Tim Independen melalui ketuanya Sjafii Maarif mengatakan bahwa inisiatif pencalonan Budi Gunawan menjadi Kapolri bukan kehendak Jokowi. Namun ada pihak yang menekannya hingga Presiden tidak mampu menolaknya. “Saya tak mau menyebut nama. Itu sudah rahasia umum, Anda harus tahu itu. Saya harus jaga hubungan baik dengan orang-orang itu,” kata Syafii. Secara jelas disebutkan ada kata jamak yang menyebutkan lebih dari 1 orang dalam pernyataannya, tetapi opini sebagian masyarakat sudah terbentuk dan tudingan diarahkan pada sosok Megawati sebagai ketua umum PDIP, partai pendukung Jokowi.
Benarkah pencalonan BG ini atas desakan Megawati karena keterkaitannya sebagai mantan ajudannya ? Sebagai mantan presiden dan dianggap salah satu tokoh senior di perpolitikan negara ini rasanya suatu tindakan bodoh jika Megawati akan melakukan jalan bunuh diri dan merusak partai yang dibinanya. Melacurkan diri dan ngotot ingin mendudukkan seorang berstatus tersangka untuk menjabat sebagai Kapolri dan melawan kehendak rakyat.
Sejenak kita merunut kejadian ke belakang. Sewaktu menjelang pilpres kemarin, Megawati merelakan namanya dijadikan taruhan dan mendapat cacian karena dianggap telah mengingkari perjanjian Batu Tulis dengan Prabowo. Jika dia hanya ingin mencari kekuasaan dengan mendukung Prabowo yang pada waktu itu sebagai calon presiden dan diperkirakan punya kans besar untuk memenangkannya, maka kue kekuasaan pun pasti akan diperolehnya dan berada di pemerintahan. Namun jalan lain telah ditempuh dengan mengorbankan namanya untuk dicaci sebagai seorang pengkhianat.
Peluang untuk kembali maju menjadi kandidat presiden pun rela dilepaskan karena desakan akar rumput yang menghendaki Jokowi mewakili PDIP sebagai calon presiden. Demi kepentingan partai dan menuruti keinginan suara rakyat, akhirnya Jokowi pun terpilih menjadi presiden ke 7. Apakah perjuangan berat yang telah dilakukannya akan dia hancurkan sendiri demi seorang yang bernama BG dan ngotot menuntut pelantikannya yang bertentangan dengan suara rakyat ?! Hal yang sulit untuk dipercaya.
Setelah Jokowi secara resmi dilantik menjadi presiden, dalam penyusunan kabinet pun kader PDIP hanya mendapatkan 4 jatah pos kementrian. Hal yang sangat janggal sebagai partai pemenang pemilu dan pendukung pemerintah. Tidak mengherankan apabila sebagian kadernya merasa tidak puas atas pembagian ini. Hal yang tidak sebanding jika disandingkan dengan partai Nasdem yang hanya memperoleh suara relatif kecil dalam pemilu namun juga mendapatkan 3 jatah kementrian ditambah 1 jabatan jaksa agung.
Peran Nasdem dalam pemilu memang tidak diragukan. Dengan stasiun TVnya menjadi alat kampanye bagi Jokowi untuk mendulang banyak suara. Selain itu juga para pendonor yang telah mensponsori pencalonan Jokowi. Jika PDIP hanya mengandalkan dana sendiri dipastikan tidak akan mampu membiayai kampanye yang nilainya sangat besar. Deal-deal apa yang ada dibelakang antara Megawati dengan mereka hingga rela mengorbankan beberapa kadernya tidak duduk di pemerintahan, ini yang belum jelas. Satu yang pasti adanya kepentingan perorangan maupun kelompok. Namun sepertinya Megawati sendiri tidak mampu untuk menolak kesepakatan yang dibuat. Keinginan utamanya hanya mendudukkan Jokowi sebagai presiden sebagai perwujudan keinginan rakyat namun sekarang harus menanggung sendiri tagihan para pendonornya.
Partai-partai koalisi lainnya seperti PKB dan Hanura pun perannya seperti tersisihkan. Dalam kemelut pencalonan BG ini, hampir tidak ada suara dari mereka. Bahkan dengan terang-terangan telah mengatakan adanya penumpang gelap dalam kasus ini. Sebagai partai pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla, PKB memilih bersikap netral. "PKB memang tidak ikut campur karena nuansa politisnya sudah kental. Banyak 'penumpang gelap'-nya," kata Wasekjen PKB Lukman Edy.
Hal berbeda ditunjukkan oleh Nasdem beserta ketua umumnya yang ngotot agar BG segera dilantik. Suara dari kubu PDIP pun bermacam-macam merespon tentang hal ini. Beberapa elit politiknya mendukung pernyataan nasdem namun tidak sedikit juga yang akan menerima apapun keputusan presiden. Hingga saat ini belum ada statemen sikap resmi dari Megawati menanggapi kemelut masalah BG ini. Terbelahnya suara di kubu PDIP sebagai tanda belum adanya satu komando dari ketua umum.
Merapatnya Jokowi ke kubu oposisi ditandai pertemuannya dengan Prabowo memunculkan berbagai macam tafsiran. Hal paling ekstrem dengan memperkirakan Jokowi akan meninggalkan Megawati dan PDIP. Sesuatu yang tidak masuk akal melihat kedekatan Megawati dan Jokowi. Bagi Jokowi sosok mentor berpolitik dan "ibu" ditemukan dalam diri Megawati. Melihat kepribadian Jokowi sebagai orang Jawa yang memahami benar falsafah budaya unggah-ungguh, tentunya tidak akan menjadi anak durhaka. Meninggalkan Megawati yang telah banyak berkorban untuk dirinya dalam keadaan kondisi dan situasi yang tidak jauh berbeda dengan dirinya.
Jokowi meninggalkan Megawati dan partai koalisi adalah harapan lawan politik dan orang-orang yang terganggu kepentingannya. Dengan tidak adanya dukungan lagi oleh partai, posisi Jokowi akan semakin lemah dan bagi lawan akan semakin mudah untuk menggoyangnya.