[caption caption="foto: okezone,com"][/caption]
Sudah cukup lama tidak menulis thema politik tanah air sejak pilpres usai dan Joko Widodo terpilih secara sah sebagai presiden. Sebagai tombo kangen sekali-kali corat-coret juga untuk menulis lagi seiring perkembangan perpolitikan sekarang yang masih saja dirundung kegaduhan.
Membaca artikel opini dari rekan-rekan tentang Jokowi yang sepertinya serba wah dan menuai puja-puji, kadang malah bikin pikiran ini menjadi prihatin. Berbagai pandangan menyatakan bahwa akibat strategi politik yg digunakan oleh beliau, maka parpol yang semula berada di pihak oposisi dan tergabung di KMP mulai jinak dan mendekati sang presiden. Kalau sebelumnya ada istilah salawi yang ditujukan bagi orang-orang yang selalu menyalahkan Jokowi, rupanya kini akan mencul istilah baru, sekawi. Semua karena Jokowi.
Kemungkinan besar tulisan-tulisan tersebut hanya berdasarkan analisa di permukaan.Tidak melihat jauh bahwa perpolitikan itu tidak seperti yang nampak kasat mata saja. Ada strategi parpol yang tidak mudah dipahami oleh awam. Politik adalah raja tega yang kejam, licin dan tidak bisa diukur hanya berdasarkan penampakan diluar.
Parpol yang tergabung dalam KMP bukanlah pemain anak bawang yang baru berkiprah kemarin sore. Terutama Golkar yang bisa disebut gudangnya politikus kawakan dan PAN dengan Amien Rais nya dibelakang. Pengalaman berpolitik mereka tidak bisa diragukan lagi. Pandai menciptakan move-move untuk kepentingan golongannya.Tidak beda dengan parpol dilingkaran pemerintah sekarang, seperti partai utama pendukungnya yaitu PDIP. Partai yang dulu sering dikadalin oleh Golkar serta Amien Rais dan sudah belajar banyak pengalaman.
Jokowi sendiri saya anggap beliau bukan sosok politikus murni tapi lebih condong sebagai pekerja. Mirip dengan ibu Risma walikota Surabaya. Bermodal kejujuran dan kerja keras untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, ketika relawannya yang tergabung diberbagai kelompok/organisasi mendukung pencapresannya dan akan membubarkan diri setelah beliau terpilih, tidak diijinkan. Jokowi memerlukan mereka karena menyadari masih butuh dukungan kalangan non partai dari rongrongan para parpol, baik yang ada dilingkaran sendiri atau yang jelas-jelas menyatakan berseberangan.
Soal perpecahan di tubuh Golkar dan PPP, saya berani mengatakan ini bukan skenario yang dilakukan oleh Jokowi. Jokowi tidak pernah akan memikirkan untuk membuat gaduh perpolitikan dengan memecah belah parpol. Karena hanya akan menghambat program kerja yang telah dirancang bila stabilitas politik tidak kondusif. Lebih layak jika tudingan pembuat skenario ini dijalankan oleh parpol pendukungnya. Misalnya dengan melihat posisi jabatan Menkumham yang dipegang oleh kader PDIP. Walaupun menteri statusnya adalah pembantu presiden, namun keloyalan pada partai adalah prioritas utama. Kebijaksanaan yang diambil harus sejalan dengan garis parpol. Selain itu intensifitas wakil presiden yang terus menjalin komunikasi dengan ketua umum PDIP. Keberpihakan JK pada kelompok Agung Laksono bisa terbaca dalam kasus ini.
Gelagat Jokowi yang sering disebut sebagai petugas partai dan sepertinya lebih memilih menjadi boneka rakyat, tentunya membuat "ganjalan" bagi kepentingan para partai pengusungnya. Salah satunya dalam kasus pencalonan kapolri kemarin. Garis kebijaksanaan partai pendukung tidak dijalankan oleh Jokowi.
Memecah belah partai berseberangan tentunya mempunyai tujuan. Siapa yang diuntungkan dengan perpecahan ini dan masuknya nanti ke partai koalisi pendukung pemerintah? Bukan Jokowi! Dengan terpecahnya partai ini diharapkan suara parpol berseberangan di parlemen pun juga akan berkurang. Apalagi jika nanti pihak yang "didukung" masuk merapat untuk berkoalisi dengan partai pendukung pemerintah. Otomatis akan menjadikan suara mayoritas di parlemen dan kedudukan menjadi berbalik. Semula KMP yang berkuasa maka sekarang diganti oleh KIH. Dengan modal suara mayoritas di parlemen ini, KIH berharap bisa memiliki modal tawar mewujudkan keinginan parpol pada Jokowi yang selama ini seperti tidak dijalankan.
Dunia politik Indonesia dikenal dengan politik cipika cipiki. Walau dipermukaan terlihat berseberangan, namun dibelakang layar saling berangkulan. Ini terjadi bila ada deal-deal yang telah disepakati menyangkut kepentingan masing-masing antar parpol. Contoh terbaru masalah kasus "Papa Minta Saham" dalam persidangan MKD kemarin. Tidak ada vonis pada Setya Novanto dan kasus dianggap selesai setelah dia mengundurkan diri. Selain itu juga masalah pencalonan BG sebagai kapolri yang tidak masuk akal karena berjalan mulus dan didukung suara bulat parlemen. Bau adanya barter kepentingan tercium dalam masalah ini.
Tidak berbeda dengan masuknya PAN atau rencana Golkar yang akan menyusul menjadi pendukung pemerintah. Di kemudian hari jangan terlalu berharap program pemerintah yang dicanangkan oleh Jokowi bisa berjalan mulus tanpa "restu" dari parpol yang berada dibelakangnya dan seolah memproklamirkan diri sebagai pendukung. Barter kepentingan bisa saja ada sebelum mendapatkan restu tersebut. Masuknya kedua parpol ini yang membuat nantinya kedudukan KIH di parlemen menjadi semakin kuat, adalah alat tawar bagi orang-orang yang memiliki pengaruh besar di parpol dan yang membawa gerbong tersebut. Tentunya juga diselaraskan dengan kepentingan kelompok lainnya. Tidak ada makan gratis Mr. Presiden....