RUU PILKADA: KARTU KUNING PARTAI DEMOKRAT (BLUNDER KEDUA)
Menelisik kekecewaan public pada hasil keputusan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat mengenai pengesahan RUU Pilkada dengan disetujuinya opsi PILKADA melalui DPRD untuk tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, membuat saya teringat pada sebuah partai: DEMOKRAT.
Kecaman ditunjukkan dengan banyaknya nada protes para netizen melalui jejaring sosial. Bahkan melalui media sosial seperti twitter, netizen yang kecewa melampiaskannya meme satir atau dengan taggar #shameonyouSBY yang langsung trending topic dan menduduki puncak world top topic di twitter.
Keputusan partai Demokrat untuk walkout saat saat terakhir pengambilan keputusan melalui voting patut dicatat sebagai Pontius Pilatus yang mencuci tangan dalam golnya UU Pilkada DPRD yang merampas hak memilih langsung rakyatnya.
Menurut saya tidak masalah dengan sikap pro dan kontra, setuju tidak setuju, termasuk dalam proses paripurna kemarin. Tapi kali ini, sikap Demokrat untuk walkout adalah pengecut dan inkonsisten. Politik yang jauh dari kesadarannya ‘demi’ kepentingan yang lebih besar.
Tidak habis pikir, apalagi draft RUU Pilkada tersebut merupakan inisiasi dari pemerintahan Yudhoyono dan Partai Demokrat selaku partai pemerintah. Walkoutnya partai Demokrat di saat saat terakhir voting juga menunjukkan irrasionalitas politik dan lemahnya komitmen partai Demokrat akan fungsi legislasinya. Ketidakseriusan tersebut pun akhirnya melanggengkan upaya pendukung RUU Pilkada DPRD dalam menggolkannya menjadi UU.
Dari hasil rapat paripurna (26/10) akhirnya diputuskan bahwa Opsi Pilkada DPRD disetujui oleh 226 anggota yaitu dari fraksi Partai Gerindra, PKS, PAN, PPP sedangkan yang mendukung Pilkada Langsung sebanyak 135 orang terdiri dari PDI-P, PKB dan Hanura.
Demokrat? Seperti biasa, bermain aman dan memilih menjadi PENGECUT.
Dibalik hiruk pikuk kecaman terhadap partai Demokrat ini, saya mencermati sikap inkonsistensi partai Demokrat, yang setidaknya sudah 2 kali ditunjukkan dalam kurun waktu semester terakhir.
Partai Demokrat yang lahir dari rahim kebebasan demokrasi lebih memilih menjadi bayi gendut yang pengecut dalam kenyamanan kuasa daripada menjadi bayi mungil yang belajar merangkak tertatih dengan perjuangan perjuangan kerakyatannya.
Ini momen kedua kalinya saya mencermati kepengecutan partai Demokrat selaku organisasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepercayaan publik dan hajat hidup orang banyak. Entah kepengecutan itu bersumber dari pemimpin sekaligus pembinanya, Yudhoyono.
Saya tidak cukup pintar untuk mengerti dasar drama yang ditampilkan oleh kader kader Demokrat yang katanya demokrat namun takut untuk memperjuangkan demokrasi itu sendiri. Okelah mereka pemain drama yang terpilih mewakili jutaan penonton, tapi suguhan kemarin menyiratkan tak layaknya mereka sebagai pemain drama, apalagi wakil rakyat.
Momem pertama, masih ingatkan anda pada konvensi partai Demokrat yang diadakan menyambut pileg dan pra Pilpres lalu? Tentu masih segar dalam ingatan kita bahwa konvensi tersebut dibuat dengan alasan ingin menyaring potensi pemimpin pemimpin terbaik di seluruh nusantara untuk diajukan menjadi calon pemimpin nasional yang dimulai sejak September 2013.
Dari konvensi tersebut terjaringlah 11 nama nama tenar yang menjadi bakal calon presiden dari Partai Demokrat yaitu: Ali Masykur Musa, Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Dino Patti Jalal, Endriartono Sutanto, Gita Wirjawan, Hayono Isman, Irman Gusman, Marzuki Alie, Pramono Edhie Wibowo, dan Sinyo Harry Sarundajang.
Konvensi itu tersebut akhirnya meloloskan Dahlan Iskan menjadi pemenang sekaligus capres dari Partai Demokrat. Dari konvensi tersebutlah kemudian Demokrat mendulang banyak suara terutama dari para peserta Konvensi yang tentu berkampanye untuk memilih Partai Demokrat pada pileg April 2014 lalu.
Strategi konvensi ini dinilai cukup berhasil mendongkrak suara partai Demokrat yang mencapai titik nadir setelah bertubi-tubi ditimpa kasus korupsi yang melibatkan para kadernya, mulai dari anggota DPR Angelina Sondang, Menpora Andi Malarangeng, hingga yang teranyar sang Ketua Umum Anas Urbaningrum.
Kenyataannya, walaupun berhasil mempertahankan suaranya di Pileg lalu (setelah PDI-P, Golkar dan Gerindra) tak satupun usaha yang dilakukan partai Demokrat untuk mengusung capres hasil konvensi mereka pada ajang Pilpres lalu. Jangankan untuk menjadi capres, bahkan usaha untuk menyodorkan nama pemenang konvensi tidak ada sama sekali terdengar. Pertarungan hanya mengerucut pada Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Saya bisa membayangkan bagaimana perasaan para peserta Konvensi, terutama pak Dahlan Iskan selaku pemenang dan dinyatakan menjadi Capres Partai Demokrat, melihat inkonsistensi partai berlambang mercy tersebut.
Ketidak-konsitenan dan kepengecutan inilah yang mendorong saya untuk menuliskan ini. Partai Demokrat sebagai perwujudan demokrasi mengingkari prinsipnya sendiri.
Entah kenapa saya cukup yakin partai ini tidak akan bertahan 10 – 15 tahun kedepan. Partai pengecut yang tidak berdiri kokoh di atas prinsip dan perjuangan ideologinya pantaslah ditinggalkan
Pun saya sebagai pemilih Demokrat pada 2004 dan 2009 lalu, merasa ironis dan kali ini sudah cukup dengan sikap manis figuran politik ala Yudhoyono tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H