Mohon tunggu...
D Lova Aloysia
D Lova Aloysia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Bahasa Indonesia Jadi Gado-Gado

8 April 2022   12:18 Diperbarui: 8 Juli 2022   03:19 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Arbitrer sendiri diartikan sebagai sewenang-wenang atau manasuka di mana masyarakat bahasalah yang secara sewenang-wenang menentukan lambang-lambang dalam bahasa. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan informasi. 

Pengalaman berbahasa yang paling umum ada pada masyarakat yaitu berbicara dan menyimak. Dewasa ini, kerap terjadi penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat khususnya dalam hal berbicara. Kurangnya kesadaran untuk mencintai bahasa di negeri sendiri berdampak pada lunturnya bahasa Indonesia dalam pemakaiannya di masyarakat terutama di kalangan remaja. 

Saat ini penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat sudah mulai bergeser digantikan oleh bahasa gaul. 

Bahasa gaul yang begitu mudah untuk digunakan berkomunikasi menyebabkan masyarakat khususnya remaja lebih memilih untuk menggunakan bahasa gaul sebagai bahasa sehari-hari. Maraknya bahasa gaul di media massa dan elektronik yang semakin canggih dan menyebar secara cepat, membuat remaja semakin sering dan terbiasa menggunakan bahasa gaul.

 Pemicunya yaitu gengsi dalam diri mereka karena jika tidak mengetahui, mengerti, dan menggunakan bahasa gaul maka akan dianggap ketinggalan zaman.

 Contoh kosakata dalam bahasa gaul yang sering digunakan antara lain: gemoy (gemas), santuy (santai), mantul (mantap betul), bucin (budak cinta), rempong (ribet), mager (malas gerak), gokil (keren), garing (tidak lucu), pansos (panjat sosial), halu (halusinasi), japri (jalur pribadi), baper (bawa perasaan), gercep (gerak cepat), jomblo (tidak punya pasangan), galau (pikiran yang kacau), OTW (On the Way atau sedang dalam perjalanan), COD (Cash on Delivery atau bayar di tempat), dan masih banyak lagi yang lainnya. Penggunaan bahasa gaul dan singkatan-singkatan dalam kehidupan sehari-hari merupakan bentuk penyimpangan dari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

 Di sisi lain, adanya kosakata yang tidak baku tetapi telanjur sering digunakan dalam masyarakat juga merupakan bentuk penyimpangan bahasa. Sebagai contoh kosakata tidak baku yang sering digunakan yaitu: bis (bus), antri (antre), komplit (komplet), nasehat (nasihat), resiko (risiko), handal (andal), hembus (embus), himbau (imbau), terlanjur (telanjur), sekedar (sekadar), dan lain sebagainya. 

Perkembangan bahasa yang sangat mencolok adalah terdapat pada kosakata. Kurang dipahaminya kosakata baku bahasa Indonesia disebabkan bahasa Indonesia selalu disepelekan dan dipandang sebelah mata. Bentuk penyimpangan lainnya yakni adanya campur kode.

 Fenomena ini merupakan bentuk komunikasi di masyarakat yang suka mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing contohnya bahasa Inggris. Hal ini dikarenakan para penggunanya ingin dipandang kekinian dan ingin terlihat keren. Satu contoh kalimat campur kode yaitu: Weekend kemarin aku and my family jadi holiday ke suatu tempat yang which is aku suka banget sama suasananya. 

Dari kalimat di atas tampak jelas bahwa bahasa Indonesia sudah menjadi gado-gado. Penggunaan bahasa Indonesia tersebut sudah tidak lagi sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Hal ini tentunya dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Sebenarnya, luntur atau hilangnya bahasa Indonesia dikarenakan kurangnya kesadaran dalam diri untuk mencintai dan menggunakan bahasa Indonesia di negeri sendiri. Orang lebih tertarik mempelajari bahasa asing daripada menguasai bahasanya sendiri.

Ketiga cerminan di atas merupakan perilaku masyarakat yang mulai meninggalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa utama di Indonesia. Apalagi di abad 21 ini, peran IPTEK memang menunjukkan kemajuan yang luar biasa dan sangat signifikan. Pengaruh globalisasi, modernisasi, serta westernisasi menyebabkan pertumbuhan bahasa asing memiliki perkembangan yang lebih maju. 

Sejumlah penggagas dan pelontar ide meyakini bahwa motor pendorong laju gelombang globalisasi terdiri atas empat komponen yang lebih populer disebut dengan "4-I": Investasi, Industri, Informasi, dan Individu. Abad 21 merupakan era Learning Society (Masyarakat Pembelajar) yang memungkinkan setiap orang belajar dan mengakses informasi di manapun mereka berada tanpa dibatasi ruang dan waktu. 

Menghadapi situasi seperti ini, diperlukan upaya dan tindakan nyata dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Orang tua, pendidik, dan pemerintah dapat menanamkan dan menumbuhkembangkan pemahaman serta kecintaan masyarakat terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar. 

Bahasa Indonesia yang digunakan semestinya sesuai dengan aturan atau kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa itu meliputi kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat, kaidah penyusunan paragraf, dan kaidah penataan penalaran. Jika kaidah ejaan digunakan dengan cermat, kaidah pembentukan kata ditaati secara konsisten, maka pemakaian bahasa bisa dikatakan benar. 

Sebaliknya, jika kaidah-kaidah bahasa kurang ditaati, pemakaian bahasa tersebut dianggap tidak benar atau tidak baku. Untuk itu, diperlukan adanya undang-undang penggunaan bahasa agar masyarakat Indonesia mampu menaati kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. 

Upaya lainnya yang bisa dilakukan yaitu dengan menyadarkan masyarakat Indonesia agar mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. 

Selain itu, dengan meningkatkan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dan di perguruan tinggi misalnya melalui praktik-praktik bahasa Indonesia. Hal ini untuk mengembangkan kreativitas berbahasa Indonesia sekaligus membiasakan peserta didik agar berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. 

Terakhir, empat pilar pendidikan yang digariskan UNESCO yang terdiri atas: learning to be, learning to know, learning to do, dan learning to live together perlu diimplementasikan. Hal ini untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang sejatinya memerlukan life long education for all and curriculum for 21st century dalam menyongsong tatanan baru kehidupan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun