Mohon tunggu...
Louis Pariama
Louis Pariama Mohon Tunggu... Lainnya - Pendeta

suka baca dan jalan-jalan, menaruh perhatian pada persoalan-persoalan sosial, isu perempuan dan anak serta masyarakat dan budaya lokal

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

ASI, Bukan Cuma Tentang Makanan

10 Agustus 2023   09:05 Diperbarui: 10 Agustus 2023   09:17 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Bahagia rasanya saat putra pertama kami lahir, 15 tahun lalu. Seorang bayi laki-laki yang mungil. Ya, berat badannya saat lahir 2,6 kg. Kata dokter, itu berat badan normal. Cukup menghibur kami yang sempat kuatir karena masa kehamilan yang cukup sulit. Tanpa pendamping profesional dan orangtua yang berpengalaman, kami benar-benar belajar bagaimana mengasuh putra kami. Berdua saja. Di usia seminggu, berat badannya turun menjadi 2,5 kg. Dokter Anak memarahiku dan memberi putra kami vitamin. Berat badannya tidak boleh turun, begitu katanya. Singkat namun membuatku merasa bersalah. Ternyata ASI tak cukup memenuhi kebutuhan putraku. Lalu mengalirlah nasihat (dari tenaga medis) untuk memberinya susu formula ini atau itu. Bukan nasihat yang menyenangkan, karena sejak awal kehamilan saya telah memutuskan untuk memberi ASI eksklusif kepada putra kami. 

Sekarang, apa yang harus saya lakukan? Bagaimana caranya meningkatkan produksi ASI? Berapa banyak dan jenis makanan apa yang harus saya santap setiap hari? Dalam kegalauan, saya berusaha terus-menerus menyusui putra kami. Waktu menyusui tak singkat, namun dia selalu menangis. Saya membacanya sebagai pertanda bahwa ia tidak kenyang. Semakin saya tertekan. Tak ada tempat yang tepat untuk bertanya. 

Seringkali saya terduduk di lantai dan menangis, tak tahu apa yang harus saya lakukan. Rasa bersalah dan tak berdaya terus menyerang saya apalagi jika bayi saya menangis. Saya menepis pelukan suami yang berusaha menenangkan saya di saat-saat itu. Saya menolak kunjungan, menarik diri dari orang-orang, tak ingin mendengar komentar menyakitkan seperti yang pernah diucapkan tenaga medis kepada saya. Saya menjadi begitu frustrasi walau tak ada yang menegur saya. Saya bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan. Haruskah saya menyerah dan memberinya susu formula? Tapi hati kecil saya menolak. Berbisik lemah, ASI saja pasti bisa. Saya ingat betul masa-masa sulit itu.

Hingga suatu hari suami yang turut bingung melihat kondisi ini membeli beberapa buku. Buku-buku tentang perawatan anak dan menyusui. Memang, sejak masa kehamilan kami banyak belajar dari buku. Tapi kami tidak menperlengkapi diri untuk merawat bayi. Tak menyangka bahwa proses itu tak mudah untuk dijalani. Kami lalu membaca dan belajar bersama dari buku-buku itu.
Dari buku-buku inilah saya kemudian paham banyak hal. 

Pertama, saya paham bahwa berat badan bayi yang turun dalam seminggu sejak kelahirannya adalah normal. Rasa bersalah sebagai yang bertanggung jawab atas menurunnya berat badan bayi saya diganti dengan sesal karena telah menjumpai dokter yang keliru.

Kedua, tangisan adalah bahasa bayi. Ia bisa berarti banyak hal, bukan hanya lapar. Bayi menangis bisa jadi pertanda ia jenuh, gerah, dingin, dan sebagainya. Rasa bersalah hilang. Ya, bukan salahku jika berat badan bayiku turun di usia seminggu. Jika ia menangis, bukan karena saya tak memberinya makan yang cukup. Ada yang ia butuhkan.

Ketiga, produksi ASI tidak hanya tergantung pada asupan makanan Ibu, tapi juga perasaan Ibu. Dalam pengalaman saya, hal yang kedua berperan sangat besar. Saat saya tertekan, waktu menyusui begitu panjang dan bayi saya terlihat tak puas (tak tenang).  Rasa bersalah, bingung, marah yang mendera saya berdampak juga bagi bayi saya.

Sejak saat itu saya, bukan saya tapi kami, mengubah pola pengasuhan. Kami belajar membaca suara tangisan bayi kami dan memahami kebutuhannya. Ibu mertua yang kemudian datang menemani kami telah turut mengambil peran yang besar. 

Saya bisa menikmati makanan yang enak dan sehat yang disiapkan dengan penuh cinta oleh Ibu mertua saya. Saya punya cukup waktu untuk beristirahat. Saya menyusui dengan tenang dan senang, membuat jurnal dan mencatat waktu (jam dan durasi) menyusui, sesuai petunjuk buku. 

Suami saya memberi waktu berkualitas di tengah kesibukan pekerjaannya. Mengecek dan menyediakan kebutuhan saya, mendengar cerita-cerita saya, membaca jurnal saya, membagi informasi yang ia dapat dari buku-buku, dan tentu saja ikut mengurus bayi kami. Ia memandikan, meninabobokan, bermain bersama bayi kami yang seperti tak tahu lagi cara menangis.

Masa-masa yang sulit itu berlalu. Saya berhasil mewujudkan niat saya memberi ASI eksklusif untuk putra kami, dengan bantuan support system, KELUARGA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun