Selamat pagi, sayang ...
Lalu aku, dalam-dalam memikirkanmu, seperti rinduku yang karam di lautan kata-kata.Â
Rayuan yang tak kan lupa hadir dalam ruang cakap kita.
Entah itu pelukan atau bahkan badai ciumam yang kau kirim barusan; hati ini senantiasa ikhlas mendesir ketika kau menyapaku lewat bahasa.
Kadang aku yakin bahwa Tuhan menyelipkan bahagia disetiap seduh kopi yang kita cangkirkan. Kita tertawa seperti burung menyambut pagi yang sesungguhnya. Selalu menjawab kekhawatiran kita akan malam.
Iya sayang, entah bagaimana malam selalu saja membuat kita cemas. Padahal tanpa memberi janji, pagi akan datang setiap jari. Terang akan selalu datang menghapus gelap.
Adakalanya aku merasa senang ketika malam datang. Sebab hari-hari pertemuan kita mendekat perlahan. Kamu tahu, sayang?Â
Semesta ini seperti bernyawa. Ia melahap rindu dan cinta untuk energinya, sudah pasti agar mendekatkan kita pula.Â
Apa kamu sadar? Â setiap hari kita semakin dekat?
Jarak ini jangan kau jadikan acuan, cobalah sekali-kali menghitung waktu yang berlalu, senyumlah!
Sayang ... usia kita adalah hitungan mundur.
Hari yang kita dambakan nanti akan tiba. Sementara itu biarlah jarak melahap dirinya sendiri dan waktu menjadi saksi debar-debar di dada.
Ah, aku senang sekali dengan kata-kata ini.
"debar-debar di dada."
Begitu ritmik seperti musik. Seperti ketika aku ingin mencintaimu, aku harus mencintaiku terlebih dahulu. Agar cinta bisa menghadirkan bahagia untuk kita.
Sayang,
Tak tahu mengapa aku menulis ini, seolah abaikan rindu yang meracuni dadaku agar berdebar cacat.
Tapi begitulah cinta. Ia menghukum kita dengan resah berlebihan, melahap kita dari dalam lantas membunuh kita dengan ego dan was-was.