Pilpres menuju hari H tinggal sekitar 45 hari lagi. Elektabilitas masih saja mangkrak dan terpaut antara 15%-20% berdasarkan lembaga survei kredibel. Waktu yang tinggal sedikit dan teramat sulit untuk mengejar apalagi menyalip perolehan suara petahana. Walaupun Sandi Uno katanya sudah banyak mengunjungi lebih 1000 titik ternyata tidak banyak menolong mengangkat elektabilitas.
Tetapi yang muncul malah kontroversi dari omongannya yang selalu berkedok dibalik atasnama suara rakyat. Belum lagi bumbu sandiwara berjilidnya yang selalu viral. Timses kubu Prabowo pun menjadi ikut disibukkan membela pernyataan-pernyataannya yang memang kebanyakan tidak sesuai dengan realitas, fakta dan data di lapangan.
Tujuan Sandi blusukan meniru gaya Jokowi untuk mengangkat namanya agar lebih populer di masyarakat memang sedikit tercapai. Namun sekedar hanya popularitas saja yang didapat tapi tidak dibarengi dengan elektabilitasnya. Rakyat sudah cerdas bisa membedakan mana yang benar-benar murni blusukan atau sekedar pencitraan. Akibatnya manyun! Bahkan sekarang makin marak sambutan dari berbagai daerah yang akan dikunjungi. Sayangnya bukan sambutan untuk mendukung paslon 02 tapi sambutan suara rakyat bawah yang setia menjadi pendukung Jokowi.
Terbaru kasus penolakan dari Pondok Pesantren Buntet di Cirebon yang sampai kesal harus mengeluarkan surat. Surat penolakan kedatangan Sandi terpaksa dikeluarkan karena sewaktu diadakan pembicaraan antar timses dan pengasuh ponpes sudah jelas tidak diterima kedatangannya, tapi masih tetep ngeyel akan datang.
Peristiwa lain dan lucu terjadi saat Sandiaga Uno di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia dan massa pendukungnya diusir oleh salah satu pedagang ikan karena dianggap mengganggu lapak jualannya. Langkah tepat pedagang ikan yang seharusnya diikuti oleh pedagang di pasar lainnya.
Tujuan Sandi untuk mengeksploitasi kemiskinan dan gagah-gagahan seolah peduli dengan rakyat kecil padahal nongol di tempat-tempat seperti itu juga hanya jika mendekati Pilkada DKI kemarin atau Pilpres seperti sekarang ini, sudah diipahami ada udang dibalik batu. Kehadirannya jelas tidak menguntungkan para pedagang karena hanya jualan janji tapi tidak pernah beli dagangan di pasar. Merugikan bagi pedagang sebab pembeli jadi pada susah mendekat ditengah massa yang berkerumun.
Tidak beda dengan aksi yang dilakukan Prabowo ketika menghadiri deklarasi dukungan atau pidato kebangsaan. Bukannya mendapat simpati khususnya dari kaum terpelajar yang diidentifikasi sebagai swing voter untuk digaet suaranya, tapi yang didapat malah kontroversi. Omongan yang dikeluarkan bukan optmisme untuk membawa kemajuan negara dengan misi visi atau program yang akan diterapkan, tapi justru pesimisme, kekhawatiran dan ketakutan yang disodorkan. Paparannya juga tidak didasari data dan fakta aktual. Akibatnya lagi-lagi timsesnya yang kerepotan dan kelabakan harus melakukan pembelaan dan klarifikasi bila Prabowo selesai berbicara.Â
Kepanikan terlihat nyata di kubu Prabowo. Kekalahan untuk ketiga kali diajang pilpres dan akan tercatat di rekord MURI sudah diambang mata. Usaha-usaha melakukan semburan kebohongan, hoax dan fitnah oleh sebagian pendukungnya juga tdak mengangkat elektabilitas. Bahkan menjadi bumerang yang membuat elektabiltasnya semakin mangkrak bila pelaku fitnah tertangkap. Stempel sebagai kubu penebar hoax pun kian melekat.
Kepanikan semakin menjadi, langkah terakhir yang ditempuh dan selama ini memang menjadi andalannya adalah pengerahan massa. Sasaran tembak yang dituju kali ini adalah KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu.Â
Menggeruduk dan menebar ranjau yang ditujukan untuk membenarkan tindakan-tindakan 'perlawanan' atas produk kerja KPU manakala menurut pandangan mereka KPU melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif.
Bentuk intimidasi politik pun dilakukan yang ditujukan untuk membangun opini publik guna melemahkan KPU dan pada saat bersamaan memberikan insentif politik elektoral pada Prabowo-Sandi bahwa kandidat yang diusungnya dizalimi dan dicurangi oleh rezim.