[caption id="attachment_256880" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi"][/caption]
Lourdes Florentine Mariso, No. 96
Malam hanya sebatas gelap dan siang sebatas terang. Lalu, sebatas apakah surga itu? Allah, bila Engkau mendengarku, katakanlah pada embun yang singgah di jendelaku ini. Biar ia yang menggemakannya dalam bahasaku. Ketiadaan kata. Sunyi. "Na, ayo, bangun. Sahur sebentar." Suara lembut Ibuku selalu mampu memeluk udara hingga dalam cuaca bagaimanapun, aku tetap hangat. Rebecca Louisiana. Adalah anugerah yang diberikan oleh Ayahku, sebuah nama. Ya, pemberian terindah dari segala keheningan yang kumiliki. Ayah. Lelaki yang selama ini menjadi kenangan dalam album Ibu. Paras yang selalu digambarkan Ibu dengan senyum dan air mata. Sosok yang selalu kukunjungi dengan sujud dan ratap setiap tahun dalam bentuk nisan. "Na, ini ada sayur bening, kesukaan kamu. Turun sebentar." Ya. Ibuku lebih kasih memanggilku Nana. Tak pernah kutanyakan pada Ibu tentang nama kecil itu. Atau siapapin. Sekalipun langit biru. Sebab jam dinding yang tak pernah mendengar tawaku tahu, sang pemilik nama saja tak bisa mengucapkan namanya sendiri. Terlebih mengejanya. "Na, lekas sahur. Nanti telat sholat shubuh." Allah, bukankah setiap insan terlahir dengan kurang dan lebih? Lantas, mengapa aku sedemikian senyap dalam dunia yang Engkau ciptakan untukku? Aku sudah tenggelam terlalu karang dalam angkuhnya bumi ini. Aku hanya ingin menyebut di antara ruang dan waktu. Ada dengan ciptaku. Dengan tanpa jemari yang minoritas dimengerti oleh lalu lalang. Aku tak berharap menjadi penyanyi sariosa. Aku tak berharap menjadi manusia biasa dan lainnya. Aku hanya berharap menjadi layaknya Ibuku yang memiliki kelembutan di tengah kata-katanya yang berbicara. Keindahan yang meluluhlantakkan duniaku untuk bermimpi. Mimpi tentang diriku dan suaraku. Getaran dalam benak yang mengandaikan suaraku kelak. Namun, mimpi hanyalah semu nan pilu. Tak ada satupun yang dijanjikannya menjadi nyata. "Kalau Nana tidak keluar, Ibu yang masuk ke kamar Nana." Ibu, berdirilah sebentar lebih lama lagi. Aku sedang menatap langit. Membujuk akan sesuatu, menawar tentang sesuatu untuk ditukar. Nabi Ibrahim, mungkinkah Engkau sedang duduk disampingku? Menyaksikan legam yang hendak jadi jawaban atas rentetan tanya dan derita. Allah, dimanakah Engkau? Aku telah mengatakannya. Istiqfar. Setiap harinya. Setiap kali ranting pohon di halaman rumahku jatuh. Setiap saat aku bersungut dan hampa. Bahkan setiap aku mencoba menelan kepedihan yang kupercayai sebagai sekadar kerikil. Tapi, pesakitanku tetap berpendar tanpa lelah. Allahku Yang Maha Pengasih, padamkanlah aku. Sekiranya aku dapat ditangguhkan pada dunia dimana lidahku dapat melafalkan kebesaran-Mu. Ambillah napas dan detak jantungku. Tanpa skeptis. Segala tulus kupersembahkan, Allah. Sungguh. Ridho. Walaupun aku harus menjadi satu-satunya tetesan darah yang tak termaafkan. "Nana, Ibu masuk ya." Maaf, Ibu. Terlewat maaf kusungkurkan di bawah telapak kakimu, Ibu. Izinkan aku mengampun dengan seluruh hidupku, Ibu. Aku akan tetap mencintaimu dengan segala waktu yang telah kau timang untukku. "Na? Nanaaaa!!!"
Banjarmasin//7.27.13
Untuk membaca karya peserta lain, silakan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Fiksi Drama Ramadhan Silakan bergabung di Facebook Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H