Kenapa abad 22? Padahal kita masih ada di abad ke 21.
Mungkin karena perempuan jaman sekarang lebih senang melihat jauh kedepan. Malah kadang terlalu jauh.
Gak ding, pemilihan judul bukan berdasarkan motif seberat itu. Saya memilih kata “Abad 22” agar rhyming saja dengan kata “Siti Nurbaya”
Tapi soal pemilihan judul, bukan fokus kita malam ini.
Malam ini saya mau bercerita tentang perjalanan mencari cinta para wanita berumur 25 tahun ke atas di antara gemerlap ibukota #cie
Lebih tepatnya tema kita malam ini adalah tentang perjodohan.Kalau dengar kata ‘Siti Nurbaya, entah kenapa yang terbayang oleh saya adalah mengenai perjodohan. Walaupun menurut (link) cerita dalam bukunya sendiri tidak pure mengenai perempuan yang dijodohkan oleh orang tuanya.
Oia, nama saya Kinara. Dan saya suka pake hashtag atau keterangan-keterangan yang sebenarnya gak terlalu penting untuk memeriahkan cerita saya. ANYWAY...
Saya pernah gagal menikah waktu umur saya masih 25 tahun. Bukan mau sedih-sedihan. Saya malah agak berysukur saya gak jadi menikah waktu itu. Karena ternyata umur 25 tahun sepertinya terlalu muda untuk saya mempunyai tanggung jawab sebagai istri. Hal ini tentunya baru saya sadari sekarang. Waktu itu sih hancurnya lumayan parah. Bagaimana tidak, hubungan yang dijalani bertahun-tahun dengan segala rencana di kepala, berantakan hanya dalam waktu satu minggu saja.
But then a past is a past. Sejak saya putus hubungan dengan mantan saya, saya memulai pencarian pasangan hidup yang cukup ajaib. Banyak ironisnya, tetapi sebenarnya menarik.
Dan makin ke sini, makin banyak rasanya saya bertemu sesama wanita single yang punya masalah yang sama.
Salah satu teman saya yang sudah berada di ambang putus asa, ada yang sampai membuat kesimpulan; laki-laki di Ibukota ini digolongkan menjadi 3 golongan. Sudah berpasangan, brengsek dan gay. Kalaupun ada yang single dan straight, pasti gak menarik. Atau gak selevel. Atau belum siap untuk menjalani hubungan serius dan seribu alasan lain yang ujung-ujungnya memperkuat premis: mencari pasangan yang pas di Ibukota itu sesulit Bruce Willies mati di Die Hard 1,2,3,dst.
Saya sebenarnya gak seputus asa itu. Sebagai seoranghopeless romantic, sampai saat ini saya masih percaya pasti ada laki-laki single yang baik,, berkualitas dan sama-sama sedang mencari pasangan
Beruntung saya punya teman-teman yang baik hati mau mencarikan saya kandidat pasangan.
Dimulailah episode demi episode perjodohan tersebut. Mungkin karena ini era digital, entah kenapa orang-orang lebih memilih untuk berkenalan dulu viamessanger apps. Bisa dariWhatsapp,atauLine.Tidak jarang teman-teman saya meminta izin untuk menyebarkan nomor handphone saya ke laki-laki yang juga sedang mencari pasangan.
Mungkin ini rasanya jadi Siti Nurbaya. Ini rasanya menjalani perjodohan di abad 21.
Awalnya agak aneh (ya sampai sekarang pun masih aneh), ngobrol panjang lebar dengan seseorang tanpa melihat sosoknya langsung terlebih dahulu.
Kalau dari pengalaman saya, ada yang bisa memulai percakapan dengan baik sampai akhirnya memutuskan bertemu, ada juga yang belum apa-apa sudah mengajak bertemu terlebih dahulu. Ada juga yang sudah basi duluan di awal percakapan. Kalau nekat biasanya mereka mengajak bertemu, kalau mereka sadar diri ada yang langsung menghilang. Ada juga yang mungkin menganggap ngobrol sama saya cukup basi jadi belum apa-apa sudah menghilangkan diri.