tumpangan, baik itu tinggal bersama pengamen jalanan, bersama teman, bersama orang asing, di hotel, dan bahkan suatu ketika saya tinggal di tenda. Saya selalu bekerja di saat saya memperoleh kesempatan untuk itu, tapi kita ketahui bersama, bahwa sungguh sulit untuk bekerja (di Amerika) di usia yang belum mencapai 17 tahun, jadi saya selalu mengalami hari-hari tanpa uang. Seringkali saya pergi ke sekolah hanya untuk mengemis sebuah Doritos (Sneak –red) dari temen-teman sekolah untuk mengisi perut saya. Bahkan kadang kala saya terpaksa untuk bercinta dengan orang asing padahal saya tidak pernah menginginkannya, tapi itu semua hanya untuk mendapatkan tempat untuk bermalam dan makanan yang layak. Seringkali aku lebih senang memilih untuk melakukan hal-hal mengemis ini ketimbang harus kembali ke rumah. Pada akhirnya, pemerintah mengetahui bahwa saya tinggal sendiri tanpa pengasuh, dan mereka pun kemudian memberikan saya untuk diasuh dalam sebuah keluarga asuh. Keluarga asuh saya sama seperti keluarga saya sendiri, mereka sangat keras, dan saya tidak pernah diperbolehkan untuk keluar berkencan ataupun berpesta. Ini adalah kedua kalinya saya merasa tertekan, apalagi setelah saya merasakan suasana bebas di luar, namun bagaimana pun juga, saya tetap tinggal bersama keluarga asuh hingga saya menyelesaikan sekolah menengah atas. Dan kemudian, untuk kedua kalinya saya lari dari tempat saya tinggal saat usia saya mencapai 18 tahun. Saya menyadari bahwa uang saya hanya cukup hingga musim gugur dating dan itu berarti sebentar lagi, kemudian saya mendaftar ke Universitas Rutgers dan berhasil mendapatkan beasiswa penuh. Sebenarnya saya ingin mengakui satu hal, bahwa saya berangkat ke kampus bukan untuk belajar, namun hanya karena mereka menjanjikan makanan hangat dan tempat tidur gratis, jadi saya tidak perlu mengemis di jalanan ataupun menjajakan tubuh saya pada orang asig hanya untuk hidup. Empat tahun di bangku kuliah sungguh menyiksa saya, rasanya ingin sekali menghabiskannya dalam satu hari. Saya juga pernah bekerja sebagai bartender, dan saya sering berharap untuk menjadi seorang penari striptease karena saya dengar mereka mendapatkan banyak uang dari pekerjaan mereka. Pada suatu kesempatan, pemilik bar meminta saya untuk membawakan minuman untuk sebuah pesta pribadi dengan berpakaian minim dan menjanjikan pada saya akan dibayar sebanyak $100. WOW!!! Seratus dollar sungguh menarik bagi saya, sehingga tanpa berpikir lagi langsung saya setujui. Sebelum melakukan pekerjaan itu, saya minum banyak sekali Vodca untuk meningkatkan rasa berani. Ketika saya memasuki pesta itu, saya melihat banyak sekali penari striptease yang disewa oleh orang itu dan mereka mendapatkan uang seperti memungut sampah. Tapi saya sendiri bersyukur karena dari situ berhasil memperoleh $300 dollar dan saya sangat senang. Saya tidak pernah memiliki uang sebanyak itu seumur hidup saya. Hari berikutnya, saya kembali menenggak sebotol Vodca ketika saya disewa untuk menari go-go. Saya bekerja sebagai penari go-go selama 7 malam selama seminggu dan saya dapat memperoleh $1000 dollar dalam seminggu. (Oh ya, saya masih menyimpan dollar pertama yang saya peroleh dari menari go-go hingga hari ini). Tak lama kemudian, saya menjadi seorang penari dengan bayaran tertinggi di bar itu. Namun bayaran itu tetaplah tidak cukup. Saya pernah mendengar bahwa gadis-gadis muda akan dibayar sangat tinggi sebagai model film porno telanjang bugil dan foto bagi majalah dewasa. Saya sangat tertarik tawaran itu… Saya kemudian pergi ke sebuah took 7-11 dan membeli sebuah majalah pria, dan kemudian mengirimkan foto saya pada alamat yang tertera pada majalah itu. Tak seberapa lama kemudian, pihak redaksi majalah merespon surat saya dan mengirimkan saya sebuah alamat untuk sesi fotografi di New York. Seusai sesi pemotretan, saya menanyakan pada sang fotografer untuk mendaftar sebagai pemain film porno, dan dia kemudian memberikan sebuah nomor telp. Ia adalah sutradara di Los Angeles bernama Bud Lee (tapi saya memanggilnya Bud-guy), dan kemudian saya terbang ke Los Angeles dengan sebuah koper dan boneka teddy-bear kesayangan saya. Oleh Bud Lee, saya berhasil memerankan satu hingga dua film. Mungkin banyak orang yang merasa saya akan menyesali apa yang telah saya lakukan, tapi asalkan kalian tahu: saya tidak pernah merasa sebahagia ini seumur hidup saya dan saya berhasil memperoleh yang saya impikan dari jerih payah saya sendiri. Saya memiliki pekerjaan yang menyenangkan, dan pada akhirnya saya dapat kembali bermain piano, melukis, menulis dan bahkan dapat membalas surat-surat di website saya! Saat ini, saya telah selesai berkarya di dunia “****-the-world”. Saya menabung dan berinvestasi untuk masa depan saya, dan saya akan menyelesaikan studi saya dengan suka cita. Setelah sebelumnya saya menjadi dewasa, sekarang ini saya menjadi seorang ibu dan juga bekerja sebagai stock-analyst. Dan jika suatu hari nanti saya meninggal dunia, saya telah menyisihkan uang yang saya peroleh untuk membantu dan menghidupi anak-anak terlantar dan korban dari kekerasan rumah tangga. Itulah harapan saya berikutnya… Peluk, ASIA CARRERA PS – Hingga sekarang ini, saya tidak pernah marah dan dendam pada kedua orang tua saya. Saya tahu bahwa mereka hanya ingin yang terbaik bagi diri saya, hanya saja mungkin mereka menekan saya terlalu keras, itu saja. Menjadi seorang yang sukses memang hal yang membanggakan, dan itu memang harus kita usahakan, tapi dalam meraih kesuksesan, kita tidak pernah boleh mengorbankan rasa kebahagiaan. Saya rasa, kebahagiaan harus datang terlebih dahulu, dan kemudian kesuksesan akan datang dengan sendirinya. SUMBER BERITA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H